Denpasar (Antara Bali) - Umat Hindu di Bali merayakan Hari Suci Siwaratri, hari perenungan dan penyadaran diri setiap 420 hari sekali, yang kali ini jatuh pada hari Senin (19/1) dan Selasa (20/1).
Kesadaran umat di berbagai pelosok pedesaan dan perkota di Pulau Dewata dalam memperingati momentum penyadaran diri semakin baik, khidmat dan meriah di masing-masing desa perkraman yang mencapai 1.480 desa adat.
Rangkaian kegiatan ritual yang ditandai pengendalian diri (brata) antara lain seperti upawasa (tidak makan dan minum), jagra (begadang semalam suntuk) atau mona brata (tidak berbicara), tutur Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Dr I Gusti Ngurah Sudiana.
Umat di masing-masing desa adat melakukan ritual Siwaratri di salah satu pura kahyangan tiga untuk mendapatkan kedamaian, kenyamanan dan kebahagiaan serta keselamatan bagi dunia beserta isinya.
PHDI Bali sebelumnya telah memberikan pedoman baku tentang tata cara pelaksanaan Hari Suci Siwaratri di masing-masing desa adat, sehingga dapat melakukan kegiatan itu dengan khidmat.
Padahal sebelum tahun 1980 itu dilakukan secara perorangan maupun kelompok di tanah lapang, pantai atau tempat yang aman, nyaman dan sejuk yang mampu memberikan ketenangan.
Perayaan di masing-masing desa adat sesuai pedoman mempunyai makna yang sama dengan perayaan Siwaratri yang dipusatkan di Pelataran Pura Besakih, tempat suci umat Hindu terbesar di Bali yang terletak Kabupaten Karangsem.
Dengan demikian umat di masing-masing desa adat tidak perlu berduyun-duyun datang mengikuti perayaan Siwaratri di Pelataran Pura Besakih. Pemerintah Provinsi Bali dalam beberapa tahun belakangan ini memfasilitasi perayaan Hari Suci Siwaratri di Pura Besakih.
Dalam perayaan kali ini menampilkan penceramah spiritual Gede Prama dan menyuguhkan berbagai jenis kesenian.
Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi menilai, perayaan hari Siwaratri belakangan ini kian semarak, selain di masing-masing desa adat juga sekolah dan perguruan tinggi maupun kelompok masyarakat yang tergabung dalam pasraman.
Semangat merayakan Siwaratri mulai terasa dari persiapan umat, khususnya kalangan pelajar dan mahasiswa memaknai malam Siwaratri melalui kegiatan persembahyangan, brata, dharmatula (diskusi), dan pertunjukan kesenian seperti wayang kulit, topeng, arja, dan lain-lain bernuansa religius.
Suasana kampus-kampus atau sekolah-sekolah di Bali pada malam Siwaratri umumnya meriah. Demikian pula di pura-pura, balai banjar, tempat pesantian, atau tempat- tempat suci lainnya.
Aliran posmodernisme mencapai puncaknya pada tahun 1972 dalam bidang arsitektur.
Kelahiran posmodernisme tidak bisa lepas dari gerakan sosial politik di Barat. Abad 17 dan 18 di Eropa yang disebut sebagai `Abad Pencerahan`, suatu periode atau gerakan yang menimbulkan konsekuensi sosio-politik dan cultural secara luas ke seluruh dunia Barat modern.
Periode tahun 1890-an sampai 1920-an dapat diperhitungkan sebagai kejayaan modernisme yang menunjukkan perbedaan dengan masyarakat `pramodern` atau `tradisional` yang berkembang sebelumnya.
Sedangkan istilah modernisasi berkaitan dengan keseluruhan proses atau upaya untuk menjadikan satu budaya menjadi modern. "Posmodernisme" merupakan kultur yang berkembang mengikuti transformasi yang mulai terjadi sejak akhir abad ke-19, yang kemudian perkembangan itu mengubah semua aturan permainan dalam ilmu pengetahuan, seni, sastra, dan lain-lain.
Di Indonesia pembicaraan tentang "postmodern" mulai hangat tahun 1990-an di kalangan intelektual, membuka kesempatan luas bagi manusia untuk menentukan dirinya, yang akhirnya bermuara pada sikap `nihilisme`, yakni suatu sikap yang menentang aturan moralitas yang wajib berlaku untuk semua orang.
Semua nilai kehidupan harus dievaluasi kembali, sehingga lahir manusia unggul yang bebas dari kekuasaan lain. Pemikiran ini berhasil mendobrak kemapanan dan kebenaran kekuasaan tokoh-tokoh agama dan kebudayaan Eropa.
Hari Fakultatif
Instansi pemerintah dan sekolah seluruh jenjang pendidikan di Bali libur fakultatif (libur lokal) terkait umat Hindu memperingati perayaan Hari Suci Siwaratri selama dua hari, 19-20 Januari 2015.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika memberikan dispensasi kepada karyawan-karyawati instansi pemerintah dan sekolah sesuai kesepakatan bersama di Pulau Dewata untuk memberikan kemudahan dalam melaksanakan serangkaian kegiatan ritual tersebut.
Ketut Sumadi mengharapkan, melalui perayaan Siwaratri umat dapat melakukan instrospeksi diri mencari penyebab dan jalan keluar dari permasalahan yang dialami dalam hidup keseharian dengan menerapkan konsep "Karma Marga", yakni kerja keras dengan penuh inovasi.
Aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual tersebut dapat mengendalikan diri dan hidup hemat dalam memenuhi keinginan pada kehidupan sehari-hari.
Jika keinginan tidak dapat dikendalikan kehidupan menjadi boros, padahal itu tidak menjadi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Hal lain yang tidak kalah penting memberikan pengetahuan kepada umat manusia agar menyadari, bahwa dalam dirinya selalu ada "pertarungan" antara Dewi Sampad (sifat baik) dengan Asuri Sampad (sifat buruk).
Oleh sebab itu, sebaik-baiknya tingkah laku dan perbuatan manusia pasti pernah melakukan dosa (kesalahan) dalam kehidupannya. Demikian pula sejelek-jeleknya manusia pasti pernah berbuat yang baik (benar).
Menyadari hal itu, melalui perayaan Siwaratri dimaksudkan mampu memberikan motivasi kepada setiap umat manusia, khususnya Hindu, agar sadar dan berusaha maksimal menghindari perbuatan dosa serta memperbanyak perbuatan dharma (kebaikan).
Manusia menurut Ketut Sumadi, alumnus S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana itu memang merasa sulit untuk menghindari perbuatan dosa, namun bagaimanapun telah melakukan kesalahan, tidak tertutup kemungkinan menemukan jalan untuk kembali sadar berbuat dharma.
Perayaan hari suci Siwaratri sekaligus memotivasi manusia agar tidak berputusasa dalam menjalani kehidupan. Pintu Dharma selalu terbuka lebar-lebar bagi orang yang sadar akan segala perbuatan dosanya, ujar Ketut Semadi.
Lubdaka
Ilustrasi cerita Siwaratri yang diuraikan dalam berbagai "Purana", seperti Skandapurana, Siwapurana, Garudapurana dan Padmapurana, semua bertemakan kebangkitan dan kesadaran akan perbuatan dosa yang pernah diperbuat untuk kembali munuju kebenaran (dharma).
Dalam cerita berbentuk kakawin (syair) "Siwaratrikalpa", menyebutkan, seorang pemburu bernama Lubdaka bersama keluarganya tingal di puncak gunung (tempat dipujanya Dewa Siwa).
Pekerjaan si Lubdaka sehari-harinya adalah berburu binatang ke hutan membunuh harimau, gajah, kera, badak serta semua binatang yang menghuni kawasan hutan.
Pada suatau hari yaitu "Pangelong ke-14 Kepitu (hari ke-14 bulan mati pada bulan ketujuh) yang kini dikenal dengan Siwaratri, Lubdaka pagi hari sudah meninggalkan rumah untuk berburu ke tengah hutan.
Namun sehari penuh menelusuri hutan rimba dan lembah-lembah gunung, tak satu pun anak panah yang dilepaskan mengenai sasaran binatang buruan, bahkan jaraknya semakin jauh dari rumah tempat tinggal, matahari tenggelam menjelang malam.
Malam yang gelap itu, Lubdaka tidak berani pulang karena takut disergap binatang buas, kemudian menuju ke suatu telaga (kolam) dan di tepi telaga itulah Lubdaka istirahat sambil tetap waspada jangan-jangan ada binatang yang datang untuk minum air ke kolam.
Si Lubdaka takut sendirian tinggal di bawah pohon, lalu memanjat naik pohon kayu (titik tumpu untuk berdiri) pohon bila yang ada di pinggir kolam kebetulan dahannya menjulur ke atas telaga.
Di atas dahan pohon kayu bila itulah si Lubdaka duduk merenungi perbuatannya, semalam suntuk tidak tidur, takut jatuh, guna menghilangkan rasa ngantuknya memetik daun pohon kemudian dijatuhkan ke dalam telaga.
Sambil memetik pohon daun bila itulah Lubdaka menghitung-hitung perbuatan yang pernah dilakukannya semasa hidupnya. Tidak terduga olahnya dalam telaga itu terdapat sebuah Lingga (tempat pemujaan) yang tidak diketahui keberadaannya oleh si Lubdaka.
Lingga tersebut merupakan permukaan Dewa Siwa atau perwujudan lambang Siwa. Pekerjaan memetik-metik daun pohon bila itu dilakukann semalam suntuk hingga pagi keesokan harinya, sehingga tidak tidur semalam suntuk.
Keesokan harinya si Lubdaka pulang dengan tangan hampa, karena tidak seekor pun memperoleh binatang buruan. Sampainya di rumah dia disambut oleh anak dan istrinya.
Pada suatu ketika si Lubdaka jatuh sakit. sakitnya semakin parah dan akhirnya meninggal. Setelah "Atma" (jiwa) Lubdaka mengalami kebingungan dan kegelapan, karena semasa hidupnya berprofesi sebagai pembunuh binatang.
Dewa Siwa mengetahui hal itu dan mengenal pemburu Lubdaka itu karena dahulu pernah memujanya ketika di hutan pada "Malam Siwa". Akhirnya Dewa Siwa mengutus abdinya menyambut "Atma" si Lubdaka untuk dibawa ke "Siwaloka" (sorga), saat bersamaan datang pula laskar Dewa Yamadipati sebagai penguasa neraka.
Setelah didahului dengan perselisihan, maka terjadilah peperangan hebat antara laskar Dewa Siwa dengan laskar Yamadipati memperebutkan atma si Lubdaka. Dalam peperangan tersebut laskar Dewa Siwalah yang menang dan Atma si Lubdaka dibawa ke Siwaloka (sorga diberikan tempat yang baik).
"Oleh sebab itu umat Hindu hingga sekarang mempercayai perayaan Hari Siwaratri untuk perenungan dosa dan penyadaran diri agar tidak mengulangi perbuatan serupa, ujar Ketut Sumadi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
Kesadaran umat di berbagai pelosok pedesaan dan perkota di Pulau Dewata dalam memperingati momentum penyadaran diri semakin baik, khidmat dan meriah di masing-masing desa perkraman yang mencapai 1.480 desa adat.
Rangkaian kegiatan ritual yang ditandai pengendalian diri (brata) antara lain seperti upawasa (tidak makan dan minum), jagra (begadang semalam suntuk) atau mona brata (tidak berbicara), tutur Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Dr I Gusti Ngurah Sudiana.
Umat di masing-masing desa adat melakukan ritual Siwaratri di salah satu pura kahyangan tiga untuk mendapatkan kedamaian, kenyamanan dan kebahagiaan serta keselamatan bagi dunia beserta isinya.
PHDI Bali sebelumnya telah memberikan pedoman baku tentang tata cara pelaksanaan Hari Suci Siwaratri di masing-masing desa adat, sehingga dapat melakukan kegiatan itu dengan khidmat.
Padahal sebelum tahun 1980 itu dilakukan secara perorangan maupun kelompok di tanah lapang, pantai atau tempat yang aman, nyaman dan sejuk yang mampu memberikan ketenangan.
Perayaan di masing-masing desa adat sesuai pedoman mempunyai makna yang sama dengan perayaan Siwaratri yang dipusatkan di Pelataran Pura Besakih, tempat suci umat Hindu terbesar di Bali yang terletak Kabupaten Karangsem.
Dengan demikian umat di masing-masing desa adat tidak perlu berduyun-duyun datang mengikuti perayaan Siwaratri di Pelataran Pura Besakih. Pemerintah Provinsi Bali dalam beberapa tahun belakangan ini memfasilitasi perayaan Hari Suci Siwaratri di Pura Besakih.
Dalam perayaan kali ini menampilkan penceramah spiritual Gede Prama dan menyuguhkan berbagai jenis kesenian.
Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi menilai, perayaan hari Siwaratri belakangan ini kian semarak, selain di masing-masing desa adat juga sekolah dan perguruan tinggi maupun kelompok masyarakat yang tergabung dalam pasraman.
Semangat merayakan Siwaratri mulai terasa dari persiapan umat, khususnya kalangan pelajar dan mahasiswa memaknai malam Siwaratri melalui kegiatan persembahyangan, brata, dharmatula (diskusi), dan pertunjukan kesenian seperti wayang kulit, topeng, arja, dan lain-lain bernuansa religius.
Suasana kampus-kampus atau sekolah-sekolah di Bali pada malam Siwaratri umumnya meriah. Demikian pula di pura-pura, balai banjar, tempat pesantian, atau tempat- tempat suci lainnya.
Aliran posmodernisme mencapai puncaknya pada tahun 1972 dalam bidang arsitektur.
Kelahiran posmodernisme tidak bisa lepas dari gerakan sosial politik di Barat. Abad 17 dan 18 di Eropa yang disebut sebagai `Abad Pencerahan`, suatu periode atau gerakan yang menimbulkan konsekuensi sosio-politik dan cultural secara luas ke seluruh dunia Barat modern.
Periode tahun 1890-an sampai 1920-an dapat diperhitungkan sebagai kejayaan modernisme yang menunjukkan perbedaan dengan masyarakat `pramodern` atau `tradisional` yang berkembang sebelumnya.
Sedangkan istilah modernisasi berkaitan dengan keseluruhan proses atau upaya untuk menjadikan satu budaya menjadi modern. "Posmodernisme" merupakan kultur yang berkembang mengikuti transformasi yang mulai terjadi sejak akhir abad ke-19, yang kemudian perkembangan itu mengubah semua aturan permainan dalam ilmu pengetahuan, seni, sastra, dan lain-lain.
Di Indonesia pembicaraan tentang "postmodern" mulai hangat tahun 1990-an di kalangan intelektual, membuka kesempatan luas bagi manusia untuk menentukan dirinya, yang akhirnya bermuara pada sikap `nihilisme`, yakni suatu sikap yang menentang aturan moralitas yang wajib berlaku untuk semua orang.
Semua nilai kehidupan harus dievaluasi kembali, sehingga lahir manusia unggul yang bebas dari kekuasaan lain. Pemikiran ini berhasil mendobrak kemapanan dan kebenaran kekuasaan tokoh-tokoh agama dan kebudayaan Eropa.
Hari Fakultatif
Instansi pemerintah dan sekolah seluruh jenjang pendidikan di Bali libur fakultatif (libur lokal) terkait umat Hindu memperingati perayaan Hari Suci Siwaratri selama dua hari, 19-20 Januari 2015.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika memberikan dispensasi kepada karyawan-karyawati instansi pemerintah dan sekolah sesuai kesepakatan bersama di Pulau Dewata untuk memberikan kemudahan dalam melaksanakan serangkaian kegiatan ritual tersebut.
Ketut Sumadi mengharapkan, melalui perayaan Siwaratri umat dapat melakukan instrospeksi diri mencari penyebab dan jalan keluar dari permasalahan yang dialami dalam hidup keseharian dengan menerapkan konsep "Karma Marga", yakni kerja keras dengan penuh inovasi.
Aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual tersebut dapat mengendalikan diri dan hidup hemat dalam memenuhi keinginan pada kehidupan sehari-hari.
Jika keinginan tidak dapat dikendalikan kehidupan menjadi boros, padahal itu tidak menjadi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Hal lain yang tidak kalah penting memberikan pengetahuan kepada umat manusia agar menyadari, bahwa dalam dirinya selalu ada "pertarungan" antara Dewi Sampad (sifat baik) dengan Asuri Sampad (sifat buruk).
Oleh sebab itu, sebaik-baiknya tingkah laku dan perbuatan manusia pasti pernah melakukan dosa (kesalahan) dalam kehidupannya. Demikian pula sejelek-jeleknya manusia pasti pernah berbuat yang baik (benar).
Menyadari hal itu, melalui perayaan Siwaratri dimaksudkan mampu memberikan motivasi kepada setiap umat manusia, khususnya Hindu, agar sadar dan berusaha maksimal menghindari perbuatan dosa serta memperbanyak perbuatan dharma (kebaikan).
Manusia menurut Ketut Sumadi, alumnus S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana itu memang merasa sulit untuk menghindari perbuatan dosa, namun bagaimanapun telah melakukan kesalahan, tidak tertutup kemungkinan menemukan jalan untuk kembali sadar berbuat dharma.
Perayaan hari suci Siwaratri sekaligus memotivasi manusia agar tidak berputusasa dalam menjalani kehidupan. Pintu Dharma selalu terbuka lebar-lebar bagi orang yang sadar akan segala perbuatan dosanya, ujar Ketut Semadi.
Lubdaka
Ilustrasi cerita Siwaratri yang diuraikan dalam berbagai "Purana", seperti Skandapurana, Siwapurana, Garudapurana dan Padmapurana, semua bertemakan kebangkitan dan kesadaran akan perbuatan dosa yang pernah diperbuat untuk kembali munuju kebenaran (dharma).
Dalam cerita berbentuk kakawin (syair) "Siwaratrikalpa", menyebutkan, seorang pemburu bernama Lubdaka bersama keluarganya tingal di puncak gunung (tempat dipujanya Dewa Siwa).
Pekerjaan si Lubdaka sehari-harinya adalah berburu binatang ke hutan membunuh harimau, gajah, kera, badak serta semua binatang yang menghuni kawasan hutan.
Pada suatau hari yaitu "Pangelong ke-14 Kepitu (hari ke-14 bulan mati pada bulan ketujuh) yang kini dikenal dengan Siwaratri, Lubdaka pagi hari sudah meninggalkan rumah untuk berburu ke tengah hutan.
Namun sehari penuh menelusuri hutan rimba dan lembah-lembah gunung, tak satu pun anak panah yang dilepaskan mengenai sasaran binatang buruan, bahkan jaraknya semakin jauh dari rumah tempat tinggal, matahari tenggelam menjelang malam.
Malam yang gelap itu, Lubdaka tidak berani pulang karena takut disergap binatang buas, kemudian menuju ke suatu telaga (kolam) dan di tepi telaga itulah Lubdaka istirahat sambil tetap waspada jangan-jangan ada binatang yang datang untuk minum air ke kolam.
Si Lubdaka takut sendirian tinggal di bawah pohon, lalu memanjat naik pohon kayu (titik tumpu untuk berdiri) pohon bila yang ada di pinggir kolam kebetulan dahannya menjulur ke atas telaga.
Di atas dahan pohon kayu bila itulah si Lubdaka duduk merenungi perbuatannya, semalam suntuk tidak tidur, takut jatuh, guna menghilangkan rasa ngantuknya memetik daun pohon kemudian dijatuhkan ke dalam telaga.
Sambil memetik pohon daun bila itulah Lubdaka menghitung-hitung perbuatan yang pernah dilakukannya semasa hidupnya. Tidak terduga olahnya dalam telaga itu terdapat sebuah Lingga (tempat pemujaan) yang tidak diketahui keberadaannya oleh si Lubdaka.
Lingga tersebut merupakan permukaan Dewa Siwa atau perwujudan lambang Siwa. Pekerjaan memetik-metik daun pohon bila itu dilakukann semalam suntuk hingga pagi keesokan harinya, sehingga tidak tidur semalam suntuk.
Keesokan harinya si Lubdaka pulang dengan tangan hampa, karena tidak seekor pun memperoleh binatang buruan. Sampainya di rumah dia disambut oleh anak dan istrinya.
Pada suatu ketika si Lubdaka jatuh sakit. sakitnya semakin parah dan akhirnya meninggal. Setelah "Atma" (jiwa) Lubdaka mengalami kebingungan dan kegelapan, karena semasa hidupnya berprofesi sebagai pembunuh binatang.
Dewa Siwa mengetahui hal itu dan mengenal pemburu Lubdaka itu karena dahulu pernah memujanya ketika di hutan pada "Malam Siwa". Akhirnya Dewa Siwa mengutus abdinya menyambut "Atma" si Lubdaka untuk dibawa ke "Siwaloka" (sorga), saat bersamaan datang pula laskar Dewa Yamadipati sebagai penguasa neraka.
Setelah didahului dengan perselisihan, maka terjadilah peperangan hebat antara laskar Dewa Siwa dengan laskar Yamadipati memperebutkan atma si Lubdaka. Dalam peperangan tersebut laskar Dewa Siwalah yang menang dan Atma si Lubdaka dibawa ke Siwaloka (sorga diberikan tempat yang baik).
"Oleh sebab itu umat Hindu hingga sekarang mempercayai perayaan Hari Siwaratri untuk perenungan dosa dan penyadaran diri agar tidak mengulangi perbuatan serupa, ujar Ketut Sumadi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015