Dr. Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, Dekan Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, Bali, selain fokus memajukan dunia pendidikan, juga aktif ngayah membawakan tari sakral topeng sidakarya. Ia melakukannya karena panggilan jiwa, tanpa imbalan.
Melalui nopeng (menari topeng sidakarya) yang sering dilakukannya, pria kelahiran 11 Juli 1974 ini mengaku ingin mengembalikan konsep ngayah atau pelayanan tanpa imbalan pada makna yang sebenarnya.
"Makna ngayah adalah dengan tulus dan ikhlas tanpa ada unsur komersial atau mencari keuntungan. Pada prinsipnya, yang tertanam dalam jiwa saya, karena yang saya lihat dan diajarkan kepada saya sejak kecil, ngayah adalah panggilan jiwa sehingga dilakukan dengan tulus dan ikhlas tanpa ada paksaan," ujarnya.
Lanang yang pernah menjabat Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Bali periode 2008-2013 ini mengatakan sering kali melihat para tetua Bali tidak menerima bayaran uang saat menari. Mereka menari dengan tulus ikhlas.
Seiring dengan perkembangan zaman, Lanang mengaku konsep ngayah mulai bergeser makna, dari sebelumnya ngayah dilakukan sukarela untuk kepuasan jiwa, berubah konsepnya menjadi sesuatu yang bersifat komersial.
"Atau dalam bahasa sekarang dikenal dengan istilah ngayah mebayah atau pelayanan yang dibayar. Jujur saya sangat sedih dengan fenomena ini sehingga saya terketuk untuk mengembalikan konsep ngayah pada pengertian aslinya," tuturnya.
Ngayah pada dasarnya tidak akan membuat seseorang menjadi miskin karena konsep ngayah itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari tradisi kehidupan agraris masyarakat Bali yang sudah dilakukan sejak dahulu.
Dalam tradisi kehidupan agraris, aktivitas mencari nafkah dilakukan pada pagi hingga Matahari terbenam. Setelah itu barulah kegiatan ngayah dilakukan baik itu berupa latihan seni budaya seperti menari, menabuh/megambel, dan makekawin (membawakan lagu keagamaan) dilakukan pada malam hari.
Termasuk juga aktivitas ngodalin atau upacara agama pada masa lalu dilakukan pada malam hari sehingga tidak mengganggu aktivitas masyarakat di Pulau Dewata dalam mencari nafkah.
Hingga saat ini konsep ngayah baginya masih tetap relevan untuk dilakukan. "Contohnya aktivitas nopeng yang saya lakukan, ini benar-benar melakukannya dengan konsep ngayah. Karena hal ini adalah panggilan jiwa, kepuasan jiwa yang saya dapatkan," ucapnya.
Ngayah sebagai penari topeng sidakarya diakuinya tidak terlepas dari pengalaman pribadi Lanang yang pernah sangat kesulitan mencari penari topeng sidakarya ketika ia menyelenggarakan upacara agama.
"Saya ingat, waktu itu ada satu seniman topeng di desa saya, namun sayang jadwal beliau sangat padat. Kalau mau menggunakan jasa seniman ini harus pre-order dulu sebulan sebelumnya, itu pun tarifnya cukup mahal," ucap pendiri LSM Bali Forum, LKPP, dan Garda Buleleng ini.
Dari peristiwa itu, Lanang kemudian terketuk hatinya untuk belajar nopeng dan akan ngayah sebisa yang dia mampu lakukan dan dimana saja.
Seni melekat sejak kecil
Meskipun Lanang saat ini lebih banyak beraktivitas sebagai pendidik, sesungguhnya menari topeng bukan menjadi hal yang asing baginya.
Sejak kecil ia sudah lekat dengan aktivitas seni dan budaya karena Lanang tumbuh dalam keluarga yang dekat dengan seni budaya dengan konsep ngayah.
Sejak menempuh pendidikan di SD, ia sudah belajar menari, menabuh gamelan, yang dipelajarinya di desa kelahirannya, Bebetin, Sawan, Kabupaten Buleleng, ujung utara Pulau Bali itu.
"Bahkan bisa dikatakan sejak masih dalam kandungan ibu, saya sudah akrab dengan aktivitas seni, sejak SD sampai SMP saya belajar menari," kenangnya.
Akan tetapi ketika SMA dan kuliah di kota, maka kegiatan seninya berubah, tidak menari. Ia justru aktif dalam kegiatan seni musik.
Sukawati Lanang Perbawa merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang. Setelah menyelesaikan pendidikan S-1, ia memulai karier sebagai staf legal drafting atau proses perancangan naskah hukum di Kementerian Hukum dan HAM.
Ia menyelesaikan Magister Hukum (S-2) di Universitas Diponegoro Semarang pada 2002 dan Program Doktoral (S-3) di Universitas Brawijaya Malang.
Kariernya kemudian berlanjut sebagai anggota KPU Bali Divisi Hukum dan Advokasi (2003-2008) hingga kemudian menakhodai KPU Bali pada periode 2008-2013.
Lanang kemudian menjabat sebagai Komisaris Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali 2015-2019, hingga akhirnya menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati sejak 2019 hingga sekarang.
Belakangan, pendiri LSM Bli Braya ini pun kembali menekuni seni topeng, khususnya topeng sidakarya, yang disebutnya sebagai panggilan jiwa.
Untuk menjalankan aktivitas menari topeng sidakarya, ia mengaku jalannya sangat dimudahkan. Untuk belajar menarikan topeng sidakarya, Lanang belajar langsung dsri guru tarinya ketika duduk di SDN 1 Bebetin, Sawan pada tahun 1986.
"Ini benar-benar satu jalan yang menurut saya sudah ditetapkan oleh Ida Sanghyang Widhi (Tuhan)," ujarnya.
Setelah mengetahui dasar-dasar menari topeng, ia mulai untuk ngayah nopeng bersama dengan timnya. Tim ngayah ini berasal dari rekan sejawatnya di kampus, ada juga yang berasal dari LSM Bli Braya di Buleleng.
"Kegiatan nopeng ini adalah untuk ngayah, jadi semuanya kami lakukan tanpa paksaan. Termasuk logistiknya juga kami upayakan secara gotong-royong," kata Lanang.
Ini semua dilakukannya untuk mengembalikan konsep ngayah atau pelayanan tanpa imbalan pada makna yang sebenarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023
Melalui nopeng (menari topeng sidakarya) yang sering dilakukannya, pria kelahiran 11 Juli 1974 ini mengaku ingin mengembalikan konsep ngayah atau pelayanan tanpa imbalan pada makna yang sebenarnya.
"Makna ngayah adalah dengan tulus dan ikhlas tanpa ada unsur komersial atau mencari keuntungan. Pada prinsipnya, yang tertanam dalam jiwa saya, karena yang saya lihat dan diajarkan kepada saya sejak kecil, ngayah adalah panggilan jiwa sehingga dilakukan dengan tulus dan ikhlas tanpa ada paksaan," ujarnya.
Lanang yang pernah menjabat Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Bali periode 2008-2013 ini mengatakan sering kali melihat para tetua Bali tidak menerima bayaran uang saat menari. Mereka menari dengan tulus ikhlas.
Seiring dengan perkembangan zaman, Lanang mengaku konsep ngayah mulai bergeser makna, dari sebelumnya ngayah dilakukan sukarela untuk kepuasan jiwa, berubah konsepnya menjadi sesuatu yang bersifat komersial.
"Atau dalam bahasa sekarang dikenal dengan istilah ngayah mebayah atau pelayanan yang dibayar. Jujur saya sangat sedih dengan fenomena ini sehingga saya terketuk untuk mengembalikan konsep ngayah pada pengertian aslinya," tuturnya.
Ngayah pada dasarnya tidak akan membuat seseorang menjadi miskin karena konsep ngayah itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari tradisi kehidupan agraris masyarakat Bali yang sudah dilakukan sejak dahulu.
Dalam tradisi kehidupan agraris, aktivitas mencari nafkah dilakukan pada pagi hingga Matahari terbenam. Setelah itu barulah kegiatan ngayah dilakukan baik itu berupa latihan seni budaya seperti menari, menabuh/megambel, dan makekawin (membawakan lagu keagamaan) dilakukan pada malam hari.
Termasuk juga aktivitas ngodalin atau upacara agama pada masa lalu dilakukan pada malam hari sehingga tidak mengganggu aktivitas masyarakat di Pulau Dewata dalam mencari nafkah.
Hingga saat ini konsep ngayah baginya masih tetap relevan untuk dilakukan. "Contohnya aktivitas nopeng yang saya lakukan, ini benar-benar melakukannya dengan konsep ngayah. Karena hal ini adalah panggilan jiwa, kepuasan jiwa yang saya dapatkan," ucapnya.
Ngayah sebagai penari topeng sidakarya diakuinya tidak terlepas dari pengalaman pribadi Lanang yang pernah sangat kesulitan mencari penari topeng sidakarya ketika ia menyelenggarakan upacara agama.
"Saya ingat, waktu itu ada satu seniman topeng di desa saya, namun sayang jadwal beliau sangat padat. Kalau mau menggunakan jasa seniman ini harus pre-order dulu sebulan sebelumnya, itu pun tarifnya cukup mahal," ucap pendiri LSM Bali Forum, LKPP, dan Garda Buleleng ini.
Dari peristiwa itu, Lanang kemudian terketuk hatinya untuk belajar nopeng dan akan ngayah sebisa yang dia mampu lakukan dan dimana saja.
Seni melekat sejak kecil
Meskipun Lanang saat ini lebih banyak beraktivitas sebagai pendidik, sesungguhnya menari topeng bukan menjadi hal yang asing baginya.
Sejak kecil ia sudah lekat dengan aktivitas seni dan budaya karena Lanang tumbuh dalam keluarga yang dekat dengan seni budaya dengan konsep ngayah.
Sejak menempuh pendidikan di SD, ia sudah belajar menari, menabuh gamelan, yang dipelajarinya di desa kelahirannya, Bebetin, Sawan, Kabupaten Buleleng, ujung utara Pulau Bali itu.
"Bahkan bisa dikatakan sejak masih dalam kandungan ibu, saya sudah akrab dengan aktivitas seni, sejak SD sampai SMP saya belajar menari," kenangnya.
Akan tetapi ketika SMA dan kuliah di kota, maka kegiatan seninya berubah, tidak menari. Ia justru aktif dalam kegiatan seni musik.
Sukawati Lanang Perbawa merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang. Setelah menyelesaikan pendidikan S-1, ia memulai karier sebagai staf legal drafting atau proses perancangan naskah hukum di Kementerian Hukum dan HAM.
Ia menyelesaikan Magister Hukum (S-2) di Universitas Diponegoro Semarang pada 2002 dan Program Doktoral (S-3) di Universitas Brawijaya Malang.
Kariernya kemudian berlanjut sebagai anggota KPU Bali Divisi Hukum dan Advokasi (2003-2008) hingga kemudian menakhodai KPU Bali pada periode 2008-2013.
Lanang kemudian menjabat sebagai Komisaris Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali 2015-2019, hingga akhirnya menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati sejak 2019 hingga sekarang.
Belakangan, pendiri LSM Bli Braya ini pun kembali menekuni seni topeng, khususnya topeng sidakarya, yang disebutnya sebagai panggilan jiwa.
Untuk menjalankan aktivitas menari topeng sidakarya, ia mengaku jalannya sangat dimudahkan. Untuk belajar menarikan topeng sidakarya, Lanang belajar langsung dsri guru tarinya ketika duduk di SDN 1 Bebetin, Sawan pada tahun 1986.
"Ini benar-benar satu jalan yang menurut saya sudah ditetapkan oleh Ida Sanghyang Widhi (Tuhan)," ujarnya.
Setelah mengetahui dasar-dasar menari topeng, ia mulai untuk ngayah nopeng bersama dengan timnya. Tim ngayah ini berasal dari rekan sejawatnya di kampus, ada juga yang berasal dari LSM Bli Braya di Buleleng.
"Kegiatan nopeng ini adalah untuk ngayah, jadi semuanya kami lakukan tanpa paksaan. Termasuk logistiknya juga kami upayakan secara gotong-royong," kata Lanang.
Ini semua dilakukannya untuk mengembalikan konsep ngayah atau pelayanan tanpa imbalan pada makna yang sebenarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023