Denpasar (Antara Bali) - Kearifan lokal leluhur orang Bali salah satu di antaranya Tri Hita Karana (THK), yakni hubungan yang harmonis dan serasi antarsesama manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Hidup rukun dan harmonis berdampingan satu sama lainnya antarumat beragama yang selama ini terwujud di Bali merupakan salah satu penjabaran tri hita karana, di samping konsep "menyama braya" yakni persaudaraan yang akrab dengan semua umat lintas agama.

Kondisi dan kearifan lokal itu yang patut terus dijaga dalam kehidupan masyarakat Bali yang sebagian besar menggantungkan harapan pada sektor pariwisata, tutur Dosen Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi.

Kearifan lokal tersebut memang masih dominan diamalkan dalam bentuk Panca Yadnya, yakni lima kegiatan ritual yang meliputi Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, dan Rsi Yadnya..

Dalam perspektif Tri Hita Karana Awards, Panca Yadnya merupakan tuntunan religius yang harus dapat diaktualisasikan untuk membangun kehidupan yang nyaman dalam lingkungan yang bersih dan hijau di tengah perkembangan pariwisata.

Konsep Dewa Yadnya dan Pitra Yadnya, sesungguhnya mengandung nilai-nilai bakti kepada Tuhan atas semua anugerah yang dilimpahkan serta penghormatan terhadap jasa dan apa yang telah diperbuat para leluhur di masa lalu dalam bidang lingkungan, sosial, budaya, seni dan arsitektur.

Kedua konsep itu mengandung nilai agar manusia selalu hidup sejahtera dan harmonis dengan alam lingkungan serta seluruh mahluk. Sedangkan konsep Rsi Yadnya mengajak setiap orang agar terus berupaya belajar, merencanakan masa depan mengikuti perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.

Untuk itu menurut Ketut Sumadi, alumnus S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana itu, seluruh komponen pariwisata Bali hendaknya mampu mengimplementasikan konsep luhur orang Bali itu menuju pengembangan pariwisata kerakyatan yang berkelanjutan.

Setiap prosesi ritual pasti selalu diawali dengan mebersih-bersih (mareresik), penyucian atau pembersihan lingkungan dan diri sendiri yang berarti hidup bersih dan bersahabat dengan alam yang telah mendarah daging dalam kehidupan orang Bali.

Demikian pula dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, kearifan lokal dalam bentuk prilaku yang bermakna sosial adalah orang Bali lebih mengutamakan kebersamaan yang disebut "menyama braya" yakni hidup rukun dan damai penuh persaudaraan.

Sikap "menyama braya" orang Bali itu merupakan pengamalan ajaran Hindu "tat twam asi" yang berarti "engkau adalah aku". Hidup rukun dan saling menghormati hak azasi seseorang yang kini didengung-dengungkan sebagai upaya penegakan hak-hak azasi manusia (HAM) di seluruh dunia.

Ajaran "tat twam asi" bagi orang Bali mempunyai makna yang maha tinggi dalam menjalin keharmonisan hidup dengan sesama dan alam semesta, termasuk juga dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa.

Pengertian tat twam asi bisa dikembangkan menjadi "saya adalah kamu", "orang lain adalah juga saudara kita". Karena itu, kehidupan sosial masyarakat Bali selalu menekankan nilai-nilai kebersamaan, pemahaman makna kultural yang dilandasi konsep kebersamaan, toleransi, penghargaan, senasib seperjuangan, dan cinta kasih.

Pelayanan Tulus Iklas

Ketut Sumadi, pria kelahiran Gianyar yang pernah mengadakan penelitian tentang kehidupan seni budaya di kawasan wisata Kuta itu menambahkan, pengamalan lebih lanjut konsep kehidupan itu dalam satu kesatuan wilayah yang disebut desa adat (Pekraman).

Orang Bali selalu bekerja sama menerapkan pola humanisme dalam membangun hidup bahagia. Mereka selalu bekerja sama, baik dalam suka maupun duka, sehingga sistem kekrabatan orang Bali sangat kental diwarnai rasa setia kawan dan pelayanan yang tulus.

Kesetiakawanan dan hubungan sosial yang harmonis iyu kemudian dipopulerkan dengan konsep Tri Hita Karana, di mana orang Bali tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga memelihara hubungan harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama, dan dengan lingkungan.

Konsep Tri Hita Karana yang menjamin setiap orang untuk saling menghargai, menghormati, dan toleransi terhadap perbedaan di tengah berkembang pesatnya sektor pariwisata.

Dalam perspektif itulah pelaksanaan Tri Hita Karana Tourism Awards and Accreditations (THK Awards) menjadi sangat penting artinya dalam perkembangan pariwisata budaya.

Untuk membangun pariwisata di Bali dewasa ini maupun di masa depan, tradisi dan budaya Bali yang diwarisi dari leluhurnya harus dipertahankan kelestariannya.

Berbagai pernik tradisi Bali yang dijiwai oleh agama Hindu di Pulau Dewata menjadi daya tarik wisatawan yang harus dapat dilestarikan dan dijaga oleh seluruh komponen pariwisata dan masyarakat di daerah ini.

Oleh sebab itu keuntungan yang diperoleh dari bisnis pariwisata harus sebagian disisihkan untuk kontribusi terhadap upaya-upaya menggali, mengamalkan, mengembangkan dan melestarikan tradisi Bali.

Untuk itu perlu tersedia dana cukup untuk melestarikan budaya yang bersumber dari keuntungan yang diperoleh dari bisnis pariwisata, sebagian lainnya diarahkan untuk mendanai kegiatan-kegiatan penelitian, pelestarian dan pengembangan budaya Bali.

Masalah pendanaan sampai sekarang memang menjadi kendala, karena selama tiga dasa warsa perjalanan pariwisata Bali, keuntungan yang diperoleh sangat kecil dialokasikan untuk upaya-upaya pelestarian budaya Bali, tutur Ketut Sumadi. (*/ADT)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Nyoman Aditya T I


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013