Denpasar (Antara Bali) - Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (ASEPHI) Bali Ketut Dharma Siadja mengatakan para eksportir produk kerajinan dari kayu, wajib mengikuti standar verifikasi legalitas kayu (SVLK) mulai 1 Januari 2013.

"SVLK merupakan upaya untuk membangun kepercayaan publik melalui jaminan lacak jejak kayu bahwa yang dipergunakan untuk membuat suatu produk berasal dari sumber yang legal dan memenuhi persyaratan peraturan yang sah," katanya di sela Sosialisasi SVLK Untuk Produk Industri Kehutanan, di Denpasar, Selasa.

Ia menyampaikan, dengan adanya ketentuan itu, eksportir ke depannya harus dapat membuktikan dan meyakinkan pada pembeli bahwa bahan kayu yang digunakan berasal dari sumber yang legal.

"Mayoritas eksportir di daerah kita sudah sejak beberapa waktu lalu mulai mengajukan permohonan terkait SVLK ini karena prosesnya rata-rata memakan waktu hingga dua bulan. Sedangkan biayanya sekitar Rp25 juta untuk tiap perusahaan," ucapnya.

Siadja menambahkan, di Bali saat ini ada sekitar 350 eksportir produk industri kehutanan dan hampir sebagian besar merupakan eksportir non produsen atau pedagang ekspor.

"Supaya dapat mengekspor sesuai dengan ketentuan SVLK, maka eksportir non produsen harus bekerja sama dengan produsen (industri) agar bisa memperoleh pengakuan sebagai eksportir terdaftar produk industri kehutanan (ETPIK) non-produsen dari Kementerian Perdagangan," katanya.

Sementara itu, Koordinator Lembaga Pengembangan Bisnis dan Teknologi (LPBT) Bali Made Bawa Suputra mengatakan, para eksportir juga harus mendapatkan Dokumen V-Legal pada Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) agar bisa mengirimkan barang ke luar negeri. (LHS/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012