PT PLN (Persero) menciptakan peluang baru dari program transisi energi yang saat ini sedang dilakukan oleh Indonesia dalam mewujudkan karbon netral pada 2060.

"Transisi energi merupakan peluang untuk keberlanjutan bisnis kami, yang salah satunya dengan bisnis baru konversi kompor induksi dan kendaraan listrik," kata Manajer Pengelolaan Perubahan Iklim PLN Kamia Handayani dalam diskusi "Presidensi G20: EBT Indonesia Menuju Net Zero Emission 2060" yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin.

Bisnis baru yang juga digarap PLN saat transisi energi adalah Renewable Energy Certificate (REC). Perseroan membuka layanan untuk sertifikat energi terbarukan bagi industri maupun individu yang memang ingin menggunakan energi bersih.

Selain itu, PLN juga menjajaki bisnis karbon kredit untuk industri maupun individu yang ingin mengurangi jejak emisi karbon dalam bisnis mereka.

Pihaknya juga berpartisipasi dalam perdagangan karbon yang sekarang topiknya semakin hangat pasca penerbitan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tentang pajak karbon dan Peraturan Presiden yang memuat nilai ekonomi karbon untuk pencapaian emisi.

Baca juga: PLN sudah siap, Presiden perintahkan konversi LPG ke Kompor Induksi

Beberapa waktu lalu, PLN telah menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk tahun 2021 sampai 2030. Perseroan menyatakan ikut dalam program transisi energi melalui penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 40,6 gigawatt.

Dalam RUPTL tersebut PLN menempatkan penambahan pembangkit energi baru terbarukan sebesar 51,6 persen. Porsi itu lebih besar dibandingkan dengan penambahan pembangkit fosil yang hanya sebesar 48,4 persen.

Dari target penambahan pembangkit sebesar 40,6 gigawatt dalam waktu sembilan tahun ke depan, kapasitas pembangkit energi baru terbarukan mencapai 20,9 gigawatt dan kapasitas pembangkit energi fosil hanya sebesar 19,6 gigawatt.

Rincian tambahan 20,9 gigawatt energi baru terbarukan itu bersumber dari PLTA 10.391 megawatt, PLTP 3.355 megawatt, PLTS 4.680 megawatt, pembangkit energi terbarukan lain 1.487 megawatt, dan pembangkit energi terbarukan base load 1.010 megawatt.

Baca juga: Presiden (kepada Pertamina/PLN): Transisi energi tidak dapat ditunda

PLN menargetkan kapasitas pembangkit listrik di Indonesia bisa mencapai 99,2 gigawatt pada 2030, seiring dengan pertumbuhan instalasi baru 40,6 gigawatt yang mayoritas bersumber dari energi baru terbarukan.

Pada 2030, porsi pembangkit listrik energi baru terbarukan akan mencapai 28,87 gigawatt atau 29 persen dari total kapasitas pembangkit listrik sebesar 99,2 gigawatt.


 
Manajer Pengelolaan Perubahan Iklim PLN Kamia Handayani saat menjadi narasumber dalam diskusi
"Presidensi G20: EBT Indonesia Menuju Net Zero Emission 2060" yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin (22/11/2021).
(Antara News Bali/HO-PLN/2021)



Senada dengan itu, Sekretaris Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Sahid Junaidi mengemukakan secara umum upaya pemerintah menuju karbon netral berdasarkan 5 prinsip utama.

Kelima prinsip tersebut meliputi peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi berbasis fosil, peningkatan pemanfaatan kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan peralatan listrik untuk sektor rumah tangga dan industri, dan pemanfaatan teknologi bersih seperti CCS.
 
"Kami telah mengembangkan sebuah peta jalan, yang menjabarkan upaya-upaya yang diperlukan untuk mengembangkan EBT, pengurangan bahan bakar fosil dan penerapan teknologi bersih untuk mencapai karbon netral pada 2060 atau lebih cepat melalui bantuan internasional," papar Sahid.

Baca juga: PLN : 1.087 pelaku usaha pertanian nikmati "electrifying agriculture"
 
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Chairani Rachmatullah mengingatkan, hal mendasar yang perlu disiapkan adalah model bisnis yang tepat untuk menjaga keberlanjutan PLN sebagai penyelenggara layanan kelistrikan Indonesia.
 
"PLN perlu melakukan modernisasi sistem penyaluran dan distribusinya. Karena semakin banyak pembangkit Variable Renewable Energy (VRE) beroperasi, maka PLN perlu mengadopsi digitalisasi dan improvement untuk sistem transmisi dan distribusi," katanya.
 
Menurutnya, RUPTL Hijau yang baru saja disahkan oleh pemerintah baru berbicara mengenai neraca daya yang dipasok oleh pembangkit EBT nantinya. Sementara masalah yang krusial adalah teknologi yang ekonomis.
 
"Banyak teknologi EBT, tetapi kita perlu memilih teknologi yang ekonomis. Karena kita ingin menjaga sustainability perusahaan ini sendiri agar dapat PLN terus berlanjut," imbuh Chairani.
 
Selain itu, PLN juga harus mempersiapkan sistem keuangan secara baik agar rencana teknis di RUPTL 2021-2030 dapat tereksekusi tepat waktu.
 
"Dari 64 GW kapasitas listrik nasional, hampir 73 persennya dikelola oleh PLN. Maka penting sekali menjaga keandalan layanan kelistrikan," tutupnya.

Pewarta: Antara News Bali

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021