Denpasar (Antara Bali) - Harga kakao petani di Bali naik signifikan menjadi Rp.34.200 per kilogram jenis Fermented, dan Rp.31.700 per kilogram jenis asalan pada minggu II Maret 2014, dari sebelumnya Rp.30.500 dan Rp.28.000 pada akhir Desember 2013.
"Lancar, perdagangan kakao hasil petikan dari perkebunan rakyat daerah ini, baik di dalam maupun ke luar negeri. Sehingga diharapkan lebih menggairahkan petani untuk mengembangkan tanaman bernilai ekonomis itu," kata Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bali, I Dewa Made Buana Duwuran di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan Dinas Perkebunan Provinsi Bali mencatat 4.653 ton kakao hasil perkebunan rakyat daerah itu selama enam bulan terakhir 2013 (Juli-Desember) masuk ke pasar ekspor senilai 377.930 dolar AS.
Mata dagangan bernilai ekonomis itu memasuki delapan negara konsumen, dan Amerika Serikat merupakan negara yang paling banyak komoditas kakao dari Pulau Dewata.
Bali memiliki lahan perkebunan relatif sedikit, memanfaatkan untuk tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dengan harapan mampu menambah penghasilan pekebun yang lebih mensejahterakan, seperti halnya kopi, vanili, cengkeh termasuk mete yang ditanam di lahan kering.
Dewa Made Buana menambahkan, ada tiga kabupaten yang mengembangkan tanaman kakao yang cukup potensial di daerah ini, yakni petani pekebun di Kabupaten Tabanan seluas 5.063 haktare (ha), menyusul Jembrana, 3.555 ha, Buleleng 1.258 ha dan sisanya di Badung, Klungkung, Bangli dan Karangasem.
Produksi kakao di Bali selama 2012 tercatat hanya 4.950 ton, jumlah itu bertambah jika dibandingkan tahun sebelumnya hanya 4.525 ton, namun angka itu jauh lebih rendah dari pada produksi tahun 2009 yang mencapai 6.826 ton, ini tentu akibat iklim yang kurang menguntungkan.
Berkurang produksi kakao di daerah ini akibat berbagai faktor, antara lain adanya serangan penyakit dan iklim yang kurang menentu sehingga produksi yang dihasilkan petani relatif berkurang," kata Dewa Made Buana.
Dewa Made Duwuran menjelaskan, kakao hasil petikan petani daerah ini mulai memasuki pasar ekspor diharapkan akan menggairahkan pekebun untuk berproduksi tentu dengan harga yang lebih baik sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan petani.
Sementara itu Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali mencatat realisasi ekspor kakao hasil petani Bali enam bulan akhir 2013 tercatat 4.653 ton seharga 377.930 dolar AS dengan pemasarannya memasuki delapan negara konsumen.
Amerika Serikat tercatat pembeli terbanyak, yakni 609.718 kg seharga 197.951 dolar AS, menyusul Australia membeli 3.507 ton bernilai 93.213 dolar, diurutan ketiga adalah Inggris membeli 343 ton seharga 43.233 dolar AS.
Sementara sisanya dikapalkan ke Jerman, Filandia, Jepang dan Malaysia. Lancar perdagangan hasil perkebunan untuk bahan baku pabrik makanan itu diharapkan mengangkat penghasilan petani perkebunan di Bali, harap Dewa Made Duwuran. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Lancar, perdagangan kakao hasil petikan dari perkebunan rakyat daerah ini, baik di dalam maupun ke luar negeri. Sehingga diharapkan lebih menggairahkan petani untuk mengembangkan tanaman bernilai ekonomis itu," kata Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Bali, I Dewa Made Buana Duwuran di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan Dinas Perkebunan Provinsi Bali mencatat 4.653 ton kakao hasil perkebunan rakyat daerah itu selama enam bulan terakhir 2013 (Juli-Desember) masuk ke pasar ekspor senilai 377.930 dolar AS.
Mata dagangan bernilai ekonomis itu memasuki delapan negara konsumen, dan Amerika Serikat merupakan negara yang paling banyak komoditas kakao dari Pulau Dewata.
Bali memiliki lahan perkebunan relatif sedikit, memanfaatkan untuk tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dengan harapan mampu menambah penghasilan pekebun yang lebih mensejahterakan, seperti halnya kopi, vanili, cengkeh termasuk mete yang ditanam di lahan kering.
Dewa Made Buana menambahkan, ada tiga kabupaten yang mengembangkan tanaman kakao yang cukup potensial di daerah ini, yakni petani pekebun di Kabupaten Tabanan seluas 5.063 haktare (ha), menyusul Jembrana, 3.555 ha, Buleleng 1.258 ha dan sisanya di Badung, Klungkung, Bangli dan Karangasem.
Produksi kakao di Bali selama 2012 tercatat hanya 4.950 ton, jumlah itu bertambah jika dibandingkan tahun sebelumnya hanya 4.525 ton, namun angka itu jauh lebih rendah dari pada produksi tahun 2009 yang mencapai 6.826 ton, ini tentu akibat iklim yang kurang menguntungkan.
Berkurang produksi kakao di daerah ini akibat berbagai faktor, antara lain adanya serangan penyakit dan iklim yang kurang menentu sehingga produksi yang dihasilkan petani relatif berkurang," kata Dewa Made Buana.
Dewa Made Duwuran menjelaskan, kakao hasil petikan petani daerah ini mulai memasuki pasar ekspor diharapkan akan menggairahkan pekebun untuk berproduksi tentu dengan harga yang lebih baik sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan petani.
Sementara itu Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali mencatat realisasi ekspor kakao hasil petani Bali enam bulan akhir 2013 tercatat 4.653 ton seharga 377.930 dolar AS dengan pemasarannya memasuki delapan negara konsumen.
Amerika Serikat tercatat pembeli terbanyak, yakni 609.718 kg seharga 197.951 dolar AS, menyusul Australia membeli 3.507 ton bernilai 93.213 dolar, diurutan ketiga adalah Inggris membeli 343 ton seharga 43.233 dolar AS.
Sementara sisanya dikapalkan ke Jerman, Filandia, Jepang dan Malaysia. Lancar perdagangan hasil perkebunan untuk bahan baku pabrik makanan itu diharapkan mengangkat penghasilan petani perkebunan di Bali, harap Dewa Made Duwuran. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014