Museum Bali yang pendiriannya dirintis Asisten Residen Bali Selatan, WFJ Koon atas sumbangan pemikiran dari Ir Th A. Resink pada tahun 1910 hingga kini berdiri kokoh bersebelahan dengan Pura Jagatnatha di jantung kota Denpasar, Bali.

Museum yang didirikan pada Pemerintah Kolonial Belanda itu bertujuan untuk melestarikan unsur-unsur kebudayaan Bali sekaligus menjadi objek wisata yang hingga kini tetap ramai dikunjungi wisatawan mancanegara.

Rintisan mendirikan museum tersebut sebagai upaya mencegah "larinya" benda-benda seni budaya Bali ke luar negeri, sehingga dikhawatirkan terjadinya kemiskinan budaya secara berkelanjutan.

Museum Bali yang kini dikelola pemerintah Provinsi Bali di bawah koordinasi Dinas Kebudayaan setempat mengemban tugas untuk merawat, menjaga dan kelestarikan benda-benda seni budaya.

Lebih dari 15.000 koleksi museum Bali tetap terpelihara dan terjaga dengan baik, sekaligus mendukung keajegan Bali. Koleksi museum tersebut paling lengkap dibandingkan koleksi museum daerah lainnya di Nusantara yang setiap saat dapat dinikmati oleh para pengunjung.

Ribuan koleksi Museum Bali itu kini kembali ditambah dengan ratusan benda suci yang dikeramatkan masyarakat (pratima), yang sebelumnya sempat hilang akibat ulah para pencuri yang akhirnya pelakunya berhasil diringkus jajaran Polda Bali, tutur Sekretaris Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Anak Agung Gede Geriya.

Pihaknya telah memindahkan ratusan pratima hasil curian dari sejumlah benda pusaka milik pura yang merupakan barang bukti kasus pencurian dari Polda Bali ke Museum Bali untuk selanjutnya diteliti.

Hal itu merupakan hasil tindak lanjut dari pertemuan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali dengan Wakil Kepala Polda Bali, Brigjen Pol. I Gusti Ngurah Rahardja Suyaktha. Dan untuk sementara ratusan pratima itu dititipkan di Rumah Penyimpanan dan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Kelas I Denpasar.

Proses pemindahan itu dilakukan bersama melibatkan perwakilan Polda Bali, pihak Rupbasan, Museum Bali termasuk tim arkeologi dan akademisi dari Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Sekitar 410 jenis benda sakral yang terdiri atas pratima, sejumlah patung dewa-dewi, puluhan ikat uang kepeng, keris, dan perangkat upacara dari perak itu dibawa ke museum untuk diteliti dan diseleksi terkait benda yang tergolong sakral dan bukan sakral.

Dr. Nyoman Wardi, arkeolog dari Univeristas Udayana menyatakan kini baru sebatas mencocokkan benda tersebut dengan data yang dimiliki sehingga prosesnya masih sangat panjang sebelum bisa menjadi koleksi museum.

Bentuk tim

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Dr I Gusti Ngurah Sudiana menyambut baik adanya tim yang dibentuk untuk meneliti benda sakral milik desa adat dan milik pribadi yang berhasil diselamatkan dari para pelaku pencurian benda sakral di berbagai tempat di Bali.

Tim dari berbagai unsur itu segera akan bekerja, masyarakat diharapkan tenang, sehingga pratime yang berhasil diselamatkan itu jika diperlukan masyarakat atau milik pribadi setelah proses hukumkan dapat dikembalikan kepada pemiliknya.

Ia mengharapkan pihak yang menginginkan barang sitaannya kembali untuk sementara ditunda sebelum ada keputusan dari tim.

Awal tahun 2011, warga negara Italia Roberto Gamba divonis lima bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Gianyar karena terlibat dalam kasus pencurian pratima itu.

Saat disita, polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti di antaranya pratima dan sejumlah barang bukti lainnya. Kini setelah beberapa tahun berlalu, kolektor benda antik itu kemudian meminta sejumlah barang bukti yang tak terkait pratima untuk dikembalikan.

Sementara I Gusti Bagus Arthanegara, pensiunan Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan Provinsi Bali mengharapkan Pemerintah agar melaksanakan kembali proyek-proyek rehabilitasi, dokumentasi konservasi dan inventarisasi benda budaya Bali lewat ceramah-ceramah kepada pemuka masyarakat desa adat tentang pentingnya arti warisan budaya.

Kegiatan itu penting artinya untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap benda-benda budaya, yang ada di Pulau Dewata. Hal itu sebagai antisipasi terhadap semakin maraknya kembali pencurian pratima benda-benda budaya yang disakralkan masyarakat setempat.

Pembinaan melalui ceramah kepada masyarakat dengan melibatkan tim gabungan lembaga Perguruan Tinggi bersama Museum Bali, Dinas Kebudayaan, Lembaga-Lembaga Peninggalan Sejarah Purbakala, Parisadha dan Lembaga terkait lainnya.

Hal itu penting dilaksanakan karena, semua pihak tentu tidak ingin kehilangan rohnya Pulau Bali yang kaya dengan warisan budaya berupa "monumen hidup" yang dengan setulus hati dihargai, dijunjung, dihormati, dipelihara dan dicintai masyarakatnya.

"Jangan biarkan kewaspadaan kita terhadap warisan budaya menjadi luntur," kata Arthanegara dan mengungkapkan pada tahun 70-an, maraknya kehilangan benda budaya dan agama menghiasi pemberitaan di media cetak dan televisi.

Tetapi berita itu hanya sejenak saja hilang, ketika pencurinya tertangkap dan proses hukumnya sudah berjalan sesuai prosedur, maka masalahnya pun sudah seperti selesai pula.

Padahal sekarang kejadiannya malah lebih hebat dan meresahkan masyarakat Bali. Kala itu benda-benda yang hilang antara lain berupa 6.000 mata uang zaman dahulu, topeng Dewa Ayu, pintu gerbang, tapel, arca, patung singa uang kepeng. satu barung angklung, puluhan patung/arca kayu, batu dan emas.

Wilayah kejadiannya hampir di seluruh Bali, mulai dari Kabupaten Jembrana, Tabanan, Bangli, Gianyar, Buleleng. Yang diajukan ke pengadilan pun dan dihukum cukup banyak dan tidak jauh beda dengan yang ada sekarang.

Usaha penyelundupan benda budaya lewat bandara juga tertangkap mereka yang kena vonis pengadilan tidak hanya putra daerah tapi tidak urung orang asing pun harus meringkuk di balik jeruji besi.

"Kini 30 tahun berlalu, sejarah berulang lagi. Kejadian serupa terulang lagi yang seakan memberi kita petunjuk bahwa kewaspadaan kita telah luntur atau tidak banyak yang mau peduli akan pentingnya arti warisan budaya yang saat ini sedang dikepung dari segala penjuru," tutur Arthanegara.

Tidak hanya berbentuk pencurian tapi juga terancam oleh vandalisme (corat-coret/pemotongan arca), iklim yang panas dan lembab, tumbuh-tumbuhan dan lumut, pelapukan dan lain-lain, oleh sebab itu pembinaan perlu secara berkelanjutan dan terus menerus, ujar Arthanegara. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014