Denpasar (Antara Bali) - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Ketut Suarjaya berpandangan masyarakat di daerahnya yang sudah merasa nyaman dengan Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) akan menjadi sulit untuk beralih menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Masyarakat yang menjadi peserta JKBM saat ini sudah berada dalam zona nyaman karena mereka tidak perlu membayar apapun ketika harus berobat," kata Suarjaya saat menyampaikan keterangan serangkaian kunjungan kerja spesifik Komisi IX DPR, di Denpasar, Kamis.
Pemprov Bali sendiri, ucap dia, menargetkan integrasi JKBM ke JKN dapat dilaksanakan mulai awal 2017. "Oleh karena itu, dibutuhkan strategi khusus untuk terus mendorong peserta JKBM yang ekonominya mampu untuk menjadi peserta mandiri JKN, meskipun mereka saat ini sudah dalam zona nyaman JKBM," ujarnya.
Suarjaya mengemukakan, saat ini warga Bali yang menjadi peserta JKN lebih dari 1,7 juta jiwa atau sekitar 43 persen dari total penduduk Bali. Sedangkan sisanya sekitar 2,4 juta jiwa menjadi peserta JKBM.
"Kami menargetkan hingga akhir 2015 itu, 50 persen penduduk Bali sudah masuk ke JKN, dan pada akhir 2016 menjadi 70 persen. Dengan demikian saat integrasi ke JKN pada awal 2017, hanya 30 persen yang menjadi pemikiran Pemprov Bali," ucapnya.
Pemerintah Provinsi Bali setiap tahunnya mengalokasikan anggaran untuk JKBM lebih dari Rp400 miliar, dengan perhitungan setiap orang peserta JKBM ditanggung preminya sebesar Rp10 ribu perbulan selama 12 bulan.
Di sisi lain, tambah Suarjaya, masyarakat juga mengeluhkan layanan JKN karena ada kebijakannya yang berubah begitu cepat tetapi minim sosialisasi. Misalkan dulu layanan JKN bisa langsung digunakan ketika sudah mendaftar, namun sekarang harus menunggu aktifnya H+7.
"Demikian juga ketika peserta JKN yang melahirkan, ibunya memang ditanggung, tetapi anak yang dilahirkan itu tidak terjamin. Ketika JKBM sudah tidak ada lagi, bagaimana dengan nasib anak yang dilahirkan ketika mengalami kelainan," tanyanya.
Selain itu, lanjut dia, pos pelayanan untuk pendaftaran JKN juga kurang maksimal sehingga masyarakat harus berjubel. Pihaknya berharap ada sistem khusus sehingga masyarakat bisa lebih dimudahkan.
Hal senada dikemukakan Asisten Bidang Ekonomi, Pembangunan, dan Kesra Pemprov Bali Ketut Wija. Pihaknya harus berpikir keras untuk mencari skema pengintegrasian JKBM ke JKN karena selama ini masyarakat Bali mendapatkan layanan kesehatan gratis.
"Saat ini kami tengah mencari-cari pola supaya masyarakat tidak kaget. Jika dilepas begitu saja harus membayar iuran mandiri, pasti masyarakat akan berteriak karena selama ini semua dilayani," ucapnya.
Sementara itu Syamsul Bachri, Ketua Rombongan Komisi IX DPR mengatakan terkait dengan kondisi seperti itu, dia mengharapkan agar Pemprov Bali dapat membicarakan lebih lanjut dengan Kementerian Kesehatan.
"Hal ini supaya tidak menimbulkan pesimisme di masyarakat karena masyarakat Bali kelihatan lebih menikmati JKBM. Di samping itu harus terus ditingkatkan kualitas SDM dan infrastrukturnya," kata Bachri. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Masyarakat yang menjadi peserta JKBM saat ini sudah berada dalam zona nyaman karena mereka tidak perlu membayar apapun ketika harus berobat," kata Suarjaya saat menyampaikan keterangan serangkaian kunjungan kerja spesifik Komisi IX DPR, di Denpasar, Kamis.
Pemprov Bali sendiri, ucap dia, menargetkan integrasi JKBM ke JKN dapat dilaksanakan mulai awal 2017. "Oleh karena itu, dibutuhkan strategi khusus untuk terus mendorong peserta JKBM yang ekonominya mampu untuk menjadi peserta mandiri JKN, meskipun mereka saat ini sudah dalam zona nyaman JKBM," ujarnya.
Suarjaya mengemukakan, saat ini warga Bali yang menjadi peserta JKN lebih dari 1,7 juta jiwa atau sekitar 43 persen dari total penduduk Bali. Sedangkan sisanya sekitar 2,4 juta jiwa menjadi peserta JKBM.
"Kami menargetkan hingga akhir 2015 itu, 50 persen penduduk Bali sudah masuk ke JKN, dan pada akhir 2016 menjadi 70 persen. Dengan demikian saat integrasi ke JKN pada awal 2017, hanya 30 persen yang menjadi pemikiran Pemprov Bali," ucapnya.
Pemerintah Provinsi Bali setiap tahunnya mengalokasikan anggaran untuk JKBM lebih dari Rp400 miliar, dengan perhitungan setiap orang peserta JKBM ditanggung preminya sebesar Rp10 ribu perbulan selama 12 bulan.
Di sisi lain, tambah Suarjaya, masyarakat juga mengeluhkan layanan JKN karena ada kebijakannya yang berubah begitu cepat tetapi minim sosialisasi. Misalkan dulu layanan JKN bisa langsung digunakan ketika sudah mendaftar, namun sekarang harus menunggu aktifnya H+7.
"Demikian juga ketika peserta JKN yang melahirkan, ibunya memang ditanggung, tetapi anak yang dilahirkan itu tidak terjamin. Ketika JKBM sudah tidak ada lagi, bagaimana dengan nasib anak yang dilahirkan ketika mengalami kelainan," tanyanya.
Selain itu, lanjut dia, pos pelayanan untuk pendaftaran JKN juga kurang maksimal sehingga masyarakat harus berjubel. Pihaknya berharap ada sistem khusus sehingga masyarakat bisa lebih dimudahkan.
Hal senada dikemukakan Asisten Bidang Ekonomi, Pembangunan, dan Kesra Pemprov Bali Ketut Wija. Pihaknya harus berpikir keras untuk mencari skema pengintegrasian JKBM ke JKN karena selama ini masyarakat Bali mendapatkan layanan kesehatan gratis.
"Saat ini kami tengah mencari-cari pola supaya masyarakat tidak kaget. Jika dilepas begitu saja harus membayar iuran mandiri, pasti masyarakat akan berteriak karena selama ini semua dilayani," ucapnya.
Sementara itu Syamsul Bachri, Ketua Rombongan Komisi IX DPR mengatakan terkait dengan kondisi seperti itu, dia mengharapkan agar Pemprov Bali dapat membicarakan lebih lanjut dengan Kementerian Kesehatan.
"Hal ini supaya tidak menimbulkan pesimisme di masyarakat karena masyarakat Bali kelihatan lebih menikmati JKBM. Di samping itu harus terus ditingkatkan kualitas SDM dan infrastrukturnya," kata Bachri. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015