Denpasar (Antara Bali) - Pelapor kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan sertifikat tanah Made Sarja akan mengajukan gugatan praperadilan terhadap Polda Bali terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Ketua DPRD setempat Adi Wiryatama atas kasus tersebut.
"Dalam waktu dekat, kami ajukan praperadilan terhadap Polda Bali ke pengadilan. Kami akan uji SP3 yang mereka keluarkan," kata Zulfikar Ramly selaku kuasa hukum pelapor di Denpasar, Kamis.
Dia menjelaskan bahwa surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan tertanggal 2 Desember 2014 itu baru diterima kliennya pada Kamis (4/12).
Menurut dia, dikeluarkannya SP3 tersebut penuh dengan kejanggalan sehingga penyidikan terhadap mantan Bupati Tabanan dua periode itu terhenti.
Kepada awak media, dia membeberkan sejumlah ketidakwajaran yang terjadi setelah keluarnya surat pada 28 November 2014 itu.
"Tanggal 21 November 2014, Polda Bali meminta ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk memeriksa kasus itu. UGM terima surat itu pada 25 November 2014 dan tanggal 27 November 2014, UGM menetapkan ahli yang siap memeriksa perkara itu.
Ternyata tanggal 27 November 2014, Polda gelar perkara dan keesokan harinya tanggal 28 November 2014, Polda Bali menghentikan penyidikan kasus itu dengan keluarnya SP3. Ini sangat luar biasa dan secepat kilat," terangnya.
Polda Bali sebelumnya menyatakan bahwa dugaan pemalsuan sertifikat tersebut terbantahkan karena ada tanda tangan Made Sarja autentik berdasarkan hasil Laboratorium Forensik Mabes Polri Cabang Denpasar.
Terkait keasilan tanda tangan kliennya itu, Zulfikar mengakui hal tersebut. "Memang tanda tangan klien kami autentik, akan tetapi itu tidak wajar." katanya.
Dia menjelaskan kronologi peristiwa tersebut sehingga tanda tangan Made Sarja memang asli.
"Staf notaris datang kepada Made Sarja untuk meminta tanda tangan. Klien kami memikir hal itu merupakan surat pengakuan surat hutang tetapi tiba-tiba berubah menjadi surat kuasa. Atas dasar itulah (sertifikat) berubah nama menjadi milik Dedy Pratama, anak Adi Wiryatama," ujarnya.
Lebih lanjut Zulfikar menjelaskan ihwal kasus antara kliennya dengan Ketua DPRD Bali itu bahwa pada tahun 2010, anak kandung Made Sarja yakni Made Harum Bawa berencana membuka bisnis bersama Adi Wiryatama di kawasan objek wisata Tanah Lot.
Saat itu, Harum Bawa menyerahkan sertifikat tanah di Tanah Lot kepada Adi Wiryatama tanpa sepengetahuan Made Sarja sebagai orang tua.
"Adi Wiryatama menyerahkan uang sebesar Rp775 juta kepada Harum Bawa. Itu untuk kerja sama bangun kafe," katanya.
Tahun 2011, Harum Bawa menerima uang dengan total Rp3 miliar untuk pembebasan lahan seluas dua hektare milik Made Sarja di Pandak Gede, Tabanan.
Lagi-lagi, tanpa sepengetahuan sang ayah, Harum Bawa kemudian menyerahkan 14 sertifikat tanah di Pandak Gede.
"Maksudnya diserakan sertifikat itu adalah sebagai jaminan agar Adi Wiryatama percaya. Namun oleh Adi Wiryatama dibalik nama menjadi atas namanya sendiri," ujarnya.
Pada 24 Juli 2013, Zulkifli bersama pelapor mendatangi notaris Ketut Nuridja yang diyakini semua sertifikat belum berubah nama.
Pada 20 Agustus 2013, pihaknya memblokir sertifikat agar tidak berubah nama. Namun tanggal 21 Agustus 2013, BPN Tabanan mengeluarkan sertifikat atas nama mantan Bupati Tabanan dua periode itu.
Kemudian pada 2 September 2013, kliennya melaporkan kasus pemalsuan sertifikat tanah seluas dua hektare itu ke Polda Bali dan 18 September 2013, polisi, kata dia, hanya menetapkan Ketut Nuridja sebagai tersangka.
Pada 11 Maret 2014, Made Sarja dan pengacaranya kembali melaporkan Adi Wiryatama bersama dengan sang anak Dedy Pratama dan notaris Ketut Nuridja atas kasus tanah seluas 470 meter persegi di Tanah Lot.
Pada 19 Maret 2014, Polda Bali melakukan penyelidikan (atas kasus tanah seluas 470 meter persegi) dan pada 2 Juli Polda Bali menaikkan kasus itu menjadi penyidikan dan menaikkan status ketiganya menjadi tersangka pada 24 Juli 2014.
Meski ketiganya ditetapkan menjadi tersangka pada 24 Juli 2014, namun Polda Bali baru mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke kejaksaan pada 14 November 2014.
Polda Bali mengirimkan surat kepada UGM untuk meminta ahli hukum untuk ikut memeriksa kasus tersebut pada 21 November 2014 dan diterima UGM pada 25 November 2014 berdasarkan salinan yang didapatkannya.
Pada 27 November 2014, UGM kemudian mengirimkan dua ahli hukum untuk ikut memeriksa kasus tersebut sesuai permintaan penyidik Polda Bali.
Namun, pada 27 November 2014 Polda Bali gelar perkara terhadap kasus itu dan keesokan harinya polisi menetapkan SP3 terhadap kasus itu berdasarkan hasil Labfor Mabes Polri yang menyatakan keaslian tanda tangan Made Sarja. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Dalam waktu dekat, kami ajukan praperadilan terhadap Polda Bali ke pengadilan. Kami akan uji SP3 yang mereka keluarkan," kata Zulfikar Ramly selaku kuasa hukum pelapor di Denpasar, Kamis.
Dia menjelaskan bahwa surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan tertanggal 2 Desember 2014 itu baru diterima kliennya pada Kamis (4/12).
Menurut dia, dikeluarkannya SP3 tersebut penuh dengan kejanggalan sehingga penyidikan terhadap mantan Bupati Tabanan dua periode itu terhenti.
Kepada awak media, dia membeberkan sejumlah ketidakwajaran yang terjadi setelah keluarnya surat pada 28 November 2014 itu.
"Tanggal 21 November 2014, Polda Bali meminta ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk memeriksa kasus itu. UGM terima surat itu pada 25 November 2014 dan tanggal 27 November 2014, UGM menetapkan ahli yang siap memeriksa perkara itu.
Ternyata tanggal 27 November 2014, Polda gelar perkara dan keesokan harinya tanggal 28 November 2014, Polda Bali menghentikan penyidikan kasus itu dengan keluarnya SP3. Ini sangat luar biasa dan secepat kilat," terangnya.
Polda Bali sebelumnya menyatakan bahwa dugaan pemalsuan sertifikat tersebut terbantahkan karena ada tanda tangan Made Sarja autentik berdasarkan hasil Laboratorium Forensik Mabes Polri Cabang Denpasar.
Terkait keasilan tanda tangan kliennya itu, Zulfikar mengakui hal tersebut. "Memang tanda tangan klien kami autentik, akan tetapi itu tidak wajar." katanya.
Dia menjelaskan kronologi peristiwa tersebut sehingga tanda tangan Made Sarja memang asli.
"Staf notaris datang kepada Made Sarja untuk meminta tanda tangan. Klien kami memikir hal itu merupakan surat pengakuan surat hutang tetapi tiba-tiba berubah menjadi surat kuasa. Atas dasar itulah (sertifikat) berubah nama menjadi milik Dedy Pratama, anak Adi Wiryatama," ujarnya.
Lebih lanjut Zulfikar menjelaskan ihwal kasus antara kliennya dengan Ketua DPRD Bali itu bahwa pada tahun 2010, anak kandung Made Sarja yakni Made Harum Bawa berencana membuka bisnis bersama Adi Wiryatama di kawasan objek wisata Tanah Lot.
Saat itu, Harum Bawa menyerahkan sertifikat tanah di Tanah Lot kepada Adi Wiryatama tanpa sepengetahuan Made Sarja sebagai orang tua.
"Adi Wiryatama menyerahkan uang sebesar Rp775 juta kepada Harum Bawa. Itu untuk kerja sama bangun kafe," katanya.
Tahun 2011, Harum Bawa menerima uang dengan total Rp3 miliar untuk pembebasan lahan seluas dua hektare milik Made Sarja di Pandak Gede, Tabanan.
Lagi-lagi, tanpa sepengetahuan sang ayah, Harum Bawa kemudian menyerahkan 14 sertifikat tanah di Pandak Gede.
"Maksudnya diserakan sertifikat itu adalah sebagai jaminan agar Adi Wiryatama percaya. Namun oleh Adi Wiryatama dibalik nama menjadi atas namanya sendiri," ujarnya.
Pada 24 Juli 2013, Zulkifli bersama pelapor mendatangi notaris Ketut Nuridja yang diyakini semua sertifikat belum berubah nama.
Pada 20 Agustus 2013, pihaknya memblokir sertifikat agar tidak berubah nama. Namun tanggal 21 Agustus 2013, BPN Tabanan mengeluarkan sertifikat atas nama mantan Bupati Tabanan dua periode itu.
Kemudian pada 2 September 2013, kliennya melaporkan kasus pemalsuan sertifikat tanah seluas dua hektare itu ke Polda Bali dan 18 September 2013, polisi, kata dia, hanya menetapkan Ketut Nuridja sebagai tersangka.
Pada 11 Maret 2014, Made Sarja dan pengacaranya kembali melaporkan Adi Wiryatama bersama dengan sang anak Dedy Pratama dan notaris Ketut Nuridja atas kasus tanah seluas 470 meter persegi di Tanah Lot.
Pada 19 Maret 2014, Polda Bali melakukan penyelidikan (atas kasus tanah seluas 470 meter persegi) dan pada 2 Juli Polda Bali menaikkan kasus itu menjadi penyidikan dan menaikkan status ketiganya menjadi tersangka pada 24 Juli 2014.
Meski ketiganya ditetapkan menjadi tersangka pada 24 Juli 2014, namun Polda Bali baru mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke kejaksaan pada 14 November 2014.
Polda Bali mengirimkan surat kepada UGM untuk meminta ahli hukum untuk ikut memeriksa kasus tersebut pada 21 November 2014 dan diterima UGM pada 25 November 2014 berdasarkan salinan yang didapatkannya.
Pada 27 November 2014, UGM kemudian mengirimkan dua ahli hukum untuk ikut memeriksa kasus tersebut sesuai permintaan penyidik Polda Bali.
Namun, pada 27 November 2014 Polda Bali gelar perkara terhadap kasus itu dan keesokan harinya polisi menetapkan SP3 terhadap kasus itu berdasarkan hasil Labfor Mabes Polri yang menyatakan keaslian tanda tangan Made Sarja. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014