Denpasar (Antara Bali) - Pengamat pertanian dari Universitas Udayana Prof I Wayan Windia menyayangkan penetapan organisasi pengairan di Bali atau subak sebagai salah satu warisan budaya dunia yang hingga kini tidak diikuti oleh rencana aksi pengelolaan.
"Tarik ulur antara pemerintah pusat, Pemprov Bali, dan pemkab di Bali mengakibatkan rencana aksi gagal," katanya di Denpasar, Selasa.
Ketua Pusat Penelitian Subak Unud itu menjelaskan bahwa pengakuan UNESCO terhadap subak sebagai WBD setelah Bali berjuang selama 12 tahun, termasuk usulan rencana aksi pengelolaan diajukan bersamaan dengan proposal permohonan WBD itu.
Pada tahun ini rencananya dibentuk semacam forum dan kucuran dana bantuan Rp100 juta untuk 17 subak yang termasuk dalam WBD. Bahkan Direktur World Heritage Culture (WHC) UNESCO, telah mengirim surat peringatan kepada Dubes RI di Paris dan Wakil Tetap Indonesia di UNESCO tentang tidak adanya aksi nyata di kawasan WBD sebagaimana yang telah dijanjikan dalam proposal.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus memberikan pertanggunganjawab dalam sidang UNESCO pada tahun 2015.
"Bagi saya, hal ini adalah semacam `lampu kuning` dari penetapan subak sebagai WBD. Kalau pada tahun 2015 pemerintah tidak mampu memberikan penjelasan yang dapat diterima UNESCO, mungkin iesikonya akan sangat memalukan bangsa Indonesia," tegas Prof Windia.
Windia yang aktif mengikuti berbagai diskusi dan lokakarya tentang WBD yang digelar pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menambahkan bahwa tidak gampang untuk merealisasikan rencana aksi itu karena hambatan birokrasi.
Kondisi di Bali juga sama, berbagai usul sudah dilakukan agar subak sebagai WBD mendapatkan sentuhan langsung terutama ke-17 subak yang diakui sebagai WBD.
Ke-17 subak tersebut terdiri atas 14 subak di kawasan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan tiga subak di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dengan total luas sekitar 1.000 hektare menjadi satu kesatuan telah ditetapkan menjadi WBD. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Tarik ulur antara pemerintah pusat, Pemprov Bali, dan pemkab di Bali mengakibatkan rencana aksi gagal," katanya di Denpasar, Selasa.
Ketua Pusat Penelitian Subak Unud itu menjelaskan bahwa pengakuan UNESCO terhadap subak sebagai WBD setelah Bali berjuang selama 12 tahun, termasuk usulan rencana aksi pengelolaan diajukan bersamaan dengan proposal permohonan WBD itu.
Pada tahun ini rencananya dibentuk semacam forum dan kucuran dana bantuan Rp100 juta untuk 17 subak yang termasuk dalam WBD. Bahkan Direktur World Heritage Culture (WHC) UNESCO, telah mengirim surat peringatan kepada Dubes RI di Paris dan Wakil Tetap Indonesia di UNESCO tentang tidak adanya aksi nyata di kawasan WBD sebagaimana yang telah dijanjikan dalam proposal.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus memberikan pertanggunganjawab dalam sidang UNESCO pada tahun 2015.
"Bagi saya, hal ini adalah semacam `lampu kuning` dari penetapan subak sebagai WBD. Kalau pada tahun 2015 pemerintah tidak mampu memberikan penjelasan yang dapat diterima UNESCO, mungkin iesikonya akan sangat memalukan bangsa Indonesia," tegas Prof Windia.
Windia yang aktif mengikuti berbagai diskusi dan lokakarya tentang WBD yang digelar pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menambahkan bahwa tidak gampang untuk merealisasikan rencana aksi itu karena hambatan birokrasi.
Kondisi di Bali juga sama, berbagai usul sudah dilakukan agar subak sebagai WBD mendapatkan sentuhan langsung terutama ke-17 subak yang diakui sebagai WBD.
Ke-17 subak tersebut terdiri atas 14 subak di kawasan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan tiga subak di daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dengan total luas sekitar 1.000 hektare menjadi satu kesatuan telah ditetapkan menjadi WBD. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014