Denpasar (Antara Bali) - "Tolong jangan lupakan kami jika nanti sudah berhasil duduk di Dewan. Bukan bantuan beras dan uang yang kami perlukan, tetapi berbagai kebijakan yang lebih ramah dan bisa membantu kami untuk mandiri."
Tak sedikit pun ada keraguan saat Sang Ayu mengungkapkan isi hatinya itu, begitu mendapat kesempatan bertemu dengan sejumlah calon anggota legislatif dari kaum perempuan di wantilan DPRD Provinsi Bali di Denpasar, Jumat (7/3).
Ia tak memedulikan keterbatasan fisiknya yang ditopang dengan alat bantu berjalan. Sebagai anggota Pusat Pemberdayaan Disabilitas (Puspadi) Bali, suara Sang Ayu adalah suara kaum berkebutuhan khusus.
"Jika tangga di gedung maupun halte itu sesuai dengan kebutuhan, tentu kami bisa mandiri," tutur Sang Ayu menambahkan.
Namun Gusti Ayu Arini menimpali bahwa dirinya tidak ingin dikasihani begitu saja. "Berilah kami kail agar kami bisa terus memancing ikan daripada bantuan beras yang hanya sementara," kata gadis yang mengalami gangguan penglihatan itu.
Hal yang sama juga dilontarkan I Gede Widiasa dari Persatuan Tuna Netra Indonesia (Petuni) Provinsi Bali.
"Kepada ibu-ibulah kami berharap dapat dipekerjakan di spa," kata pria penyandang tunanetra yang memiliki keahlian memijat itu.
Pertemuan yang digagas oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-APIK), Bali Sruti, caleg perempuan lintasparpol, dan sejumlah LSM perempuan itu menjadi tempat "curhat" para penyandang disabilitas yang turut meramaikan peringatan Hari Perempuan Internasional di Denpasar itu.
Para caleg yang sebagian besar sudah berpengalaman sebagai aktivis perempuan seakan menjadi tumpuan harapan bagi mereka yang mengalami keterbasan fisik itu.
"Kemujuran tidak mungkin datang dari langit tanpa kerja keras. Memang seharusnya kaum perempuan dapat mengadopsi program-program yang lebih menyentuh masyarakat dan bersifat sosial, seperti penyandang disabilitas," kata Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali, Tutik Kusuma Wardhani, yang memfasilitasi pertemuan tersebut.
Oleh sebab itu, politikus Partai Demokrat itu mengingatkan caleg perempuan selain harus cerdas, juga harus memiliki integritas moral dan kepekaan.
"Dengan lebih banyak kaum Srikandi duduk di kursi legislatif, akan semakin banyak yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah," kata calon anggota DPR periode 2014-2019 itu.
Ramah Keluarga
Dari pertemuan yang digelar di wantilan DPRD Bali itu ada catatan yang perlu digarisbawahi, bahwa model kampanye dialogis itu sangat efektif bagi kaum perempuan.
"Kampanye dialogis dari pintu ke pintu akan jauh lebih efektif dalam menyampaikan pesan dari parpol maupun figur kepada konstituen dibandingkan lewat pengerahan massa," kata Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Bali, Dewa Ayu Sri Wigunawati.
Menurut dia, caleg perempuan itu ada segmennya tersendiri sehingga tidak mesti diisi oleh kaum hawa yang ahli orator di lapangan.
Apalagi parpol pun condong akan menggunakan kampanye dialogis, karena dipandang pesan kepada konstituen lebih mengena.
"Dengan kampanye dialogis berupa konsep ramah keluarga, pemilihnya pun nanti sudah pasti karena akan efektif pendekatan dari hati ke hati," ujarnya.
Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah itu berpandangan kampanye terbuka hanya sebagai bentuk pamer kekuatan massa yang dimiliki masing-masing parpol peserta pemilu.
"Potensi konflik dari kampanye terbuka atau rapat umum juga tinggi, ditambah seusai kampanye yang biasanya dibarengi aksi kebut-kebutan di jalan tanpa helm. Kondisi tersebut tentu sangat rentan menimbulkan kecelakaan serta mengganggu keamanan dan kenyamanan berlalu lintas," ucapnya.
Di sisi lain, seringkali kampanye terbuka itu dilihat sebagai "dagelan politik" karena tidak jelas siapa yang seharusnya hadir, apakah anggota parpol atau konstituen yang belum tersentuh sosialisasi.
"Biaya yang dikeluarkan tak kalah tinggi dan hubungan dengan konstituen seakan bersifat transaksional, karena berhenti sebatas pemberian uang transportasi dan konsumsi saat kampanye," kata Sri Wigunawati.
Semestinya calon wakil rakyat, mereka harus bisa memberikan pendidikan politik yang baik sejak awal dan dilakukan perubahan politik yang tidak identik dengan pengerahan massa.
Keberadaan caleg perempuan tidak hanya sekadar formalitas untuk memenuhi kuota 30 persen dengan mengabaikan kualitas personal, karena dalam berpolitik dikenal adagium "politics is personal".
Dalam pertemuan di wantilan DPRD Bali, Sang Ayu dan kawan-kawan menjaminkan 3.000 suara dari kaum disabilitas di Pulau Dewata itu untuk caleg perempuan.
Kalau saja 3.000 suara yang dijaminkan kaum disabilitas itu bisa dimanfaatkan tidak hanya sekadar mengobral janji, maka bukan tidak mungkin perempuan di Bali akan menjadi penentu kebijakan tanpa meninggalkan urusan domestiknya sesuai fitrah kaum Hawa.
Oleh sebab itu, ada baiknya juga para caleg perempuan merenungkan ungkapan pejuang wanita Myanmar, Aung San Suu Kyi, "Di lingkungan masyarakat, di mana lelaki sangat percaya diri dengan nilai mereka, maka perempuan tidak semata ditoleransi, tetapi juga dihargai." (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Tak sedikit pun ada keraguan saat Sang Ayu mengungkapkan isi hatinya itu, begitu mendapat kesempatan bertemu dengan sejumlah calon anggota legislatif dari kaum perempuan di wantilan DPRD Provinsi Bali di Denpasar, Jumat (7/3).
Ia tak memedulikan keterbatasan fisiknya yang ditopang dengan alat bantu berjalan. Sebagai anggota Pusat Pemberdayaan Disabilitas (Puspadi) Bali, suara Sang Ayu adalah suara kaum berkebutuhan khusus.
"Jika tangga di gedung maupun halte itu sesuai dengan kebutuhan, tentu kami bisa mandiri," tutur Sang Ayu menambahkan.
Namun Gusti Ayu Arini menimpali bahwa dirinya tidak ingin dikasihani begitu saja. "Berilah kami kail agar kami bisa terus memancing ikan daripada bantuan beras yang hanya sementara," kata gadis yang mengalami gangguan penglihatan itu.
Hal yang sama juga dilontarkan I Gede Widiasa dari Persatuan Tuna Netra Indonesia (Petuni) Provinsi Bali.
"Kepada ibu-ibulah kami berharap dapat dipekerjakan di spa," kata pria penyandang tunanetra yang memiliki keahlian memijat itu.
Pertemuan yang digagas oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-APIK), Bali Sruti, caleg perempuan lintasparpol, dan sejumlah LSM perempuan itu menjadi tempat "curhat" para penyandang disabilitas yang turut meramaikan peringatan Hari Perempuan Internasional di Denpasar itu.
Para caleg yang sebagian besar sudah berpengalaman sebagai aktivis perempuan seakan menjadi tumpuan harapan bagi mereka yang mengalami keterbasan fisik itu.
"Kemujuran tidak mungkin datang dari langit tanpa kerja keras. Memang seharusnya kaum perempuan dapat mengadopsi program-program yang lebih menyentuh masyarakat dan bersifat sosial, seperti penyandang disabilitas," kata Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali, Tutik Kusuma Wardhani, yang memfasilitasi pertemuan tersebut.
Oleh sebab itu, politikus Partai Demokrat itu mengingatkan caleg perempuan selain harus cerdas, juga harus memiliki integritas moral dan kepekaan.
"Dengan lebih banyak kaum Srikandi duduk di kursi legislatif, akan semakin banyak yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah," kata calon anggota DPR periode 2014-2019 itu.
Ramah Keluarga
Dari pertemuan yang digelar di wantilan DPRD Bali itu ada catatan yang perlu digarisbawahi, bahwa model kampanye dialogis itu sangat efektif bagi kaum perempuan.
"Kampanye dialogis dari pintu ke pintu akan jauh lebih efektif dalam menyampaikan pesan dari parpol maupun figur kepada konstituen dibandingkan lewat pengerahan massa," kata Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Bali, Dewa Ayu Sri Wigunawati.
Menurut dia, caleg perempuan itu ada segmennya tersendiri sehingga tidak mesti diisi oleh kaum hawa yang ahli orator di lapangan.
Apalagi parpol pun condong akan menggunakan kampanye dialogis, karena dipandang pesan kepada konstituen lebih mengena.
"Dengan kampanye dialogis berupa konsep ramah keluarga, pemilihnya pun nanti sudah pasti karena akan efektif pendekatan dari hati ke hati," ujarnya.
Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah itu berpandangan kampanye terbuka hanya sebagai bentuk pamer kekuatan massa yang dimiliki masing-masing parpol peserta pemilu.
"Potensi konflik dari kampanye terbuka atau rapat umum juga tinggi, ditambah seusai kampanye yang biasanya dibarengi aksi kebut-kebutan di jalan tanpa helm. Kondisi tersebut tentu sangat rentan menimbulkan kecelakaan serta mengganggu keamanan dan kenyamanan berlalu lintas," ucapnya.
Di sisi lain, seringkali kampanye terbuka itu dilihat sebagai "dagelan politik" karena tidak jelas siapa yang seharusnya hadir, apakah anggota parpol atau konstituen yang belum tersentuh sosialisasi.
"Biaya yang dikeluarkan tak kalah tinggi dan hubungan dengan konstituen seakan bersifat transaksional, karena berhenti sebatas pemberian uang transportasi dan konsumsi saat kampanye," kata Sri Wigunawati.
Semestinya calon wakil rakyat, mereka harus bisa memberikan pendidikan politik yang baik sejak awal dan dilakukan perubahan politik yang tidak identik dengan pengerahan massa.
Keberadaan caleg perempuan tidak hanya sekadar formalitas untuk memenuhi kuota 30 persen dengan mengabaikan kualitas personal, karena dalam berpolitik dikenal adagium "politics is personal".
Dalam pertemuan di wantilan DPRD Bali, Sang Ayu dan kawan-kawan menjaminkan 3.000 suara dari kaum disabilitas di Pulau Dewata itu untuk caleg perempuan.
Kalau saja 3.000 suara yang dijaminkan kaum disabilitas itu bisa dimanfaatkan tidak hanya sekadar mengobral janji, maka bukan tidak mungkin perempuan di Bali akan menjadi penentu kebijakan tanpa meninggalkan urusan domestiknya sesuai fitrah kaum Hawa.
Oleh sebab itu, ada baiknya juga para caleg perempuan merenungkan ungkapan pejuang wanita Myanmar, Aung San Suu Kyi, "Di lingkungan masyarakat, di mana lelaki sangat percaya diri dengan nilai mereka, maka perempuan tidak semata ditoleransi, tetapi juga dihargai." (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014