Oleh I Ketut Sutika

Denpasar (Antara Bali) - Wilayah Nusantara dari Sabang sampai Merauke dikenal sebagai daerah subur, curah hujan yang tinggi, sehingga tanaman apa saja yang dikembangkan akan tumbuh dan sanggup memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakatnya.

Namun kenyataannya di lapangan lain, pangan seperti beras, kedelai dan aneka jenis buah-buahan masih sangat tergantung dari produksi negara lain, sehingga impor hasil pertanian tidak dapat dihindari.

Hal itu karena hasil pertanian di Indonesia seperti padi masih tergolong rendah yakni rata-rata baru 4,5 ton gabah kering giling (GKG)/hektare/tahun jauh di bawah rata-rata produksi negara lain seperti Australia yang mencapai 8,6 ton.

Demikian pula China mampu memproduksi padi per hektarenya 6,35 ton dan Jepang 6,53 ton, tutur Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr Ir Dewa Ngurah Suprapta MSc di Denpasar, akhir pekan ini.

Alumnus S-2 dan S-3  Graduate School for Agricultural Sciences Kagoshima University Jepang itu menilai, peningkatan produksi gabah di Indonesia itu sangat memungkinkan  dengan adanya penerapan teknologi maju dalam bidang pertanian.

Universitas Udayana (Unud), kata Dewa Ngurah Suprapta  yang juga dosen terbang pada tiga universitas di Jepang itu, sanggup menawarkan penerapan teknologi maju bidang pertanian untuk  meningkatkan produksi gabah di Indonesia 10-20 persen. Jika Indonesia mampu meningkatkan produksi gabah persatuan hektare itu sepuluh persen saja, otomatis dapat mengubah dari selama ini mengimpor menjadi pengekspor beras.

Indonesia mengimpor beras satu sampai dua juta ton setiap tahunnya, atau  sekitar satu persen dari kebutuhan beras di tanah air sebanyak 30 juta ton.

Dengan adanya peningkatan produksi pertanian, selain memantapkan ketahanan pangan dalam negeri, sekaligus sebagai mata dagangan ekspor, ujar Dewa Suprapta yang juga  Kepala Laboratorium Biopestisida Fakultas Pertanian Unud.

Teknologi bidang pertanian itu dapat diterapkan secara mudah, jika ada kesungguhan dan perhatian dari pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian. Teknologi pertanian yang sanggup meningkatkan produksi sepuluh hingga 20 persen itu mulai dari penyediaan bibit bermutu,  insfrastruktur pertanian, termasuk air yang memadai.

Teknologi pertanian itu sebenarnya sudah tersedia di beberapa daerah ditanah air, tinggal kesungguhan dari pemerintah Kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan koordinasi pemerintah pusat untuk menggerakkan petani dalam meningkatkan hasil produksi.

Hal itu sesuai dengan paket kebijakan ekonomi yang tertuang dalam Inpres Nomor 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan berbagai kemudahan.

Kebijakan menyangkut upaya meningkatkan produksi beras itu dinilai sangat tepat, karena hal itu harus dilakukan secara terus menerus dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, jangan sampai tergantung pada negara lain, tutur Ngurah Suprapta.

Peningkatan produksi beras yang masuk ke dalam percepatan pembangunan infrastruktur harus dilakukan secara terus menerus, selain perluasan lahan juga diimbangi dengan penerapan teknologi, varitas unggal dan penanganan pascapanen.

Bagi Bali perluasan lahan pertanian tidak memungkinkan lagi, bahkan cenderung menyusut itu upaya meningkatkan produksi beras tetap dilakukan, sehingga mampu meningkatkan produksi persatuan hektare.

Dengan penerapan teknologi, penggunaan pupuk ramah lingkungan dan penanganan pascapanen yang baik akan mampu meningkatkan produksi gabah per hektare dengan sasaran menyamai negara-negara lain.

Hindari benih impor

Dewa Suprapta mengingatkan, subsidi bunga kredit program dan benih untuk revitalisasi pertanian hendaknya mampu memantapkan pondasi benih nasional, sekaligus memberdayakan ekonomi dan mempercepat pengembangan sektor riil di Tanah Air.

Dalam pengadaan benih yang berkualitas harus menghindari impor, namun memanfaatkan lembaga-lembaga riset maupun lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan benih yang bermutu.

Benih yang bermutu dihasilkan oleh lembaga riset dan perguruan tinggi yang bergerak dalam bidang perpadian sehingga secara tidak langsung menggerakan perekonomian nasional.

Untuk itu pemerintah perlu mengalokasikan  dana cukup besar untuk subsidi benih dan pengadaan benih dalam  negeri, tidak tergiur pada benih hibrida yang dihasilkan China atau negara lain, karena  Indonesia  mampu menghasilkan benih yang berkualitas.

Jika benih itu diimpor dari luar negeri, maka subsidi benih yang  begitu besar nilainya tidak memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan petani dan masyarakat Indonesia.

Sebaliknya impor benih sehingga subsidi yang disediakan pemerintah Indonesia hanya akan memberikan dampak ekonomi bagi negara asal penghasil benih yang dibeli Indonesia.

Oleh sebab itu pengadaan benih untuk mendukung revitalisasi bidang pertanian, perikanan, kehutanan dan pembangunan pedesaan dengan memanfaatkan benih unggul hasil riset dalam negeri.

Hal itu akan lebih bermanfaat, karena benih yang dihasilkan oleh sebuah lembaga riset akan lebih mengutamakan kondisi tanah dan iklim di Indonesia, dan lebih spesifik lagi di masing-masing daerah, di mana benih tersebut akan dikembangkan, ujar Dewa Suprapta. (IGT)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012