Oleh Ni Luh Rhismawati

Denpasar (Antara Bali) - Sampah yang menumpuk di berbagai sudut masih merupakan masalah umum lingkungan perkotaan Indonesia. Kawasan padat penduduk serta tingginya aktivitas ekonomi menjadi salah satu penyebab permasalahan itu kian menggunung.

Hal sama juga terjadi di Provinsi Bali, khususnya di Kota Denpasar yang menjadi ibu kota provinsi, hingga kini sampah belum dapat terkelola dengan optimal. Bahkan Denpasar tahun ini gagal meraih trofi Adipura.

Dari 2.700 meter kubik produksi sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Denpasar per hari, hanya tersedia 35 truk pengangkut sampah. Itupun 12 truk diantaranya merupakan bantuan Pemprov Bali.

Sekretaris Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar Dewa Anom Sayoga mengatakan, untuk optimalisasi pengangkutan sampah menuju tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung, Denpasar, sebenarnya dibutuhkan 90 truk pengangkut sampah (dump truck).

"Setiap harinya, sopir pengangkut sampah dari DKP terpaksa harus bolak-balik hingga empat kali dalam sehari menuju TPA karena kekurangan armada," ujarnya.

"Pameran" sampah yang meluber di jalanan, apalagi di saat perayaan hari suci umat Hindu di Bali juga menjadi hal yang tak asing lagi dijumpai.

Pada 2011, volume sampah di Kota Denpasar, mencapai lebih dari 1,1 juta meter kubik, namun yang dapat terangkut DKP hanya sekitar 698 ribu meter kubik.

Tingginya produksi sampah rupa-rupanya tak hanya terjadi di daerah perkotaan di Bali.

Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali, Komang Ardana menyampaikan sekitar 4.300 meter kubik sampah setiap harinya telah dihasilkan dari perdesaan di Pulau Dewata. Sampah dari perdesaan ini tidak ditangani oleh DKP.

"Oleh karena itu, khusus untuk pengelolaan sampah di perdesaan, kami senantiasa mendorong agar dibentuk pengelolaan sampah skala wilayah, misalnya dengan dibentuk depo-depo sampah. Hal ini sejalan dengan program Bali Clean and Green (Bersih dan Hijau) yang dicanangkan Pemerintah Provinsi Bali," ucapnya.

Ardana menyampaikan, di kawasan perdesaan bukan berarti jumlah sampah plastik minim. Hingga saat ini, produksi sampah plastik di  perdesaan telah mencapai kisaran 10-20 persen dari total produksi sampah.

Bank Sampah

Tak hanya di Bali, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sampah pun menjadi permasalahan yang cukup pelik untuk diatasi.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi DIY Drajad Ruswandono mengakui hal itu dalam kesempatan kegiatan Wisata Jurnalistik Humas Pemprov Bali bersama awak media belum lama ini ke Kota Pelajar itu.

"Oknum masyarakat yang tak sadar akan kebersihan lingkungan, tidak sedikit yang begitu saja membuang sampah ke sungai. Mereka seenaknya melempar bungkusan sampah ketika melintasi jembatan," ujarnya.

Untunglah, kata Drajad, perilaku masyarakat semacam itu lambat laun berubah seiring dengan tumbuhnya berbagai kelompok pengolah sampah mandiri dan jejaring pengolah sampah mandiri.

Dikatakannya, semenjak terbentuknya berbagai kelompok pengolah sampah mandiri yang kemudian melahirkan berbagai "bank sampah" telah mampu menurunkan produksi sampah.

"Pada 2005, produksi sampah di daerah kami mencapai 150 ribu ton, namun pada 2010 sudah berkurang menjadi 111 ribu ton. Ini semua berkat kerja sama masyarakat yang semakin sadar untuk mengelola sampah," katanya.

Hingga saat ini, ada sekitar 150 kelompok pengolah sampah dan jejaring pengelola sampah mandiri.

"Keberadaan bank sampah ini sangat efektif untuk mengubah pola pikir masyarakat bahwa limbah yang dihasilkan masih memiliki potensi ekonomi, selain menyebabkan jumlah sampah yang terbuang ke tempat pembuangan akhir menjadi lebih sedikit," ucapnya.
    
Pionir

Bank Sampah Gemah Ripah, begitu nama salah satu usaha kelompok pengolah mandiri yang menjadi pionir berdirinya berbagai "bank sampah" di DIY.

Bank ini terdapat di Badegan, Bantul, Yogyakarta. Terlahir dari ide seorang dosen di Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan di Yogyakarta bernama Bambang Suwerda pada tahun 2008.

Istilah bank sampah membuat dia langsung teringat pada aktivitas perbankan. Meski latar belakang pendidikannya adalah teknik lingkungan, Bambang mencoba mengadopsi konsep bank konvensional pada bank sampah yang digagasnya.

"Waktu itu saya kepikiran bagaimana mengelola sampah seperti mengelola uang di bank? Gagasan tersebut kemudian saya lontarkan kepada anggota kelompok dan mereka menerima," katanya.

Setelah digagas cukup matang, momentum peringatan dua tahun gempa yang melanda Yogyakarta pada 2008 dimanfaatkan untuk meluncurkan gerakan bank sampah.

Pada masa awal banyak warga yang masih bingung dengan konsep tersebut sehingga gerakan bank sampah kurang berjalan efektif. Baru sekitar sebulan kemudian, masyarakat bisa menerimanya.

"Kami juga rutin mengadakan sosialisasi melalui acara arisan ibu-ibu hingga berbagai pertemuan warga," ujarnya.

Para peserta bank sampah disebut nasabah. Setiap nasabah datang dengan tiga kantong sampah yang berbeda. Kantong pertama berisi sampah plastik, kantong kedua adalah sampah kertas, dan kantong ketiga berisi sampah kaleng dan botol.

Setelah ditimbang, nasabah akan mendapatkan bukti setor dari petugas yang diibaratkan sebagai "teller bank". Bukti setoran itu menjadi dasar penghitungan nilai rupiah sampah yang kemudian dicatat dalam buku tabungan nasabah.

Kalau sampah yang terkumpul sudah cukup banyak, petugas bank sampah akan menghubungi pengumpul barang bekas. Pengumpul barang bekas yang memberikan nilai ekonomi setiap kantong sampah milik nasabah.

"Catatan nilai rupiah itu lalu dicocokkan dengan bukti setoran, baru kemudian dibukukan. Harga sampah dari warga itu bervariasi, tergantung klasifikasinya," ucapnya.

Setiap nasabah memiliki karung ukuran besar yang ditempatkan di bank untuk menyimpan sampah yang mereka tabung. Setiap karung diberi nama dan nomor rekening masing-masing nasabah. Karung-karung sampah itu tersimpan di gudang bank.

"Yang terpenting, nasabah itu haruslah memakai nama anak-anak mereka untuk dicantumkan di buku tabungan. Hal ini kami tujukan untuk menanamkan kepedulian pada anak-anak agar senantiasa menjaga kebersihan lingkungan," katanya.

Anak-anak ini, lanjut dia, dapat pula langsung mengirimkan sampah yang telah dipilah itu ke tempatnya. Pihaknya juga telah bekerja sama dengan berbagai sekolah dan kampus di Yogyakarta, baik untuk menyosialisasikan maupun mengumpulkan sampah.

"Jangan semata-mata dilihat dari uang yang dihasilkan dari sampah yang disetor, tetapi hendaknya dilihat dari upaya strategis untuk pembentukan karakter lingkungan anak-anak," ujarnya.

Tak jauh berbeda dengan bank konvensional umumnya, bank sampah juga menerapkan sistem bagi hasil dengan memotong 15 persen dari nilai sampah yang disetor individu nasabah. Sedangkan sampah suatu kelompok (misalnya rukun tetangga) dipotong 30 persen. Dana itu digunakan untuk biaya operasional bank sampah.

Jika nasabah bank konvensional bisa mengambil dananya setiap saat, nasabah bank sampah hanya bisa menarik dana dalam waktu berkala.

Tujuannya agar dana yang terkumpul bisa lebih banyak sehingga uang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai modal kerja atau keperluan yang sifatnya produktif.

Hingga saat ini, jumlah penabung individu di bank-nya telah mencapai 400 orang, sedangkan penabung kelompok mencapai 12 RT.

Bambang Suwerda juga telah diminta untuk memberikan ilmu tentang pengelolaan bank sampah ke berbagai wilayah di Indonesia. Termasuk di Kementerian Lingkungan Hidup, juga dibentuk bank sampah dan Menteri Lingkungan Hidup telah pula meluncurkan program bank sampah secara nasional pada 28 Februari 2011.

Di sekitar lokasi Bank Sampah Gemah Ripah juga didirikan distro yang menjual berbagai produk kerajinan hasil pemanfaatan kembali bungkus kemasan.
    
Teladani Yogyakarta

Pemerintah Provinsi Bali sendiri sebenarnya sudah mencanangkan diri menjadi Provinsi Hijau dengan menetapkan tiga strategi dasar untuk mewujudkan tujuan itu.

Pertama, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya (kearifan lokal) yang berwawasan lingkungan hidup, termasuk berbagai aktivitas keagamaan baik yang berskala kecil, menengah maupun besar (green culture).

Kedua, mewujudkan perekonomian daerah Bali yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun tetap dapat menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk generasi masa kini dan yang akan datang (green economy).

Ketiga dengan mewujudkan lingkungan hidup daerah Bali yang bersih dan hijau (clean and green).

Walaupun dicanangkan sejak 2010, namun seringkali masyarakat menilai program itu hanya sebatas wacana dari pemerintah lalu dengan serta merta menyalahkan pemerintah.

Berkaca dari yang diterapkan di Yogyakarta, seharusnya apa yang dilakukan oleh masyarakat di sana dapat menjadi teladan masyarakat Bali bahwa jika ingin lingkungan bersih mutlak diperlukan kesadaran dari masyarakat itu sendiri.

Kepala Biro Humas Pemprov Bali I Ketut Teneng menyampaikan bahwa apapun program pemerintah jika tidak dibarengi dengan dukungan masyarakat tentu akan sulit tercapai.

"Kesadaran itu sangat baik jika dimulai sejak dini. Sama halnya dengan Bali sebagai daerah pariwisata, di Yogyakarta faktor kebersihan lingkungan menjadi sangat penting untuk menjaga citra di mata wisatawan yang datang. Dari sini, kita dapat mengambil langkah-langkah positif yang telah dilakukan masyarakat Yogyakarta," kata Teneng.

Di Bali sendiri, menurut Teneng, upaya pengolahan limbah, khususnya sampah organik sudah dikembangkan seiring dengan Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) sejak 2009. Diakuinya memang untuk pengolahan sampah plastik belum begitu maksimal.

Sekretaris Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar Dewa Anom Sayoga mengatakan khusus untuk di Kota Denpasar sebenarnya sudah ada usaha-usaha mandiri seperti bank sampah dan depo sampah.

"Memang masih perlu waktu untuk lebih menggiatkan, terutama dimulai dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk turut memilah sampah. Penolakan pembentukan bank sampah seringkali datang dari warga sekitar yang enggan berdampingan dengan usaha pengelola persampahan," ujarnya.(LHS) 

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012