Oleh I Komang Suparta dan Luh Rhismawati
Denpasar (*/T007) - Pengelolaan taman hutan rakyat atau Tahura Ngurah Rai di kawasan Suwung, Kota Denpasar, Bali, mengalami pro kontra terkait perizinan yang diberikan Gubernur Made Mangku Pastika kepada pihak investor.
Mengacu pada Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990, UU Nomor 1 Tahun 1999 serta UU Nomor 1 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2010, bahwa dalam PP itu disebutkan pengurusan izin terkait pemanfaatan hutan mangrove (bakau) diberikan oleh gubernur.
Namun disatu sisi, masyarakat dan elemen warga yang tergabung dalam LSM lingkungan menolak keras pengelolaan hutan bakau tersebut dikelola oleh pihak investor swasta, karena dikhawatirkan habitat hutan akan rusak.
Disamping itu, melihat kerusakan hutan bakau Ngurah Rai yang terjadi selama ini akibat pencemaran lingkungan, sehingga dikhawatirkan dengan dikelolanya oleh investor swasta akan bertambah parah.
Sikap kontra warga tersebut ketika Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (Kekal) Bali menuntut DPRD provinsi setempat untuk menolak rencana perjanjian kolaborasi dengan PT Tirta Rahmat Bahari terkait pengelolaan Tahura Ngurah Rai.
"Perjanjian kolaborasi sangatlah tidak etis dijalankan, mengingat secara kelembagaan, DPRD telah mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin," kata Suriadi Darmoko, humas aksi dari Kekal saat berorasi di depan Kantor Gubernur Bali baru-baru ini.
Suriadi menyebut bahwa DPRD Bali telah mengeluarkan rekomendasi bernomor 593/3630/DPRD tertanggal 7 November 2012, yang pada intinya agar gubernur membatalkan kerja sama antara pemprov dengan PT Tirta Rahmat Bahari.
"Namun rekomendasi DPRD sebagai representasi suara rakyat tidak direspon oleh Gubernur Bali, karena sampai saat ini gubernur masih bersikeras untuk tidak mencabut izin pemanfaatan hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai," katanya.
Suriadi yang juga Deputi Internal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali memandang langkah pemprov setempat untuk melakukan kajian terhadap izin Tahura sebagai langkah mengulur waktu.
"Kami juga menuntut Gubernur Bali untuk menyerahkan pengelolaan Tahura Ngurah Rai kepada masyarakat di bawah supervisi pemerintah dengan syarat tidak boleh ada akomodasi wisata," ucapnya.
Seperti diketahui Pemprov Bali telah memberikan izin prinsip pemanfaatan pariwisata alam kepada PT TRB seluas 102,22 hektare selama 55 tahun.
Ia menambahkan, rencana pemanfaatan hutan bakau oleh PT TRB akan dibangun akomodasi pariwisata berupa 75 unit penginapan, lima unit kios, delapan restoran, dua spa, dua sarana "outbound", dua kantor pengelolaan, satu sarana permainan air, satu gedung serbaguna dan sebagainya.
"Pemprov Bali kami harapkan dapat melakukan langkah konkret mewujudkan Bali `Clean and Green` (bersih dan hijau), apalagi di tengah luasan hutan di daerah kita yang hanya 22 persen," katanya.
Mereka menginginkan jika benar dilakukan kajian agar melibatkan peran partisipasi publik dan juga sosialisasi kepada masyarakat sekitar.
Tinjau Tahura
Anggota Komisi III DPRD Bali Ida Bagus Gede Udiyana meminta ada peninjauan kembali terkait Tahura atas pemberian izin pemprov untuk pengelolaan oleh investor swasta.
"Saya berharap ada peninjauan kembali terkait Pemerintah Provinsi Bali memberikan izin pengelolaan Tahura tersebut kepada investor," kata Udiyana.
Ia mengatakan, semestinya pemprov menunda memberikan izin pengelolaan Tahura tersebut, sebab tidak menutup kemungkinan dalam pengelolaan hutan bakau lahannya digunakan untuk pendukung fasilitas pariwisata lainnya.
"Kalau dikelola pemprov sendiri saya rasa bisa. Apalagi hutan bakau yang ada di pesisir sebagai penahan gelombang laut. Ini akan menjadi ancaman jika hutan tersebut rusak," kata politikus Partai Golkar itu.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah provinsi dan anggota DPRD Bali harus koordinasi dalam melakukan suatu keputusan, terkait memberikan izin pengelolaan kepada pihak investor.
Ketua Komisi III DPRD Bali I Gusti Made Suryanta Putra mengaku akan menelusuri proses pengeluaran izin pengolahan hutan bakau kepada investor untuk keperluan wisata alam.
"Kami masih akan menelusuri proses keluarnya izin pengelolaan hutan tersebut, karena dinilai ada kejanggalan. Bila perlu ada peninjauan ulang terhadap izin tersebut, sebab hal itu berdampak merusak ekosistem hutan bakau," katanya.
Ia juga mempertanyakan pengeluaran izin pengelolaan 102,22 hektare hutan bakau di kawasan Tahura Ngurah Rai Denpasar.
Terlebih lagi, kata dia, dari rencana sejumlah fasilitas pariwisata yang dibangun mengindikasikan investor dan Pemprov Bali lebih banyak berorientasi profit bukan pelestarian lingkungan.
Suryanta Putra lebih lanjut juga menanyakan kepada Kepala Dinas Kehutanan Bali menyangkut status dan fungsi hutan bakau di kawasan Tahura.
"Saya melihat dalam keluarnya izin ini banyak ada kepentingan di dalamnya. Jangan sampai malah dengan dikelola oleh investor, hutan kita malah tambah rusak," katanya.
Ia juga menyayangkan anggaran untuk pelestarian hutan sangat kecil dikucurkan Pemprov Bali.
"Pada DIPA 2013 anggarannya hanya Rp2 miliar. Itu pun 70 persen untuk belanja tak langsung. Hanya Rp440 juta dialokasikan untuk merehabilitasi hutan seluruh Bali dan Rp100 juta lebih untuk pengawasan," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Bali I Gusti Ngurah Wiranatha mengatakan hutan bakau di Tahura merupakan kawasan konservasi yang pengelolannya diserahkan pada Pemprov Bali dengan dibentuk UPT Tahura Ngurah Rai.
Ia menjelaskan, di Tahura yang seluas 1.373 hektare dibagi beberapa blok yakni blok koleksi dan pembinaan 433 hektare, blok pemanfaatan 484 hektare, serta blok perlindungan 456 hektare.
Usut Izin Investor
Gubernur Bali Made Mangku Pastika mempersilakan berbagai pihak untuk mengusut perizinan pengusahaan pariwisata alam Tahura Ngurah Rai yang telah diberikannya kepada PT Tirta Rahmat Bahari.
"Kalau dianggap tidak transparan, sekarang silakan diusut, apakah ada kongkalikong, ada duit atau ada bermain, silakan diusutlah. Ini pengusahanya bukan dari mana-mana, ini Bali klen (asli), dari Tabanan," katanya.
Menurut dia, karena investornya asli Bali, jadi tidak bisa sowan-sowan kemana-mana karena orang Bali memang seperti itu.
"Saya sendiri belum pernah ketemu orangnya, jadi jangan terus curiga bahwa gubernur dapat duit," katanya.
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Gubernur Bali No 1.051/03-L/HK/2012 tanggal 27 Juni 2012, telah mendapatkan izin pengusahaa pariwisata alam pada blok pemanfaatan kawasan Tahura Ngurah Rai seluas 102,22 hektare kepada PT Tirta Rahmat Bahari.
Ia pun telah berbicara dengan Ketua Komisi I dan III DPRD Bali agar mengundang investor tersebut sehingga dapat diketahui dengan jelas mereka akan membuat apa, siapa dia, hingga proses mendapatkan izin.
"Yang jelas dulu-lah, jangan belum apa-apa sudah berkomentar bahwa gubernur mau merusak lingkungan. Saya lebih cinta daripada orang yang ngomong itu. Boleh bertaruh," ucapnya.
Pastika juga mengatakan berdasarkan UU No 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, bahwa baik itu gubernur, bupati dan wali kota, hingga presiden jika sampai salah mengeluarkan izin dapat dituntut.
Mantan Kapolda Bali ini menyampaikan sesungguhnya proses pemberian izin tidak sebentar dan tidak mudah, lebih dari dua tahun setelah dipelajari.
"Usulan itu dibahas berkali-kali lebih dari sepuluh kali rapat dipimpin oleh Kepala Bappeda, mengumpulkan semua pihak terkait sehingga disimpulkan bahwa layak diberikan izin pengusahaan. Tidak 102,22 hektare mau dibabat, jangan punya pikiran begitu," ujarnya.
Gubernur mengakui bahwa selama ini petugas pemprov setempat belum bisa mengelola hutan bakau di Tahura Ngurah Rai dengan optimal.
"Kami tidak bisa mengelola sendiri, harus kami akui buktinya selama ini nggak bisa. Mungkin duitnya ada, tetapi mengelolanya supaya cantik, indah, menarik, terus terang saja kami tidak bisa. Tidak bisa jika menyombongkan diri semuanya bisa," ucapnya.
Melalui kerja sama dengan pihak ketiga dalam pengelolaan hutan bakau, dikatakannya sekaligus untuk mewujudkan "Bali Clean and Green" (bersih dan hijau), sampahnya supaya bersih, yang bagian bakau "botak-botak" dapat ditanami jadi hijau. (*/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
Denpasar (*/T007) - Pengelolaan taman hutan rakyat atau Tahura Ngurah Rai di kawasan Suwung, Kota Denpasar, Bali, mengalami pro kontra terkait perizinan yang diberikan Gubernur Made Mangku Pastika kepada pihak investor.
Mengacu pada Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990, UU Nomor 1 Tahun 1999 serta UU Nomor 1 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2010, bahwa dalam PP itu disebutkan pengurusan izin terkait pemanfaatan hutan mangrove (bakau) diberikan oleh gubernur.
Namun disatu sisi, masyarakat dan elemen warga yang tergabung dalam LSM lingkungan menolak keras pengelolaan hutan bakau tersebut dikelola oleh pihak investor swasta, karena dikhawatirkan habitat hutan akan rusak.
Disamping itu, melihat kerusakan hutan bakau Ngurah Rai yang terjadi selama ini akibat pencemaran lingkungan, sehingga dikhawatirkan dengan dikelolanya oleh investor swasta akan bertambah parah.
Sikap kontra warga tersebut ketika Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (Kekal) Bali menuntut DPRD provinsi setempat untuk menolak rencana perjanjian kolaborasi dengan PT Tirta Rahmat Bahari terkait pengelolaan Tahura Ngurah Rai.
"Perjanjian kolaborasi sangatlah tidak etis dijalankan, mengingat secara kelembagaan, DPRD telah mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin," kata Suriadi Darmoko, humas aksi dari Kekal saat berorasi di depan Kantor Gubernur Bali baru-baru ini.
Suriadi menyebut bahwa DPRD Bali telah mengeluarkan rekomendasi bernomor 593/3630/DPRD tertanggal 7 November 2012, yang pada intinya agar gubernur membatalkan kerja sama antara pemprov dengan PT Tirta Rahmat Bahari.
"Namun rekomendasi DPRD sebagai representasi suara rakyat tidak direspon oleh Gubernur Bali, karena sampai saat ini gubernur masih bersikeras untuk tidak mencabut izin pemanfaatan hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai," katanya.
Suriadi yang juga Deputi Internal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali memandang langkah pemprov setempat untuk melakukan kajian terhadap izin Tahura sebagai langkah mengulur waktu.
"Kami juga menuntut Gubernur Bali untuk menyerahkan pengelolaan Tahura Ngurah Rai kepada masyarakat di bawah supervisi pemerintah dengan syarat tidak boleh ada akomodasi wisata," ucapnya.
Seperti diketahui Pemprov Bali telah memberikan izin prinsip pemanfaatan pariwisata alam kepada PT TRB seluas 102,22 hektare selama 55 tahun.
Ia menambahkan, rencana pemanfaatan hutan bakau oleh PT TRB akan dibangun akomodasi pariwisata berupa 75 unit penginapan, lima unit kios, delapan restoran, dua spa, dua sarana "outbound", dua kantor pengelolaan, satu sarana permainan air, satu gedung serbaguna dan sebagainya.
"Pemprov Bali kami harapkan dapat melakukan langkah konkret mewujudkan Bali `Clean and Green` (bersih dan hijau), apalagi di tengah luasan hutan di daerah kita yang hanya 22 persen," katanya.
Mereka menginginkan jika benar dilakukan kajian agar melibatkan peran partisipasi publik dan juga sosialisasi kepada masyarakat sekitar.
Tinjau Tahura
Anggota Komisi III DPRD Bali Ida Bagus Gede Udiyana meminta ada peninjauan kembali terkait Tahura atas pemberian izin pemprov untuk pengelolaan oleh investor swasta.
"Saya berharap ada peninjauan kembali terkait Pemerintah Provinsi Bali memberikan izin pengelolaan Tahura tersebut kepada investor," kata Udiyana.
Ia mengatakan, semestinya pemprov menunda memberikan izin pengelolaan Tahura tersebut, sebab tidak menutup kemungkinan dalam pengelolaan hutan bakau lahannya digunakan untuk pendukung fasilitas pariwisata lainnya.
"Kalau dikelola pemprov sendiri saya rasa bisa. Apalagi hutan bakau yang ada di pesisir sebagai penahan gelombang laut. Ini akan menjadi ancaman jika hutan tersebut rusak," kata politikus Partai Golkar itu.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah provinsi dan anggota DPRD Bali harus koordinasi dalam melakukan suatu keputusan, terkait memberikan izin pengelolaan kepada pihak investor.
Ketua Komisi III DPRD Bali I Gusti Made Suryanta Putra mengaku akan menelusuri proses pengeluaran izin pengolahan hutan bakau kepada investor untuk keperluan wisata alam.
"Kami masih akan menelusuri proses keluarnya izin pengelolaan hutan tersebut, karena dinilai ada kejanggalan. Bila perlu ada peninjauan ulang terhadap izin tersebut, sebab hal itu berdampak merusak ekosistem hutan bakau," katanya.
Ia juga mempertanyakan pengeluaran izin pengelolaan 102,22 hektare hutan bakau di kawasan Tahura Ngurah Rai Denpasar.
Terlebih lagi, kata dia, dari rencana sejumlah fasilitas pariwisata yang dibangun mengindikasikan investor dan Pemprov Bali lebih banyak berorientasi profit bukan pelestarian lingkungan.
Suryanta Putra lebih lanjut juga menanyakan kepada Kepala Dinas Kehutanan Bali menyangkut status dan fungsi hutan bakau di kawasan Tahura.
"Saya melihat dalam keluarnya izin ini banyak ada kepentingan di dalamnya. Jangan sampai malah dengan dikelola oleh investor, hutan kita malah tambah rusak," katanya.
Ia juga menyayangkan anggaran untuk pelestarian hutan sangat kecil dikucurkan Pemprov Bali.
"Pada DIPA 2013 anggarannya hanya Rp2 miliar. Itu pun 70 persen untuk belanja tak langsung. Hanya Rp440 juta dialokasikan untuk merehabilitasi hutan seluruh Bali dan Rp100 juta lebih untuk pengawasan," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Bali I Gusti Ngurah Wiranatha mengatakan hutan bakau di Tahura merupakan kawasan konservasi yang pengelolannya diserahkan pada Pemprov Bali dengan dibentuk UPT Tahura Ngurah Rai.
Ia menjelaskan, di Tahura yang seluas 1.373 hektare dibagi beberapa blok yakni blok koleksi dan pembinaan 433 hektare, blok pemanfaatan 484 hektare, serta blok perlindungan 456 hektare.
Usut Izin Investor
Gubernur Bali Made Mangku Pastika mempersilakan berbagai pihak untuk mengusut perizinan pengusahaan pariwisata alam Tahura Ngurah Rai yang telah diberikannya kepada PT Tirta Rahmat Bahari.
"Kalau dianggap tidak transparan, sekarang silakan diusut, apakah ada kongkalikong, ada duit atau ada bermain, silakan diusutlah. Ini pengusahanya bukan dari mana-mana, ini Bali klen (asli), dari Tabanan," katanya.
Menurut dia, karena investornya asli Bali, jadi tidak bisa sowan-sowan kemana-mana karena orang Bali memang seperti itu.
"Saya sendiri belum pernah ketemu orangnya, jadi jangan terus curiga bahwa gubernur dapat duit," katanya.
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Gubernur Bali No 1.051/03-L/HK/2012 tanggal 27 Juni 2012, telah mendapatkan izin pengusahaa pariwisata alam pada blok pemanfaatan kawasan Tahura Ngurah Rai seluas 102,22 hektare kepada PT Tirta Rahmat Bahari.
Ia pun telah berbicara dengan Ketua Komisi I dan III DPRD Bali agar mengundang investor tersebut sehingga dapat diketahui dengan jelas mereka akan membuat apa, siapa dia, hingga proses mendapatkan izin.
"Yang jelas dulu-lah, jangan belum apa-apa sudah berkomentar bahwa gubernur mau merusak lingkungan. Saya lebih cinta daripada orang yang ngomong itu. Boleh bertaruh," ucapnya.
Pastika juga mengatakan berdasarkan UU No 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, bahwa baik itu gubernur, bupati dan wali kota, hingga presiden jika sampai salah mengeluarkan izin dapat dituntut.
Mantan Kapolda Bali ini menyampaikan sesungguhnya proses pemberian izin tidak sebentar dan tidak mudah, lebih dari dua tahun setelah dipelajari.
"Usulan itu dibahas berkali-kali lebih dari sepuluh kali rapat dipimpin oleh Kepala Bappeda, mengumpulkan semua pihak terkait sehingga disimpulkan bahwa layak diberikan izin pengusahaan. Tidak 102,22 hektare mau dibabat, jangan punya pikiran begitu," ujarnya.
Gubernur mengakui bahwa selama ini petugas pemprov setempat belum bisa mengelola hutan bakau di Tahura Ngurah Rai dengan optimal.
"Kami tidak bisa mengelola sendiri, harus kami akui buktinya selama ini nggak bisa. Mungkin duitnya ada, tetapi mengelolanya supaya cantik, indah, menarik, terus terang saja kami tidak bisa. Tidak bisa jika menyombongkan diri semuanya bisa," ucapnya.
Melalui kerja sama dengan pihak ketiga dalam pengelolaan hutan bakau, dikatakannya sekaligus untuk mewujudkan "Bali Clean and Green" (bersih dan hijau), sampahnya supaya bersih, yang bagian bakau "botak-botak" dapat ditanami jadi hijau. (*/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012