Yogyakarta (Antara Bali) - Tindak pidana korupsi seharusnya dapat
dijerat dengan pasal pelanggaran hak asasi manusia, kata Direktur
Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Samsuddin Nurseha.
"Jangan hanya menggunakan Undang-undang Tipikor saja, tapi juga memakai komponen perundangan lain terkait pelanggaran HAM," kata dia, di Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia, praktik korupsi yang terus menerus terjadi telah merampas pemenuhan hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, yang pemenuhannya diatur UU Nomor 11/2005.
Oleh karena itu, kata dia, perlu ditindak dengan prespektif HAM.
"(Korupsi) bukan hanya kejahatan kriminal biasa, melainkan sudah masuk kejahatan kemanusiaan," katanya.
Ia mencontohkan, kasus korupsi dana hibah Persiba Bantul, dengan tersangka Idham Samawi, berdampak kerugian negara dengan nilai korupsi Rp12,5 miliar.
Dana yang dikorupsi, menurut Nurseha, seharusnya dapat digunakan untuk membiayai sektor produktif atau fasilitas bagi masyarakat.
"Dana sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk pembiayaan sekolah bagi ratusan anak dari keluarga tidak mampu di DIY," kata dia.
Dengan penggolongan praktik korupsi sebagai pelanggaran HAM, menurut dia diharapkan hukuman bagi koruptor akan semakin berat.
Menurut dia, hinga saat ini hukuman bagi koruptor rata-rata masih ringan, antara dua hingga empat tahun penjara, sehingga belum maksimal memberikan efek jera.
"Sehingga, koruptor biasanya masih bisa melambaikan tangan, karena sudah memprediksikan bahwa hukumannya tidak terlalu berat," katanya.
Data Indonesian Corruption Watch hingga Maret 2014 menunjukkan, dari 734 kasus korupsi, sebanyak 593 di antaranya dinyatakan bersalah, 101 diputuskan bebas, 31 divonis lepas, dan sembilan kasus dinyatakan tidak diterima.
"Namun, dari seluruh terpidana korupsi tersebut belum ada satu pun yang dijatuhi hukuman maksimal, sehingga secara psikologis tidak memberi efek jera," kata dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Jangan hanya menggunakan Undang-undang Tipikor saja, tapi juga memakai komponen perundangan lain terkait pelanggaran HAM," kata dia, di Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia, praktik korupsi yang terus menerus terjadi telah merampas pemenuhan hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, yang pemenuhannya diatur UU Nomor 11/2005.
Oleh karena itu, kata dia, perlu ditindak dengan prespektif HAM.
"(Korupsi) bukan hanya kejahatan kriminal biasa, melainkan sudah masuk kejahatan kemanusiaan," katanya.
Ia mencontohkan, kasus korupsi dana hibah Persiba Bantul, dengan tersangka Idham Samawi, berdampak kerugian negara dengan nilai korupsi Rp12,5 miliar.
Dana yang dikorupsi, menurut Nurseha, seharusnya dapat digunakan untuk membiayai sektor produktif atau fasilitas bagi masyarakat.
"Dana sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk pembiayaan sekolah bagi ratusan anak dari keluarga tidak mampu di DIY," kata dia.
Dengan penggolongan praktik korupsi sebagai pelanggaran HAM, menurut dia diharapkan hukuman bagi koruptor akan semakin berat.
Menurut dia, hinga saat ini hukuman bagi koruptor rata-rata masih ringan, antara dua hingga empat tahun penjara, sehingga belum maksimal memberikan efek jera.
"Sehingga, koruptor biasanya masih bisa melambaikan tangan, karena sudah memprediksikan bahwa hukumannya tidak terlalu berat," katanya.
Data Indonesian Corruption Watch hingga Maret 2014 menunjukkan, dari 734 kasus korupsi, sebanyak 593 di antaranya dinyatakan bersalah, 101 diputuskan bebas, 31 divonis lepas, dan sembilan kasus dinyatakan tidak diterima.
"Namun, dari seluruh terpidana korupsi tersebut belum ada satu pun yang dijatuhi hukuman maksimal, sehingga secara psikologis tidak memberi efek jera," kata dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014