Direktur Pemberitaan (Dirpem) Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA Akhmad Munir mengajak media massa mengampanyekan penerapan jurnalisme positif dan konstruktif guna menghadapi pertempuran dengan media sosial dalam memberikan informasi yang benar dan tepat.
“Pertempuran antara media massa dan media sosial ini dapat berlangsung cepat ketika ada kesadaran kolektif dari para pemilik dan pengelola media massa untuk melakukan jurnalisme positif dan konstruktif. Oleh karena itu, ada baiknya kita terus berkampanye mengenai penerapan jurnalisme positif dan konstruktif,” kata Cak Munir, sapaan akrab Akhmad Munir.
Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam diskusi media secara virtual bertajuk “Membaca Arah Jurnalisme Positif dan Konstruktif”, sebagaimana dipantau di Jakarta, Jumat.
Lebih lanjut, Cak Munir menjelaskan pertempuran yang dihadapi oleh media massa dengan media sosial itu bukan berarti menjadikan media sosial sebagai musuh media massa.
"Pertempuran yang dihadapi media massa dengan media sosial adalah terkait dengan konten-konten hoaks yang mendominasi media sosial sehingga mengantarkan masyarakat pada misinformasi. Konten-konten (media sosial) itulah yang bertempur dengan kita (media massa)," ujar dia.
Baca juga: Menkominfo: Jurnalis dan media berperan lawan hoaks
Dalam pertempuran itu, lanjut Cak Munir, media massa harus menjelaskan dan mengedukasi masyarakat mengenai suatu informasi.
"Di sinilah muncul yang namanya jurnalisme positif dan konstruktif, yaitu bagaimana berita-berita yang kita siarkan sebagai perusahaan media memiliki unsur edukasi, menggerakkan, memberdayakan, serta menginspirasi masyarakat," jelas dia.
Selanjutnya, menurut dia, meskipun media-media arus utama (mainstream) di Indonesia pada saat ini sudah dapat dikatakan menerapkan jurnalisme positif dan konstruktif dalam pemberitaan, hal tersebut belum diterapkan pula oleh media nasional secara luas, khususnya media-media daring (online).
Cak Munir menilai secara umum, media mainstream telah menerapkan jurnalisme positif dan konstruktif dengan baik karena dalam pemberitaan, mereka mematuhi Undang-Undang Pers, pedoman media siber, serta etika dan kaidah jurnalistik.
Sementara terkait dengan media-media daring, menurut dia, ada beberapa di antara mereka yang masih mengabaikan etika dan kaidah jurnalistik dalam pemberitaan.
Baca juga: Pakar: Konvergensi media dorong jurnalis miliki "skill" berbagai bidang
Pada kesempatan yang sama, Ketua Departemen Kemitraan dan Hubungan Internasional Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Anthony Wonsono menyampaikan bahwa jurnalisme positif merupakan jurnalisme yang beritikad baik dan mematuhi etika serta kaidah-kaidah jurnalistik.
“Intinya, jurnalisme positif adalah jurnalisme yang beritikad baik dan sejatinya mematuhi etika atau kode etik jurnalis serta kaidah jurnalistik,” kata dia.
Jurnalisme konstruktif, katanya menegaskan, adalah pemberitaan yang tidak hanya menyebarkan informasi tetapi juga mengarah pada pemberian solusi.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
“Pertempuran antara media massa dan media sosial ini dapat berlangsung cepat ketika ada kesadaran kolektif dari para pemilik dan pengelola media massa untuk melakukan jurnalisme positif dan konstruktif. Oleh karena itu, ada baiknya kita terus berkampanye mengenai penerapan jurnalisme positif dan konstruktif,” kata Cak Munir, sapaan akrab Akhmad Munir.
Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam diskusi media secara virtual bertajuk “Membaca Arah Jurnalisme Positif dan Konstruktif”, sebagaimana dipantau di Jakarta, Jumat.
Lebih lanjut, Cak Munir menjelaskan pertempuran yang dihadapi oleh media massa dengan media sosial itu bukan berarti menjadikan media sosial sebagai musuh media massa.
"Pertempuran yang dihadapi media massa dengan media sosial adalah terkait dengan konten-konten hoaks yang mendominasi media sosial sehingga mengantarkan masyarakat pada misinformasi. Konten-konten (media sosial) itulah yang bertempur dengan kita (media massa)," ujar dia.
Baca juga: Menkominfo: Jurnalis dan media berperan lawan hoaks
Dalam pertempuran itu, lanjut Cak Munir, media massa harus menjelaskan dan mengedukasi masyarakat mengenai suatu informasi.
"Di sinilah muncul yang namanya jurnalisme positif dan konstruktif, yaitu bagaimana berita-berita yang kita siarkan sebagai perusahaan media memiliki unsur edukasi, menggerakkan, memberdayakan, serta menginspirasi masyarakat," jelas dia.
Selanjutnya, menurut dia, meskipun media-media arus utama (mainstream) di Indonesia pada saat ini sudah dapat dikatakan menerapkan jurnalisme positif dan konstruktif dalam pemberitaan, hal tersebut belum diterapkan pula oleh media nasional secara luas, khususnya media-media daring (online).
Cak Munir menilai secara umum, media mainstream telah menerapkan jurnalisme positif dan konstruktif dengan baik karena dalam pemberitaan, mereka mematuhi Undang-Undang Pers, pedoman media siber, serta etika dan kaidah jurnalistik.
Sementara terkait dengan media-media daring, menurut dia, ada beberapa di antara mereka yang masih mengabaikan etika dan kaidah jurnalistik dalam pemberitaan.
Baca juga: Pakar: Konvergensi media dorong jurnalis miliki "skill" berbagai bidang
Pada kesempatan yang sama, Ketua Departemen Kemitraan dan Hubungan Internasional Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Anthony Wonsono menyampaikan bahwa jurnalisme positif merupakan jurnalisme yang beritikad baik dan mematuhi etika serta kaidah-kaidah jurnalistik.
“Intinya, jurnalisme positif adalah jurnalisme yang beritikad baik dan sejatinya mematuhi etika atau kode etik jurnalis serta kaidah jurnalistik,” kata dia.
Jurnalisme konstruktif, katanya menegaskan, adalah pemberitaan yang tidak hanya menyebarkan informasi tetapi juga mengarah pada pemberian solusi.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022