Denpasar (Antara Bali) - Akademisi hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyatakan bahwa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Polda Bali atas kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan sertifikat tanah yang menjerat Ketua DPRD Bali, Adi Wiryatama, tidak sah.
"Saya kira ini alasan yang kuat bahwa dikeluarkannya SP3 ini tidak sah karena sudah ada tersangka tetapi tiba-tiba dihentikan," kata Akademisi Ilmu Hukum UGM, Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej, dihubungi dari Denpasar, Kamis.
Sebelumnya Polda Bali menetapkan mantan Bupati Tabanan itu sebagai tersangka pada 24 Juli 2014 atas laporan Made Sarja terkait dugaan kasus penggelapan dan pemalsuan dokumen sertifikat tanah pada 11 Maret 2014.
Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan Dedy Pratama yang merupakan anak kandung Adi, dan notaris Ketut Nuridja.
Sedangkan Prof Edward sebelumnya diminta Polda Bali sebagai saksi ahli untuk memeriksa kasus tersebut berdasarkan surat permintaan tertanggal 21 November 2014 dan diterima pihak UGM pada 25 November 2014.
UGM, kata dia, telah menetapkan dirinya dan Dr Djoko Sukisno yang merupakan Dekan Fakultas Hukum universitas bergengsi di Tanah Air itu untuk menjadi saksi ahli.
Ia pun menyampaikan kekecewaannya dan merasa tersinggung kepada Polda Bali karena pihaknya belum memeriksa kasus itu namun perkara tersebut dihentikan polisi.
"Kami diminta untuk memberikan keterangan sebagai ahli dan surat (Polda Bali) sudah kami jawab. Tetapi kami belum diperiksa namun perkara sudah dihentikan. Kami sebagai akademisi tidak dihargai padahal keterangan ahli adalah salah satu alat bukti. Polda Bali tidak profesional," ucap Guru Besar Ilmu Hukum UGM itu.
Prof Edward juga menuding Polda Bali yang tidak profesional mengingat meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka pada 24 Juli 2014 namun Polda Bali baru mengirimkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada 14 November 2014 ke Kejaksaan Tinggi Bali dan secepat kilat di-SP3-kan oleh Polda Bali pada 28 November 2014.
"Apa dengan menjadi tersangka itu hanya main-main saja?. Ini ada `something wrong` dengan penyidikan itu. Kalau sudah ada tersangka, seharusnya SPDP itu sesegera mungkin," ucapnya.
Prof Edward menyatakan bahwa SP3 itu bisa digugat dengan mempraperadilankan Polda Bali.
Polda Bali pada 28 November 2014 menghentikan (SP3) kasus yang menjerat Adi Wiryatama atau berselang hanya dua minggu setelah SPDP diserahkan ke kejaksaan.
Keaslian tanda tangan pelapor yakni Made Sarja menjadi dasar polisi untuk meghentikan kasus itu berdasarkan hasil Labfor Mabes Polri cabang Denpasar.
Kuasa Hukum Made Sarja, Zulfikar Ramli mengakui keaslian tanda tangan kliennya itu.
Namun tanda tangan itu bukan atas adanya transaksi jual beli atau untuk perpindahan balik nama pemilik namun surat pengakuan utang yang dijadikan dasar Adi Wiryatama untuk merubah kepemilikan sertifikat tanah.
Selain sertifikat tanah seuas 470 meter persegi di Tanah Lot, sertifikat tanah seluas dua hektare juga diduga diproses dengan tidak wajar menjadi sertifikat atas nama Ketua DPRD Bali itu yang juga telah dilaporkan Made Sarja pada September 2013 lalu ke Polda Bali. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Saya kira ini alasan yang kuat bahwa dikeluarkannya SP3 ini tidak sah karena sudah ada tersangka tetapi tiba-tiba dihentikan," kata Akademisi Ilmu Hukum UGM, Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej, dihubungi dari Denpasar, Kamis.
Sebelumnya Polda Bali menetapkan mantan Bupati Tabanan itu sebagai tersangka pada 24 Juli 2014 atas laporan Made Sarja terkait dugaan kasus penggelapan dan pemalsuan dokumen sertifikat tanah pada 11 Maret 2014.
Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan Dedy Pratama yang merupakan anak kandung Adi, dan notaris Ketut Nuridja.
Sedangkan Prof Edward sebelumnya diminta Polda Bali sebagai saksi ahli untuk memeriksa kasus tersebut berdasarkan surat permintaan tertanggal 21 November 2014 dan diterima pihak UGM pada 25 November 2014.
UGM, kata dia, telah menetapkan dirinya dan Dr Djoko Sukisno yang merupakan Dekan Fakultas Hukum universitas bergengsi di Tanah Air itu untuk menjadi saksi ahli.
Ia pun menyampaikan kekecewaannya dan merasa tersinggung kepada Polda Bali karena pihaknya belum memeriksa kasus itu namun perkara tersebut dihentikan polisi.
"Kami diminta untuk memberikan keterangan sebagai ahli dan surat (Polda Bali) sudah kami jawab. Tetapi kami belum diperiksa namun perkara sudah dihentikan. Kami sebagai akademisi tidak dihargai padahal keterangan ahli adalah salah satu alat bukti. Polda Bali tidak profesional," ucap Guru Besar Ilmu Hukum UGM itu.
Prof Edward juga menuding Polda Bali yang tidak profesional mengingat meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka pada 24 Juli 2014 namun Polda Bali baru mengirimkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada 14 November 2014 ke Kejaksaan Tinggi Bali dan secepat kilat di-SP3-kan oleh Polda Bali pada 28 November 2014.
"Apa dengan menjadi tersangka itu hanya main-main saja?. Ini ada `something wrong` dengan penyidikan itu. Kalau sudah ada tersangka, seharusnya SPDP itu sesegera mungkin," ucapnya.
Prof Edward menyatakan bahwa SP3 itu bisa digugat dengan mempraperadilankan Polda Bali.
Polda Bali pada 28 November 2014 menghentikan (SP3) kasus yang menjerat Adi Wiryatama atau berselang hanya dua minggu setelah SPDP diserahkan ke kejaksaan.
Keaslian tanda tangan pelapor yakni Made Sarja menjadi dasar polisi untuk meghentikan kasus itu berdasarkan hasil Labfor Mabes Polri cabang Denpasar.
Kuasa Hukum Made Sarja, Zulfikar Ramli mengakui keaslian tanda tangan kliennya itu.
Namun tanda tangan itu bukan atas adanya transaksi jual beli atau untuk perpindahan balik nama pemilik namun surat pengakuan utang yang dijadikan dasar Adi Wiryatama untuk merubah kepemilikan sertifikat tanah.
Selain sertifikat tanah seuas 470 meter persegi di Tanah Lot, sertifikat tanah seluas dua hektare juga diduga diproses dengan tidak wajar menjadi sertifikat atas nama Ketua DPRD Bali itu yang juga telah dilaporkan Made Sarja pada September 2013 lalu ke Polda Bali. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014