Ketika dunia saat ini dihadapkan dengan persoalan perubahan iklim akibat pemanasan global, para petani di Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali juga bergulat mencari cara untuk berkontribusi melestarikan alam.
I Nengah Suarsana merupakan salah satu petani yang menggeluti pertanian ramah lingkungan di desa itu.
Bermukim di Dusun Wangaya Betan, Desa Mengesta, yang tak jauh dari kaki Gunung Batukaru, Tabanan, petani berusia 60 tahun itu mengajak petani lainnya untuk mengerjakan sawah secara organik dan hemat air.
Ketua Kelompok Tani Somya Pertiwi di dusun sejuk itu saat ini memiliki anggota sebanyak 109 orang petani yang mengolah lahan pertanian organik seluas 60 hektare. Mereka tergabung di kelompok tani sejak pertama kali menjalankan cara alami pada 2008.
Mengolah jerami
Salah satu upaya yang dilakukan Kelompok Tani Somya Pertiwi, untuk mengerjakan lahan pertaniannya dengan cara menghemat air.
Dari segi geografi, wilayah tersebut merupakan hulu atau sumber air di Bali. Untuk urusan air, petani di daerah itu sejatinya tidak perlu khawatir karena ketersediaannya yang melimpah.
Namun, perubahan iklim dengan cuaca yang tidak menentu, belum lagi kebutuhan yang makin meningkat di kawasan hilir, membuat para petani juga perlu membuat inovasi sendiri.
Alih-alih membakar jerami sisa panen yang justru memicu polusi udara, Suarsana memilih memanfaatkan jerami itu untuk mempertahankan kadar air yang terjaga.
Caranya, jerami itu dipotong kecil-kecil kemudian tinggal ditanam atau dibenamkan di tanah persawahan.
Tidak ada perlakuan khusus terhadap jerami-jerami yang ditanam itu. Saat jerami tersebut membusuk, residu padi itu pun menjadi pupuk kompos alami.
Selama mempraktikkan cara tersebut, ia mencermati tanah makin subur karena pemanfaatan jerami mampu menyimpan air.
Para petani dengan konsep pertanian konvensional kerap mengambil cara cepat misalnya membakar jerami tersebut yang justru membawa dampak negatif terjadinya pencemaran udara berupa karbon karena asapnya yang terbawa sesuai arah angin.
Baca juga: KTT Amerta Sari Wakili Tabanan Lomba Agribisnis
Pupuk organik
Pengelolaan lahan pertanian juga dikombinasikan dengan cara menekan penggunaan pupuk berbahan kimia.
Pasalnya, pupuk kimia berkontribusi terhadap perubahan iklim. Berdasarkan data Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyebutkan kegiatan pertanian berkontribusi sekitar 30 persen dari total emisi gas rumah kaca, terutama disebabkan oleh penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan kotoran hewan.
Perlu ada terobosan untuk memanfaatkan pupuk alami di antaranya pupuk cair dari ekoenzim atau bekas limbah rumah tangga. Misalnya, dari sisa buah-buahan yang dicampur dengan gula merah untuk difermentasi.
Kemudian, kotoran sapi yang dicampur dengan abu gosok dan memanfaatkan limbah pabrik sabut kelapa.
Kementerian Pertanian mencatat sabut kelapa mengandung 30 persen serat yang banyak mengandung kalium dan fosfor sebanyak dua persen.
Sabut kelapa juga mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman yakni kalium, kalsium, magnesium, natrium dan fosfor.
Kalium dalam sabut kelapa itu juga dapat larut di dalam air sehingga menghasilkan air rendaman yang mengandung kalium sebagai pupuk cair.
Selanjutnya, air seni sapi yang digunakan untuk membuat pupuk cair mikro organisme lokal (mol) yang dicampur dengan sisa buah-buahan misalnya kulit pisang atau sayuran.
Kelompok tani itu menumpahkan pupuk cair alami sekitar dua ton per hektare
Baca juga: 38 Kelompok Tani Tabanan Terima RP557 Juta
Padi organik
Selain menjaga kesehatan dan kesuburan tanah serta berkontribusi menekan dampak perubahan iklim, pengelolaan pertanian dengan cara organik juga berperan terhadap produktivitas padi.
I Nengah Suarsana menjelaskan padi dengan sistem organik lebih berisi serta produktivitas lebih banyak.
Rendemen gabah yang diproduksi menjadi beras, apabila dengan sistem pertanian konvensional mencapai 50 persen dari gabah yang dipanen. Sedangkan dengan organik, produksi beras mencapai 54 persen dari total gabah.
Awalnya kelompok tani itu hanya mengelola 15 hektare sawah organik dan saat ini sudah mencapai 60 hektare.
Dari 60 hektare lahan persawahan yang dikelola kelompok tani itu, per hektare rata-rata menghasilkan enam hingga tujuh ton beras.
Ada beragam jenis atau varietas beras organik yang dikembangkan kelompok tani ini di antaranya beras hitam, beras putih, beras merah, beras mansur, beras mentik susu, ciherang dan beras cisokan dan beras basmati yang saat ini mulai dikembangkan.
Produk beras organik dari desa itu kini tak hanya merambah pasar lokal di Bali namun juga hingga Jakarta dan Surabaya.
Permintaan produk organik yang mulai menarik masyarakat membuat kelompok tani itu juga menerima gabah kering organik dari petani dengan membelinya Rp1.000 per kilogram lebih tinggi dibandingkan harga pasaran untuk gabah kering sebelum digiling.
Sedangkan penggilingan gabah yang ada di kelompok tani itu memiliki kapasitas hingga 150 ton dengan rata-rata per bulan mencapai 20-30 ton beras.
Pertanian organik menjadi praktik yang dapat membantu petani meningkatkan produktivitas dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Selain lebih sehat, produk organik juga menjamin tata kelola yang lebih ramah terhadap lingkungan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024