Denpasar (Antara Bali) - Pakar hukum pemerintahan dan ketenagakerjaan dari Universitas Mahasaraswati, Denpasar, Bali, Dr I Wayan Gede Wiryawan, menilai pemerintah hendaknya menghapus kebijakan sistem kerja alih daya atau "outsourcing" dan kontrak di Indonesia.
"Upaya ini dilakukan mengingat instrumen hukum terkait sistem kebijakan negara tentang "outsourcing" dan sistem kerja kontrak di Indonesia masih belum memadai sehingga dikhawatirkan dapat menjadi celah perusahaan tertentu untuk melawan aturan," ujar Gede Wiryawan, di Denpasar, Jumat.
Ia menilai belum memadainya instrumen hukum di Indonesia terkait sistem kerja itu dikarenakan masih tingginya tuntutan kebutuhan dunia industri sehingga kebutuhan sistem kerja alih daya dalam perkembangan dunia bisnis modern cenderung meningkat.
Kebijakan pemerintah terkait sistem kerja alih daya saat ini diharapkan tidak dijadikan celah oleh perusahaan "outsourcing" untuk melangar aturan hukum berkaitan dengan dunia usaha, diantarnya perpajakan, regulasi perburuhan tentang status pekerja kontrak menjadi pekerja tetap.
"Saya mengharapkan agar sistem ini tidak merugikan buruh karena selama ini yang sering terjadi ditemukan adanya perusahaan yang melakukan pemotongan upah pekerja," ujarnya.
Oleh sebab itu, perlu adanya pembenahan hukum terkait sistem "outsourcing" tersebut untuk memutus mata rantai upaya melanggar aturan perburuhan.
Kemudian, terkait sistem kerja kontrak di Indonesia, Gede Wiryawan mengatakan pemerintah selaku penghubung dibidang industrial terkait perburuhan harus menjalankan perannya mengingat kedua belah pihak memiliki fungsi strategis dalam meningkatkan derajat kesejahteraan buruh.
Selain itu, pihaknya sangat mendorong pemerintah dalam membentuk sistem pengupahan yang layak kepada buruh dan memberikan pemahaman yang sejalan dengan pihak pekerja dan pengusaha.
"Untuk itu perlu peran pemerintah dalam menyelesaikan persoalan ini ditengah perbedaan pandangan antara pengusaha dan buruh," ujar Gede Wiryawan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Upaya ini dilakukan mengingat instrumen hukum terkait sistem kebijakan negara tentang "outsourcing" dan sistem kerja kontrak di Indonesia masih belum memadai sehingga dikhawatirkan dapat menjadi celah perusahaan tertentu untuk melawan aturan," ujar Gede Wiryawan, di Denpasar, Jumat.
Ia menilai belum memadainya instrumen hukum di Indonesia terkait sistem kerja itu dikarenakan masih tingginya tuntutan kebutuhan dunia industri sehingga kebutuhan sistem kerja alih daya dalam perkembangan dunia bisnis modern cenderung meningkat.
Kebijakan pemerintah terkait sistem kerja alih daya saat ini diharapkan tidak dijadikan celah oleh perusahaan "outsourcing" untuk melangar aturan hukum berkaitan dengan dunia usaha, diantarnya perpajakan, regulasi perburuhan tentang status pekerja kontrak menjadi pekerja tetap.
"Saya mengharapkan agar sistem ini tidak merugikan buruh karena selama ini yang sering terjadi ditemukan adanya perusahaan yang melakukan pemotongan upah pekerja," ujarnya.
Oleh sebab itu, perlu adanya pembenahan hukum terkait sistem "outsourcing" tersebut untuk memutus mata rantai upaya melanggar aturan perburuhan.
Kemudian, terkait sistem kerja kontrak di Indonesia, Gede Wiryawan mengatakan pemerintah selaku penghubung dibidang industrial terkait perburuhan harus menjalankan perannya mengingat kedua belah pihak memiliki fungsi strategis dalam meningkatkan derajat kesejahteraan buruh.
Selain itu, pihaknya sangat mendorong pemerintah dalam membentuk sistem pengupahan yang layak kepada buruh dan memberikan pemahaman yang sejalan dengan pihak pekerja dan pengusaha.
"Untuk itu perlu peran pemerintah dalam menyelesaikan persoalan ini ditengah perbedaan pandangan antara pengusaha dan buruh," ujar Gede Wiryawan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015