Denpasar (Antara Bali) - Bentara Budaya Bali lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Jalan By Pass Ida Bagus Mantra Ketewel Kabupaten Gianyar kembali memutar film Bali tempo dulu berjudul "Gods of Bali" (1936).

"Pemutaran film yang terbuka untuk umum secara cuma-cuma itu dijadwalkan pada Minggu (27/10) sebagai rangkaian kelanjutan acara Bali Tempo Doeloe," kata penata acara BBB Putu Aryastawa, Sabtu.

Ia mengatakan, pemutaran film tersebut dilanjutkan dengan diskusi tentang isi film Bali tempo dulu itu yang terselenggara berkat kerja sama dengan Sinematek Indonesia.

Film yang diproduksi 67 tahun yang silam itu berdurasi 55 menit menampilkan ragam ritual serta deskripsi mengenai fenomena transeden yang terjadi hampir dalam setiap kegiatan keagamaan.

Kondisi Bali masa silam itu akan memberikan gambaran kepada publik bahwa agama dan keseharian masyarakat sesungguhnya tidak terpisahkan, yang belakangan ditengarai membentuk identitas kultural orang Bali.

Purnama Sari, lulusan antropologi Universitas Udayana yang kini melanjutkan studi S2 di Universitas Indonesia dan aktif mengkaji berbagai fenomena budaya di Bali menilai pemutaran film itu sebagai hal yang sangat positif.

"Orang Bali meyakini, turunnya para Dewa melalui fenomena trance ataupun kerasukan sejatinya bermakna restu, berkah, ataupun ruwatan bagi kehidupan masyarakat setempat," katanya.

Oleh sebab itu ritual-ritual tesebut dipercaya bertaut erat dengan spiritualitas, kesakralan serta lebih jauh, keharmonian antara kekuatan baik-buruk, antara dunia manusia dengan alam gaib para dewata dan deitya (roh halus maupun buta kala).

"Gods of Bali" adalah salah satu film yang terbilang komprehensif menampilkan wujud ritual orang Bali adalah skenario yang ditulis oleh Sidney Carroll. Selain "Gods of Bali", Bali Tempo Doeloe juga menampilkan film dengan tematik serupa dalam perspektif kekinian.

"Agenda itu dipadukan dengan diskusi bersama para pengamat dan pemerhati budaya, yang akan memaknai perubahan kondisi Bali dari masa ke masa. Dialog tidak hanya mengetengahkan sisi eksotika dari Bali masa silam, melainkan juga menyoroti problematik yang menyertai pulau ini selama aneka kurun waktu, termasuk kemungkinan refleksinya bagi masa depan," tutur Putu Aryastawa.

Sebagai pembahas dalam diskusi adalah budayawan Ida Bagus Agastya, pengajar di Fakultas Sastra Universitas Udayana, penulis berbagai buku, serta dikenal sebagai pemerhati masalah sosial dan agama di Bali.

Bali memang memiliki beragam ritual yang lestari hingga sekarang. Penyelenggaraan aktivitas keagamaan di pura, baik di desa dan wilayah perkotaan, dengan sering dapat dijumpai, memperlihatkan ritual-ritual berdaya magis, yang mempertautkan nilai kultural, religi, hingga wujud-wujud transedental.

"Tema Bali Tempo Doeloe kali ini, yakni seputar ritual sakral dan pertunjukan profan, berangkat dari fenomena bahwa tak jarang seringkali ritual-ritual itu, tidak terpungkiri, sekarang ditransformasikan untuk kepentingan-kepentingan turistik," katanya.

Wujud kesakralan pun dimodifikasi secara sadar menjadi bentuk pertunjukan, yang tak jarang bersifat profan. Di satu sisi memberikan manfaat bagi keleluasaan khalayak luar untuk menyaksikan sebagian dari laku ritual orang Bali, namun di lain pihak dipandang berdampak kontraproduktif bagi perkembangan sosial budaya di daerah ini.

Masyarakat Bali ada kecenderungan mengadaptasi kesakralan kebudayaan tradisinya semata untuk tujuan pariwisata. Misalnya penjor, bambu melengkung tinggi yang dihiasi janur bermakna simbolis Naga Basuki, cerminan mistis pelindung alam semesta.

Belakangan disesuaikan wujudnya dan dipergunakan sebagai dekorasi acara di luar kepentingan agama. Hal ini tidak hanya terjadi terhadap unsur-unsur upacara, melainkan juga pada ragam tarian di Pulau Dewata," tutur Putu Aryastawa.  (WRA) 

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gede Wira Suryantala


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013