Denpasar (Antara Bali) - Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat mengusulkan pembentukan tim investigasi independen untuk menelusuri asal mula terbitnya Keputusan Gubernur Bali dan rekomendasi DPRD terkait izin reklamasi di Teluk Benoa, Badung.

"Tim ini harus independen, memiliki integritas dan merekomendasikan hasil yang akuntabel dan transparan. Tanpa tim tersebut akan sulit mencari penyelesaian dari kisruh soal reklamasi, apalagi kalau pihak-pihak yang bersangkutan saling melempar tanggung jawab," kata Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat Putu Wirata Dwikora di Denpasar, Senin.

Menurut dia, dari penelusuran yang objektif akan ketahuan kelemahan dari SK Gubernur, Rekomendasi Ketua DPRD Bali maupun kajian sementara Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana.

"Rekomendasi tim investigasi independen tentu saja tergantung dari hasil penelusuran dan investigasi yang dilakukan serta harus diberi kewenangan yang luas untuk membuat rekomendasi tanpa intervensi pihak manapun," ujar lelaki yang juga Ketua "Bali Corruption Watch" (BCW) itu.

Tim ini, ucap dia, sangat diperlukan mengingat dari polemik yang berkembang ketiga pihak itu berada dalam posisi yang dipertanyakan masyarakat terkait kebijakan reklamasi Teluk Benoa.

"Kalau Gubernur dan Ketua DPRD Bali memperhatikan partisipasi masyarakat serta menghargai prinsip `clean government` (pemerintahan yang bersih) dan `good governance` (kepemerintahan yang baik), maka setelah polemik yang menghebohkan ini semestinya mereka bicara terbuka ke masyarakat, agar pertanyaan-pertanyaan masyarakat dan argumen-argumen kedua petinggi Bali itu diuji secara terbuka," katanya.

Ia menyayangkan, terkait rencana reklamasi Teluk Benoa tersebut, baik Gubernur, Ketua DPRD Bali dan anggotanya, juga LPPM Unud terkesan kurang terbuka dan menyembunyikan sesuatu dari masyarakat.

"Kalau perdebatan dan polemik muncul dalam perencanaan awal, hasilnya pasti lebih positif. Tetapi, karena SK sudah keluar dan keluarnya diam-diam tanpa partisipasi masyarakat, kecurigaan-kecurigaan yang muncul bahwa ada uang besar di balik kebijakan ini, menjadi sangat beralasan," ujarnya.

Pihaknya mengharapkan berbagai kebijakan maupun program serta proyek pembangunan provinsi maupun kabupaten, dibicarakan secara transparan, melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti PHDI, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan lain-lain.

"Seperti pembangunan PLTU Celukan Bawang Buleleng, jalan di atas perairan (JDP) di kawasan mangrove Ngurah Rai, jalan bebas hambatan Soka-Seririt, penetapan kawasan-kawasan strategis provinsi maupun kabupaten, setahu kami, PHDI selalu diajak membahas. Mengapa tiba-tiba ada kajian reklamasi Teluk Benoa, tetapi PHDI tidak dilibatkan seperti dalam kebijakan-kebijakan lainnya itu," tanyanya.

Wirata juga mempertanyakan terkait partisipasi masyarakat lainnya, seperti MUDP, LSM-LSM yang fokus terhadap pelestarian dan penyelamatan lingkungan hidup, tokoh masyarakat yang menggeluti pelestarian dan pengembangan budaya dan sebagainya.

"Sebagai pemangku kepentingan, PHDI berkepentingan mengetahui kajian dan rencana itu, karena tanggung jawab majelis ini mewakili aspirasi dan kepentingan umat Hindu di Bali," katanya.

Pihaknya memandang, sesuatu yang direncanakan secara tertutup, bertentangan dengan prinsip demokrasi serta prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih dan baik.

"Ini ada apa? Sikap tertutup ketiga pihak tersebut menyebabkan masyarakat kehilangan ruang untuk berpartisipasi. Secara teoritis, pengabaian terhadap prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, paralel dengan adanya sesuatu yang patut diduga menyimpang, seperti kemungkinan adanya gratifikasi dan pelanggaran hukum lainnya," ujar Wirata. (LHS)

Pewarta: Oleh Ni Luh Rhismawati

Editor : Ni Luh Rhismawati


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013