Oleh M. Irfan Ilmie

Jika di Jawa Timur ada jembatan sepanjang 5,4 kilometer yang melintang di atas Selat Madura, maka di Bali pun ada jalan tol sepanjang 12 kilometer yang malang-melintang di atas perairan laut.
    
Kalau Jembatan Surbaya-Madura (Suramadu) dibiayai kontraktor China dengan nilai investasi Rp4,5 triliun, maka tol di atas perairan laut yang menghubungkan Pelabuhan Benoa dengan Nusa Dua itu hanya butuh separuhnya, Rp2,4 triliun. Itu pun pembiayannya ditanggung renteng sejumlah BUMN, Pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Badung, dan perbankan nasional. Mereka pun meleburkan diri dalam PT Jasa Marga Bali Tol.
    
Berbeda dengan pembangunan Jembatan Suramadu yang membutuhkan waktu enam tahun (2003-2009), pembangunan tol Benoa-Nusa Dua hanya memakan waktu 1,5 tahun. Tol tersebut diharuskan rampung pada Juli 2013.
    
Pembangunan tol yang ditopang 35 ribu tiang pancang itu bersamaan dengan pembangunan terowongan (underpass) Simpang Dewa Ruci, Kuta, Kabupaten Badung, untuk mengurai kemacetan arus lalu lintas di Bali yang kian parah.
    
Tol dan underpass itu sudah harus bisa dioperasikan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Negara-Negara di Kawasan Asia Pasifik (APEC) digelar di Bali pada Oktober 2013.
    
Terlepas dari protes sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali atas pengurukan kawasan pesisir yang mengorbankan sedikitnya 2,3 hektare hutan bakau, pembangunan tol di atas perairan laut itu tetap menjadi fenomena menarik, terutama apabila dikaitkan dengan nilai-nilai adat dan budaya masyarakat Bali.
     
"Ada metode pelaksanaan yang mengganggu lingkungan pada saat ini. Akan tetapi nanti akan dikembalikan pada saat seluruh proyek ruas jalan selesai dibangun," kata Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak menanggapi protes itu dalam kunjungan kerjanya di Kabupaten Gianyar pada 4 September 2012.
    
Kesanggupan pemerintah mengembalikan kondisi lingkungan seperti semula itu disambut dengan pernyataan Koordinator Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, Wayan Suardana, bahwa pihaknya tidak menghambat pembangunan tol, asalkan pihak kontraktor bisa menyelesaikan persoalan Amdal.
    
Kedua proyek prestisius di Bali itu pun kini sudah terealisasi 40-50 persen. "Tentu saja saya senang sekali karena sesuai target dan bahkan realisasinya lebih cepat dari jadwal," kata Menteri BUMN Dahlan Iskan di Jimbaran, Kabupaten Badung, Sabtu (29/9).
    
Tentu saja dia senang karena dialah yang meresmikan pemasangan tiang pancang perdana kedua proyek tersebut bersama Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pada 21 Desember 2011.
     
Kepekaan Sosial
Gagasan pembangunan tol di atas perairan laut itu tidak muncul begitu saja. Apalagi jika dikaitkan dengan sulitnya mendapatkan lahan yang memadai untuk mewujudkan proyek infrastruktur.
    
Justru proyek tersebut dikerjakan di tengah perdebatan terkait inisiatif DPRD Provinsi Bali untuk merevisi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali periode 2009-2029.
    
Ada kepentingan politik dan bisnis yang mendesak DPRD merevisi Perda RTRW karena di dalamnya mengatur batasan-batasan pendirian bangunan, baik secara vertikal maupun horizontal.
    
Perda tersebut mengatur batas maksimal ketinggian bangunan 15 meter dan larangan mendirikan bangunan di sekitar tempat suci. Batasan-batasan ini dikenal dengan istilah "Bhisama" atau semacam fatwa dalam agama Hindu.
    
Sayangnya, tak banyak pihak di Bali yang memahami "Bhisama" tersebut secara utuh, sekali pun mereka anggota Dewan dan kepala daerah, terlebih lagi mereka yang mengutamakan kepentingan investasi.
    
Tak ayal, Ketua Aliansi Masyarakat Bali (AMB) Prof Dr I Made Bakta menuding kalangan legislatif dan kepala daerah dihinggapi rasa ketakutan atas sanksi pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 147 Perda RTRW dan "karma phala" atas pelanggaran Bhisama.
    
"Masih banyak orang yang salah mengartikan Bhisama dalam perda itu bahwa dalam radius lima kilometer dari pura sad kahyangan dan dua kilometer dari pura kahyangan tidak boleh ada bangunan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Bebas itu bukan berarti dalam radius tersebut bolong," kata Rektor Universitas Udayana (Unud) Denpasar itu.
    
Menyadari atas kondisi tersebut ditambah dengan upaya menjunjung tinggi kearifan lokal, pihak konsorsium memilih membangun jalan bebas hambatan itu di atas laut. Tentu saja proyek tersebut juga mempertimbangkan kelancarana lalu lintas udara di Bandara Ngurah Rai dan aktivitas pelayaran di Pelabuhan Benoa.

Setidaknya dengan menempatkan infrastruktur di atas perairan laut, konsorsium hanya menghadapi risiko kerusakan lingkungan yang akan dibayar jika proyek rampung sebagaimana dijanjikan Wakil Menteri PU.
    
Itu pun belum termasuk ongkos sewa hutan bakau di sepanjang Benoa-Nusa Dua yang dikeluarkan PT Jasa Marga sebesar Rp500 juta per tahun.     
    
Tentu efisiensi atas keterbatasan lahan menjadi pertimbangan utama bagi pengembang, selain keinginan untuk menjauhkan diri dari keruwetan sosial dan politik di Pulau Dewata.
     
Kepedulian Sosial
Kedua proyek prestisius itu bukan satu-satunya jawaban dalam mengurai kemacetan arus lalu lintas di wilayah selatan Bali.
    
Pertumbuhan kendaraan baru di Bali, khususnya roda empat yang mencapai 35 unit per hari menjadi persoalan tersendiri dalam upaya mengatasi kemacetan di jalan.
    
Belum lagi pergerakan arus wisatawan, baik mancanegara maupun domestik, dari satu objek wisata ke objek wisata lainnya yang makin tinggi frekuensinya dari waktu ke waktu.
    
Oleh sebab itu, sejumlah kalangan mengkhawatirkan pembangunan tol tersebut hanya sebagai upaya memindahkan kemacetan.
    
"Kami khawatir, tol itu akan menimbulkan kemacetan baru karena pintu menuju tol berdekatan dengan jalan yang ada sekarang," kata Wakil Ketua DPRD Bali Ketut Suwandhi beberapa saat setelah meninjau lokasi proyek tol di Persimpangan By Pass Ngurah Rai-Bandara beberapa waktu lalu.
    
Wakil Ketua Komisi III DPRD Bali Gusti Made Suryantha Putra juga meminta PT Jasa Marga menyesuaikan proyek tersebut dengan volume kendaraan di Bali.
    
Walau begitu, beberapa pihak merasa optimistis bahwa tol tersebut dapat mengatasi kemacetan arus lalu lintas, khususnya di ruas Benoa-Nusa Dua.
    
"Kami bekerja siang-malam untuk mewujudkan tol itu semata-mata untuk menyelesaikan persoalan kemacetan," kata General Manager PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III Cabang Benoa, Iwan Sabatini.
    
Dalam proyek tersebut Pelindo sebagai salah satu anggota konsorsium yang berkepentingan atas lancarnya arus barang dan jasa dari Benoa ke Nusa Dua dan sekitarnya memberikan kontribusi sebesar 20 persen dari total investasi.
    
Selaku BUMN yang sudah lama menjalankan usahanya di Bali, Pelindo mengajak lima BUMN yang tergabung dalam konsorsium proyek pembangunan tol di atas perairan laut untuk peduli terhadap masyarakat sekitar yang kurang beruntung.
    
Pelindo pun mampu menghimpun dana sekitar Rp75 juta dari anggota konsorsium untuk disumbangkan kepada orang-orang berkebutuhan khusus yang memiliki kemampuan berkreasi.
    
Dana tersebut diserahkan kepada Ketua Yayasan Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Kota Denpasar Ida Ayu Selly D Mantra untuk selanjutnya diserahkan kepada penderita cacat tuna rungu.
    
"Kebetulan di Denpasar ini ada beberapa penderita tuna rungu yang sedang membuat film tentang kemanusiaan," kata istri Wali Kota Denpasar Ida Bagus D Mantra itu beberapa saat setelah menerima bantuan sosial dari konsorsium proyek tol Benoa-Nusa Dua di Denpasar.(M038/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012