Wakil Ketua MPR RI, Dr. Ahmad Basarah, M.H., menegaskan bahwa upaya pers dalam menyampaikan informasi yang benar tentang COVID-19 itu berarti menegakkan Empat Pilar (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945).
"Data per 26 Agustus, siluman COVID-19 itu mencatat 214 juta kasus di Indonesia dengan 4,4 juta kematian. Siluman COVID-19 itu tidak mengenal hukum perang, karena tenaga kesehatan, anak-anak, dan tentara juga terpapar, bahkan hingga Mei ada 1.208 jurnalis terpapar," katanya saat membuka Webinar Nasional MPR-PWI Bali secara daring, Jumat.
Dalam Webinar Nasional bertema "Peran Pers Menggelorakan Empat Pilar Kebangsaan di Masa Pandemi COVID-19" yang juga berlangsung secara luring di Studio PWI Bali, di Denpasar itu, ia mengatakan para wartawan harus terlibat dalam perang melawan siluman COVID-19 yang memapar siapa saja itu.
Baca juga: MPR gandeng PWI Bali gelorakan Empat Pilar Kebangsaan di saat pandemi
"Kita harus bersatu, menjalin persatuan, gotong royong dan mengedepankan kepentingan bangsa. Itu berarti menegakkan Empat Pilar. Untuk itu, pers harus berupaya menyampaikan informasi yang benar. Kita memang bebas berpendapat, tapi harus diingat bahwa kebebasan itu dibatasi kebebasan orang lain, yang menyangkut nyawa," katanya pula.
Oleh karena itu, ketika ada masyarakat yang melakukan demonstrasi menolak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada 24 Juli 2021, maka para wartawan atau kalangan pers jangan terkesan mendukung, karena kebebasan itu bisa mengorbankan nyawa orang lain, baik masyarakat maupun mereka yang demonstrasi.
Dalam acara yang dihadiri Ketua Dewan Kehormatan PWI Bali Nyoman Wirata, dan dipandu Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Bali Budiharjo itu, Anggota Komisis XI DPR RI, I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M., selaku pembicara mengaku percaya bahwa kerukunan, toleransi, saling hormat, dan nasionalisme itu sudah mendarah daging di Bali.
"Namun, implementasi Empat Pilar yang sudah mendarah daging itu saat ini menghadapi banyak tantangan. Selain tantangan global seperti COVID-19, juga ada tantangan internal yang perlu diwaspadai, karena ada upaya mengubah Empat Pilar, seperti ideologi, batas wilayah, dan sebagainya," katanya.
Baca juga: Wapres: Kerja pers harus tetap berjalan di tengah pandemi COVID-19
Hal itu juga dibenarkan pembicara lain yang juga pengamat politik Undiknas Denpasar, Dr. Nyoman Subanda. "Khusus pers, tantangan yang ada juga semakin berat, yakni hoaks, civil society yang tidak toleran, dan anti-nasionalisme, karena itu saya tidak habis pikir kalau ada TV yang menayangkan kelompok menolak hormat bendera," katanya lagi.
Baginya, kebebasan berpendapat itu bukan berarti bebas menghancurkan negara sendiri. "Pers harus meluruskan hal-hal yang tidak menyaring modernisasi dengan benar, seperti kalau ada kecelakaan itu, masyarakat yang ramah harus segera menolong, bukan memotret dan memviralkan. Atau, impor garam dan beras di negara agraris harus dikritisi," katanya.
Ketua PWI Bali I GMB Dwikora Putra yang juga menjadi pembicara dalam seminar yang dihadiri ratusan wartawan dan mahasiswa pegiat pers kampus itu, menyatakan Empat Pilar bagi PWI itu sebenarnya sudah selesai, karena akronim PWI mengandung pesan "persatuan" dan istilah wartawan itu bukan istilah asing.
"Semula, saya mengira istilah persatuan dan wartawan itu tidak milenial, tapi ternyata filosofinya tinggi. Soal milenial, saya kira bisa diformat dalam kegiatan, karena buktinya anggota PWI dari kalangan muda juga tidak sedikit. Ke depan justru wartawan harus menyajikan informasi yang benar untuk melawan hoaks dari medsos. Saya sepakat informasi yang benar itu ibarat perang untuk membela bangsa dan negara saat ini. Inti Empat Pilar adalah kebangsaan," katanya pula.
Oleh karena itu, bila ada wartawan menyajikan informasi yang tidak benar atau hoaks, maka dosanya tidak dapat diampuni, karena penyampaian informasi yang benar ada kodrat seorang wartawan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
"Data per 26 Agustus, siluman COVID-19 itu mencatat 214 juta kasus di Indonesia dengan 4,4 juta kematian. Siluman COVID-19 itu tidak mengenal hukum perang, karena tenaga kesehatan, anak-anak, dan tentara juga terpapar, bahkan hingga Mei ada 1.208 jurnalis terpapar," katanya saat membuka Webinar Nasional MPR-PWI Bali secara daring, Jumat.
Dalam Webinar Nasional bertema "Peran Pers Menggelorakan Empat Pilar Kebangsaan di Masa Pandemi COVID-19" yang juga berlangsung secara luring di Studio PWI Bali, di Denpasar itu, ia mengatakan para wartawan harus terlibat dalam perang melawan siluman COVID-19 yang memapar siapa saja itu.
Baca juga: MPR gandeng PWI Bali gelorakan Empat Pilar Kebangsaan di saat pandemi
"Kita harus bersatu, menjalin persatuan, gotong royong dan mengedepankan kepentingan bangsa. Itu berarti menegakkan Empat Pilar. Untuk itu, pers harus berupaya menyampaikan informasi yang benar. Kita memang bebas berpendapat, tapi harus diingat bahwa kebebasan itu dibatasi kebebasan orang lain, yang menyangkut nyawa," katanya pula.
Oleh karena itu, ketika ada masyarakat yang melakukan demonstrasi menolak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada 24 Juli 2021, maka para wartawan atau kalangan pers jangan terkesan mendukung, karena kebebasan itu bisa mengorbankan nyawa orang lain, baik masyarakat maupun mereka yang demonstrasi.
Dalam acara yang dihadiri Ketua Dewan Kehormatan PWI Bali Nyoman Wirata, dan dipandu Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Bali Budiharjo itu, Anggota Komisis XI DPR RI, I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M., selaku pembicara mengaku percaya bahwa kerukunan, toleransi, saling hormat, dan nasionalisme itu sudah mendarah daging di Bali.
"Namun, implementasi Empat Pilar yang sudah mendarah daging itu saat ini menghadapi banyak tantangan. Selain tantangan global seperti COVID-19, juga ada tantangan internal yang perlu diwaspadai, karena ada upaya mengubah Empat Pilar, seperti ideologi, batas wilayah, dan sebagainya," katanya.
Baca juga: Wapres: Kerja pers harus tetap berjalan di tengah pandemi COVID-19
Hal itu juga dibenarkan pembicara lain yang juga pengamat politik Undiknas Denpasar, Dr. Nyoman Subanda. "Khusus pers, tantangan yang ada juga semakin berat, yakni hoaks, civil society yang tidak toleran, dan anti-nasionalisme, karena itu saya tidak habis pikir kalau ada TV yang menayangkan kelompok menolak hormat bendera," katanya lagi.
Baginya, kebebasan berpendapat itu bukan berarti bebas menghancurkan negara sendiri. "Pers harus meluruskan hal-hal yang tidak menyaring modernisasi dengan benar, seperti kalau ada kecelakaan itu, masyarakat yang ramah harus segera menolong, bukan memotret dan memviralkan. Atau, impor garam dan beras di negara agraris harus dikritisi," katanya.
Ketua PWI Bali I GMB Dwikora Putra yang juga menjadi pembicara dalam seminar yang dihadiri ratusan wartawan dan mahasiswa pegiat pers kampus itu, menyatakan Empat Pilar bagi PWI itu sebenarnya sudah selesai, karena akronim PWI mengandung pesan "persatuan" dan istilah wartawan itu bukan istilah asing.
"Semula, saya mengira istilah persatuan dan wartawan itu tidak milenial, tapi ternyata filosofinya tinggi. Soal milenial, saya kira bisa diformat dalam kegiatan, karena buktinya anggota PWI dari kalangan muda juga tidak sedikit. Ke depan justru wartawan harus menyajikan informasi yang benar untuk melawan hoaks dari medsos. Saya sepakat informasi yang benar itu ibarat perang untuk membela bangsa dan negara saat ini. Inti Empat Pilar adalah kebangsaan," katanya pula.
Oleh karena itu, bila ada wartawan menyajikan informasi yang tidak benar atau hoaks, maka dosanya tidak dapat diampuni, karena penyampaian informasi yang benar ada kodrat seorang wartawan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021