Oleh Ni Luh Rhismawati

Denpasar (Antara Bali) - Bali yang terkenal dengan gemerincing dolarnya ternyata masih menyisakan sejumlah persoalan menyangkut kesejahteraan masyarakatnya, termasuk masalah gizi buruk yang selama ini masih menghantui warga setempat.

Belum terlepas dari masalah pengangguran yang mencapai lebih dari 47 ribu orang, sekitar 20 ribu keluarga masih tinggal di rumah yang tidak layak huni, dan 160 ribuan kepala keluarga masuk dalam rumah tangga miskin, di Bali pun masih ada balita yang menderita kasus gizi buruk.

Rata-rata pendapatan per kapita masyarakat Bali per tahun yang mencapai Rp20,8 juta dan berbagai program kesehatan yang diluncurkan Pemprov Bali maupun pemerintah kabupaten/kota, belumlah mampu menihilkan penderita gizi buruk di Pulau Dewata.

Dinas Kesehatan Provinsi Bali bahkan mencatat jumlah penderita gizi buruk di Bali pada 2012 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah kasus gizi buruk pada 2012 ditemukan sebanyak 86 kasus, sedangkan 63 kasus pada 2011.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Ketut Suarjaya menyampaikan tahun lalu dari 86 kasus gizi buruk yang ditemukan, terbanyak di Kabupaten Karangasem yakni 23 kasus, disusul posisi kedua Buleleng (19) dan ketiga terbanyak di Gianyar (12). "Kasus gizi buruk ditemukan di semua kabupaten/kota di daerah kita," ujarnya.

Sementara pada 2011, penderita gizi buruk terbanyak ditemukan di Kabupaten Klungkung sejumlah 14 kasus, disusul Karangasem (11), Gianyar (9) dan Kota Denpasar juga sembilan kasus.

Sedangkan pada 2013, hingga akhir Januari tercatat sudah terjadi 24 kasus gizi buruk. Dari jumlah tersebut, masih didominasi balita di Kabupaten Buleleng, Karangasem dan Gianyar yang masing-masing lima kasus.

"Penyebab balita menderita gizi buruk itu bermacam-macam, bukan lantas karena dari keluarga miskin yang kesulitan membeli makanan bergizi untuk anak-anaknya," ujarnya.

Gizi buruk, jelas dia, dapat disebabkan karena perilaku orang tua yang kurang bersih sehingga menimbulkan diare bagi balitanya, demikian juga pola pemberian makan yang salah pada balita, dan penyakit yang diderita balita," katanya.

Menurut Suarjaya, ada tahapan-tahapan dalam pemberian makanan bagi balita. Misalnya untuk tiga bulan pertama pada bayi itu sesungguhnya tidak perlu diberikan apa-apa, cukup ASI eksklusif dan para orang tua tidak perlu repot-repot membeli susu formula.

Di atas tiga bulan baru diperkenalkan dengan makanan yang lainnya, tetapi mulai dari yang cair karena kecukupan gizinya harus ditambah. Harus diingat bayi di bawah satu tahun tidak boleh diberikan nasi.

"Pemberian makanan yang salah bisa mengakibatkan gizi buruk. Anak di bawah satu tahun tidak boleh diberikan nasi, jika dipaksakan diberikan, ini akan mengakibatkan gangguan penyerapan pada usus bayi, alergi pada tubuh sehingga diare atau penyakit lainnya pada perut. Tidak selalu makanan yang banyak itu baik, jadi harus disesuaikan dengan umurnya," ucapnya.

Perilaku mengunyahkan makanan untuk bayi yang kerap dilakukan ibu-ibu itu sesungguhnya tidak tepat juga karena sama artinya dengan memindahkan penyakit pada bayi.

"Gizi buruk juga terkait dengan kondisi ibu ketika hamil. Jika semenjak dalam kandungan sudah kekurangan gizi, maka bayi yang lahir umumnya dengan berat badan rendah dan berpotensi mengalami gizi buruk dalam perkembangannya," katanya.

Pengamatan Ketat

Suarjaya tidak memungkiri jumlah balita penderita gizi buruk bisa saja lebih dari yang tercatat itu, khususnya pada penduduk yang tinggal jauh dari posyandu maupun puskesmas.

"Yang jelas, sesungguhnya pengamatan terhadap gizi buruk terus dilakukan terutama melalui posyandu, sarana pelayanan kesehatan, bidan desa, hingga puskesmas pembantu. Upaya itu kami lakukan secara terus-menerus sehingga dengan pengamatan yang ketat ini kami tahu jelas nama penderita gizi buruk dan alamatnya," katanya.

Untuk mencegah terjadinya gizi buruk, di Bali telah ditempuh upaya melalui promosi kesehatan mulai dari ibu hamil dan keluarganya telah dilakukan penyuluhan tentang gizi, pemberian garam beryodium, tablet bes dan kalsium pada ibu hamil.

Di Bali terdapat 4.757 posyandu, setidaknya setiap bulan para balita dapat diperiksakan ke posyandu dengan mendapatkan pelayanan penimbangan, cek kesehatan, pemberian makanan tambahan dan penyuluhan. Dua kali dalam setahun, balita juga mendapat vitamin A.

Jika ditemukan kasus gizi buruk, jelas dia, dilakukan upaya pemberian makanan tambahan (PMT) pemulihan selama 120 hari. Bayi tersebut diberikan makanan tambahan selama 120 hari, dimonitor berat badan dan kesehatannya, termasuk mengedukasi keluarganya tentang makanan yang bergizi dan seimbang serta perilaku hidup bersih.

Sedangkan pada balita dengan status gizi kurang akan diberikan PMT penyuluhan, yakni lebih banyak berupa ajakan kepada orang tua dari balita supaya mengikuti contoh-contoh yang diberikan petugas kesehatan.

"Para kader posyandu sesungguhnya dapat mengetahui dan melihat balita apakah termasuk gizi kurang, gizi buruk dengan melihat Kartu Menuju Sehat. Di sana kelihatan, jika berat badan balita di bawah garis titik-titik berarti dalam posisi gizi kurang. Apalagi jika di bawah garis merah, berarti balita menderita gizi buruk," ujarnya.

Meskipun telah dilakukan survei yang ketat di tingkat bawah, menurut Suarjaya, penuntasan gizi buruk di Bali tergantung komitmen pemerintah bersama masyarakat.

Keikutsertaan pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan sehingga dapat merasa memiliki kewajiban untuk memberikan informasi kepada tenaga kesehatan jika ditemukan kasus-kasus kekurangan gizi di lingkungan sekitarnya. Informasi ini kemudian akan ditindaklanjuti oleh tenaga kesehatan maupun para kader posyandu yang sudah diberikan pelatihan keterampilan.

"Beberapa program yang dilakukan dalam meminimalisasi terjadinya gizi buruk juga melalui upaya promotif dan preventif yakni setiap puskesmas telah digulirkan dana bantuan operasional kesehatan (BOK) sebesar Rp75 juta, per kabupaten/kota juga ada dana perbaikan gizi yang besarnya bervariasi sesuai APBD masing-masing," ujar Suarjaya. (LHS)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013