Dinas Pariwisata (Dispar) Bali merespons soal ramainya informasi rencana moratorium pembangunan vila atau akomodasi pariwisata sejenis di Bali Selatan.

Kepala Dispar Bali Tjok Bagus Pemayun di Denpasar, Jumat, menjelaskan pembahasan ini bertujuan untuk menata kembali pariwisata khususnya di Bali Selatan, serta bukan hanya persoalan penghentian sementara pembangunan namun ada beberapa hal yang saling berkaitan.

“Moratorium itu lah untuk tata kelola, saya belum tahu ujungnya apa tapi kami inginnya tata kelolanya lebih bagus,” kata dia kepada ANTARA.

Tjok Pemayun menjelaskan awalnya pemerintah pusat meminta Pemprov Bali menyampaikan persoalan yang terjadi, seperti perilaku menyimpang wisatawan dan kondisi kemacetan di jalan, padahal selama ini pemerintah sudah berupaya mensosialisasikan aturan do’s and dont"s serta membentuk satuan tugas.

Akhirnya Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno menyampaikan akan diadakan rapat terbatas.

Rapat tersebut rencananya membahas tiga hal yaitu pengaturan perizinan Online Single Submission (OSS) agar melibatkan peran tokoh daerah, penghentian alih fungsi lahan sawah menjadi lahan komersil, dan moratorium pembangunan hotel di Bali Selatan.

Dispar Bali belum tahu pasti aturan yang akan diturunkan, namun isu ini saling berkaitan, dimana pembangunan yang padat seringkali tidak tertata karena perizinannya bukan di tangan pemprov.

“Prinsipnya moratorium itu kan sementara ya, nah saya belum tahu kemana arahnya dan sampai kapan, karena Bali ingin tata kelolanya diperbaiki, baik dari sisi OSS apa yang perlu dilakukan sehingga Pemprov Bali punya peran disana,” ujarnya.

“Selama ini sering kali terutama penanaman modal asing (PMA) terlewat saja, ketika ada kasus baru kami tahu, jadi sekarang kami minta peran provinsi dilibatkan dari awal,” sambungnya.

Dengan rencana pemerintah pusat merapatkan tiga isu ini, Pemprov Bali berharap tata kelola pariwisata selanjutnya dapat lebih baik.

Tjok Pemayun merasa ketika moratorium hotel, penghentian alihfungsi lahan, dan pengaturan perizinan OSS dilakukan, maka pariwisata akan lebih terkendali.

Selama ini aplikasi OSS berada di bawah Kementerian Investasi/BKPM, sarana ini membantu dalam memangkas birokrasi namun berbasis risiko, dari rendah, menengah rendah, menengah tinggi, dan tinggi.

Ketika sebuah akomodasi wisata memiliki kamar 1-100 pintu, restoran 1-100 kursi, dan luas bangunan 4.000 meter maka menjadi kewenangan kabupaten/kota.

Ketika kamar memiliki 101-200 pintu, restoran 101-200 kursi, dan luasan bangunan 6.000-10.000 meter menjadi kewenangan provinsi, selebihnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Oleh karena itu Bali ingin saat ini tata kelola pariwisatanya diperbaiki dahulu, dimana nantinya Pemprov Bali diberi kewenangan ketika ada yang hendak melakukan pembangunan agar diperiksa terlebih dahulu.

“Bali kan one island, biar kami melakukan monitoring evaluasi semuanya untuk mengendalikan pembangunan, selama ini kan setelah kasus baru viral baru lah tahu ternyata kewenangan kabupaten atau pusat,” ujarnya.



Baca juga: Menparekraf godok moratorium bangun hotel dan alih lahan pertanian

Baca juga: Komisi I DPR minta pemerintah moratorium bebas visa untuk turis China

Pewarta: Ni Putu Putri Muliantari

Editor : Widodo Suyamto Jusuf


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024