Oleh: Ade P Marboen
Film "Cowboys In Paradise" yang disutradarai Amit Virmani itu memang mulai surut kontroversinya. Semula dikatakan, film dokumenter itu hanya untuk merekam perilaku dan lingkungan pergaulan para "beach boys" Pantai Kuta yang sehari-hari berselancar di pantai terkenal di Bali itu.
Akan tetapi, film yang saat ini bagian-bagiannya mudah diunduh dari "YouTube" itu kemudian dimaknai berbeda, yaitu menuturkan praktik "bisnis gigolo" di pulau andalan wisata Indonesia. Reaksi yang mudah terjadi sangat jelas, banyak pihak menyangkal hal itu terjadi karena terkait citra bangsa, nilai adat istiadat, dan sebagainya.
Kepolisian Daerah Bali juga langsung proaktif atas kasus yang mampu membuat Gubernur Bali, Made Pastika, berang. Penegak hukum ini mampu menemukan beberapa "beach boys" Kuta yang menjadi pemeran dalam film itu.
"Belum ke sana. Kami baru mengumpulkan keterangan dan bersikap proaktif terhadap masalah yang menjadi kontroversi di tengah masyarakat Bali ini. Sementara ini baru UU Perfilman saja," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Bali, Komisaris Besar Polisi Gde Sugianyar, beberapa waktu lalu.
Dia ditanya tentang kemungkinan para pelaku pembuatan film itu bisa diseret ke ranah pelanggaran kesusilaan. Polisi masih menyasar pada UU Nomor 8/1992 Tentang Perfilman, yang disangkakan kepada pembuatnya melanggar ijin pembuatan film. Itu saja dulu.
Ibarat pepatah, ada asap ada api alias tidak akan mungkin asap ada tanpa api. Benarkah praktik bisnis gigolo ini terjadi selama ini di Bali seperti "dikesankan" dan dipersepsikan orang yang menyaksikan film itu? Tentang hal ini, seperti menghirup udara: tidak terlihat namun terasa.
Kata "gigolo" yang dipelesetkan menjadi "cowboys", menurut kamus bahasa Inggris Collins edisi 2003, adalah kata benda yang berasal dari bahasa Perancis. Maknanya dalam bahasa Inggris menurut kamus itu, adalah "a man who is paid by an older woman to be her escort or lover".
Dalam bahasa Indonesia, kira-kira adalah "seorang lelaki yang dibayar atau disewa oleh perempuan yang lebih tua untuk menjadi pendamping perempuan itu atau menjadi kekasihnya". Istilah "cowboys" dalam konteks ini rupanya telah dikenal sejak lama, karena dalam berbagai "blog" di internet, istilah ini lazim disebutkan.
Tidak secara eksplisit ada pengertian aktivitas seksualitas dalam pemaknaan kata "gigolo" itu. Namun sejalan dengan pengertian awam yang dikenal semua orang, pengertian kata "gigolo" itu sudah mengandungi aktivitas seksualitas dan jasa yang diberi ganjaran berupa perhatian, harta-benda, privilese, dan lain sejenisnya.
Satu petang di Pantai Sanur, Bali. Pantai yang berada di sisi selatan namun menghadap barat sehingga ideal untuk menjadi tempat menikmati matahari terbenam ini sudah lebih dahulu ditampilkan sebagai ikon wisata Bali sejak Presiden Soekarno berkuasa.
Seorang perempuan wisatawan dari Eropa, dalam bahasa Perancis-nya, bercakap-cakap dengan seorang lelaki setempat. Tidak ada yang istimewa dari percakapan keduanya, kecuali mereka saling bertukar nama dan nomor telefon genggamnya. Lelaki usia sekitar 30 tahun itu bisa mengimbangi perbendaharaan kata perempuan muda Eropa itu.
Pantai Sanur selama ini dikenal sebagai tempat pelesiran turis yang lebih mapan ketimbang di Pantai Kuta. Mapan bolehlah diartikan sebagai lebih mantap secara finansial dan usia, sehingga di situ lebih banyak dijumpai turis yang berusia. Masa tinggal turis di Sanur biasanya juga lebih panjang ketimbang di Kawasan Kuta, Seminyak, dan Legian.
Karena itulah, kehadiran perempuan turis Eropa yang muda usia itu cukup mudah dikenali dalam sekali pandangan mata, apalagi di satu penggal Pantai Sanur itu masih agak sepi pengunjung. Pakaian renang yang sangat sopan untuk ukuran Eropa sekalipun, melekat di tubuhnya dengan topi pandan cukup lebar memayungi kepala berambut warna "brunette" itu.
Warga setempat yang banyak berjualan barang kerajinan juga tidak menaruh perhatian apapun atas perbincangan kedua orang berbeda kelamin dan berbeda kebangsaan itu. Sudah terlalu sering terjadi pemandangan seperti itu di lokasi wisata andalan Bali itu.
"Saya senang ditemani dia, orangnya sopan dan besok saya akan diajak ke beberapa tempat di Denpasar. Dia dikenalkan oleh teman saya yang mengenal teman dia. Jadi saya dikenalkan lewat orang lain dan dia datang ke sini bersama teman saya di Bali kemarin," kata perempuan Eropa, yang hanya mengaku bernama Michelle itu.
Michelle datang ke Bali bersama seorang teman perempuannya, warga negara Belgia, dan langsung menginap di salah satu villa sedang di Kawasan Sanur. Bali dia ketahui dari internet dan seperti lazim dilakukan turis mancanegara di Bali, buku tebal tentang Bali dan tetek-bengek soal Pulau Dewata itu selalu ada dalam tas kecilnya.
Sebelum berangkat, kata Michelle yang menyatakan baru tiga tahun menamatkan kuliahnya di Paris, dia membaca berbagai "blog" di jaringan internet soal Bali. "Gigolo di Bali? Saya lihat tidak ada. Kalaupun ada, bukankah itu ada di mana-mana di dunia ini?," katanya dengan tersenyum.
Salah satu "blog" yang dia baca adalah tulisan Greg Crue dan Denise Dowling, seorang warganegara Australia yang telah sering ke Bali. Dalam "blog" itu, ditulis sebagian "tips" untuk mengenali seorang lelaki itu gigolo atau bukan.
Seorang lelaki muda bisa dijuluki "cowboys" di Kawasan Kuta, Bali, sebagai permisalan tempat, sangat tergantung pada perspektif mitranya. Walau secara fisik semuanya nyaris sama, yaitu badan kekar dengan kulit hitam terbakar matahari, rambut kemerahan, jarang berbaju, riasan tato di badan atau kaki dan tangan, dan sering menghabiskan waktu di pantai, namun hanya sedikit sekali yang menjadi "cowboy" itu.
Menurut "blog" itu, katanya, "cowboy" yang betul-betul "cowboy" biasanya tidak punya pekerjaan tetap, tanpa identitas jelas apalagi memiliki passport, uangnya sedikit sekali sehingga makan-minum dan jalan-jalan dibayari mitra perempuan turisnya, dan mudah menghidupkan suasana.
Yang tidak kalah penting, katanya, mereka sangat dekat dengan kehidupan malam. Alkohol dalam jumlah berlebih juga menjadi barang konsumsi sehari-hari yang sudah menjadi keperluan mereka.
"Sejenis oportunis yang memanfaatkan situasi wisata. Di mana-mana ada, di Meksiko, Spanyol, dan sebagainya. Yang jelas, kata 'blog' itu, mereka mahir sekali mengucapkan 'I love you' dalam bermacam bahasa. Bahkan bahasa Rusia juga bisa!," kata Michelle diiringi tawanya. Dia sangat percaya diri dengan setiap kata yang diutarakan.
Perempuan ahli komputer yang masih lajang itu menyatakan, "Apa ada bedanya dengan perempuan yang merelakan dirinya untuk beberapa lembar uang? Saya kira sama saja. Apakah itu dinikmati orang itu atau tidak, itu persoalan lain. Akan tetapi mungkin 'cowboy' ini tidak menetapkan tarif seperti di Eropa, di sana sudah jauh lebih profesional dan ada negara-negara yang melegalkan hal itu sepanjang menaati aturan hukum."
"Blog" itu, menjadi pegangan penting bagi Michelle. Dia memang ingin mencari pendamping lelaki dari Asia, yang dia katakan, "Di Eropa sudah sangat individualis. Hubungan perkawinan juga banyak yang kandas, mungkin di Asia berbeda."
Tentang lelaki Indonesia kepada siapa dia bertukar nomor telefon tadi itu, dia berkata, "Dia jelas bukan 'cowboy' walau dia dekat dengan kehidupan malam. Lusa dia mau mengantar saya jalan-jalan ke Bali sebelah utara, katanya bagus untuk dikunjungi."(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
Film "Cowboys In Paradise" yang disutradarai Amit Virmani itu memang mulai surut kontroversinya. Semula dikatakan, film dokumenter itu hanya untuk merekam perilaku dan lingkungan pergaulan para "beach boys" Pantai Kuta yang sehari-hari berselancar di pantai terkenal di Bali itu.
Akan tetapi, film yang saat ini bagian-bagiannya mudah diunduh dari "YouTube" itu kemudian dimaknai berbeda, yaitu menuturkan praktik "bisnis gigolo" di pulau andalan wisata Indonesia. Reaksi yang mudah terjadi sangat jelas, banyak pihak menyangkal hal itu terjadi karena terkait citra bangsa, nilai adat istiadat, dan sebagainya.
Kepolisian Daerah Bali juga langsung proaktif atas kasus yang mampu membuat Gubernur Bali, Made Pastika, berang. Penegak hukum ini mampu menemukan beberapa "beach boys" Kuta yang menjadi pemeran dalam film itu.
"Belum ke sana. Kami baru mengumpulkan keterangan dan bersikap proaktif terhadap masalah yang menjadi kontroversi di tengah masyarakat Bali ini. Sementara ini baru UU Perfilman saja," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Bali, Komisaris Besar Polisi Gde Sugianyar, beberapa waktu lalu.
Dia ditanya tentang kemungkinan para pelaku pembuatan film itu bisa diseret ke ranah pelanggaran kesusilaan. Polisi masih menyasar pada UU Nomor 8/1992 Tentang Perfilman, yang disangkakan kepada pembuatnya melanggar ijin pembuatan film. Itu saja dulu.
Ibarat pepatah, ada asap ada api alias tidak akan mungkin asap ada tanpa api. Benarkah praktik bisnis gigolo ini terjadi selama ini di Bali seperti "dikesankan" dan dipersepsikan orang yang menyaksikan film itu? Tentang hal ini, seperti menghirup udara: tidak terlihat namun terasa.
Kata "gigolo" yang dipelesetkan menjadi "cowboys", menurut kamus bahasa Inggris Collins edisi 2003, adalah kata benda yang berasal dari bahasa Perancis. Maknanya dalam bahasa Inggris menurut kamus itu, adalah "a man who is paid by an older woman to be her escort or lover".
Dalam bahasa Indonesia, kira-kira adalah "seorang lelaki yang dibayar atau disewa oleh perempuan yang lebih tua untuk menjadi pendamping perempuan itu atau menjadi kekasihnya". Istilah "cowboys" dalam konteks ini rupanya telah dikenal sejak lama, karena dalam berbagai "blog" di internet, istilah ini lazim disebutkan.
Tidak secara eksplisit ada pengertian aktivitas seksualitas dalam pemaknaan kata "gigolo" itu. Namun sejalan dengan pengertian awam yang dikenal semua orang, pengertian kata "gigolo" itu sudah mengandungi aktivitas seksualitas dan jasa yang diberi ganjaran berupa perhatian, harta-benda, privilese, dan lain sejenisnya.
Satu petang di Pantai Sanur, Bali. Pantai yang berada di sisi selatan namun menghadap barat sehingga ideal untuk menjadi tempat menikmati matahari terbenam ini sudah lebih dahulu ditampilkan sebagai ikon wisata Bali sejak Presiden Soekarno berkuasa.
Seorang perempuan wisatawan dari Eropa, dalam bahasa Perancis-nya, bercakap-cakap dengan seorang lelaki setempat. Tidak ada yang istimewa dari percakapan keduanya, kecuali mereka saling bertukar nama dan nomor telefon genggamnya. Lelaki usia sekitar 30 tahun itu bisa mengimbangi perbendaharaan kata perempuan muda Eropa itu.
Pantai Sanur selama ini dikenal sebagai tempat pelesiran turis yang lebih mapan ketimbang di Pantai Kuta. Mapan bolehlah diartikan sebagai lebih mantap secara finansial dan usia, sehingga di situ lebih banyak dijumpai turis yang berusia. Masa tinggal turis di Sanur biasanya juga lebih panjang ketimbang di Kawasan Kuta, Seminyak, dan Legian.
Karena itulah, kehadiran perempuan turis Eropa yang muda usia itu cukup mudah dikenali dalam sekali pandangan mata, apalagi di satu penggal Pantai Sanur itu masih agak sepi pengunjung. Pakaian renang yang sangat sopan untuk ukuran Eropa sekalipun, melekat di tubuhnya dengan topi pandan cukup lebar memayungi kepala berambut warna "brunette" itu.
Warga setempat yang banyak berjualan barang kerajinan juga tidak menaruh perhatian apapun atas perbincangan kedua orang berbeda kelamin dan berbeda kebangsaan itu. Sudah terlalu sering terjadi pemandangan seperti itu di lokasi wisata andalan Bali itu.
"Saya senang ditemani dia, orangnya sopan dan besok saya akan diajak ke beberapa tempat di Denpasar. Dia dikenalkan oleh teman saya yang mengenal teman dia. Jadi saya dikenalkan lewat orang lain dan dia datang ke sini bersama teman saya di Bali kemarin," kata perempuan Eropa, yang hanya mengaku bernama Michelle itu.
Michelle datang ke Bali bersama seorang teman perempuannya, warga negara Belgia, dan langsung menginap di salah satu villa sedang di Kawasan Sanur. Bali dia ketahui dari internet dan seperti lazim dilakukan turis mancanegara di Bali, buku tebal tentang Bali dan tetek-bengek soal Pulau Dewata itu selalu ada dalam tas kecilnya.
Sebelum berangkat, kata Michelle yang menyatakan baru tiga tahun menamatkan kuliahnya di Paris, dia membaca berbagai "blog" di jaringan internet soal Bali. "Gigolo di Bali? Saya lihat tidak ada. Kalaupun ada, bukankah itu ada di mana-mana di dunia ini?," katanya dengan tersenyum.
Salah satu "blog" yang dia baca adalah tulisan Greg Crue dan Denise Dowling, seorang warganegara Australia yang telah sering ke Bali. Dalam "blog" itu, ditulis sebagian "tips" untuk mengenali seorang lelaki itu gigolo atau bukan.
Seorang lelaki muda bisa dijuluki "cowboys" di Kawasan Kuta, Bali, sebagai permisalan tempat, sangat tergantung pada perspektif mitranya. Walau secara fisik semuanya nyaris sama, yaitu badan kekar dengan kulit hitam terbakar matahari, rambut kemerahan, jarang berbaju, riasan tato di badan atau kaki dan tangan, dan sering menghabiskan waktu di pantai, namun hanya sedikit sekali yang menjadi "cowboy" itu.
Menurut "blog" itu, katanya, "cowboy" yang betul-betul "cowboy" biasanya tidak punya pekerjaan tetap, tanpa identitas jelas apalagi memiliki passport, uangnya sedikit sekali sehingga makan-minum dan jalan-jalan dibayari mitra perempuan turisnya, dan mudah menghidupkan suasana.
Yang tidak kalah penting, katanya, mereka sangat dekat dengan kehidupan malam. Alkohol dalam jumlah berlebih juga menjadi barang konsumsi sehari-hari yang sudah menjadi keperluan mereka.
"Sejenis oportunis yang memanfaatkan situasi wisata. Di mana-mana ada, di Meksiko, Spanyol, dan sebagainya. Yang jelas, kata 'blog' itu, mereka mahir sekali mengucapkan 'I love you' dalam bermacam bahasa. Bahkan bahasa Rusia juga bisa!," kata Michelle diiringi tawanya. Dia sangat percaya diri dengan setiap kata yang diutarakan.
Perempuan ahli komputer yang masih lajang itu menyatakan, "Apa ada bedanya dengan perempuan yang merelakan dirinya untuk beberapa lembar uang? Saya kira sama saja. Apakah itu dinikmati orang itu atau tidak, itu persoalan lain. Akan tetapi mungkin 'cowboy' ini tidak menetapkan tarif seperti di Eropa, di sana sudah jauh lebih profesional dan ada negara-negara yang melegalkan hal itu sepanjang menaati aturan hukum."
"Blog" itu, menjadi pegangan penting bagi Michelle. Dia memang ingin mencari pendamping lelaki dari Asia, yang dia katakan, "Di Eropa sudah sangat individualis. Hubungan perkawinan juga banyak yang kandas, mungkin di Asia berbeda."
Tentang lelaki Indonesia kepada siapa dia bertukar nomor telefon tadi itu, dia berkata, "Dia jelas bukan 'cowboy' walau dia dekat dengan kehidupan malam. Lusa dia mau mengantar saya jalan-jalan ke Bali sebelah utara, katanya bagus untuk dikunjungi."(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010