Pesan yang tidak singkat masuk ke aplikasi, dari seorang kerabat, yang ingin mengingatkan menjaga kesehatan selama pandemi virus corona.

Bunyinya kurang lebih begini "air kelapa muda, air jeruk nipis, garam 1/2 sendok teh, madu 2 sendok. Semuanya diaduk dan minum airnya. 1 jam kemudian virusnya dijamin akan hilang dan hasil tes rapid/swab kembali normal dan dinyatakan negatif".

Lain waktu, pesan berantai yang beredar mengingatkan minum vitamin C dosis 1 gram setiap 3 jam sekali untuk menangkal virus corona.

Pesan seperti ini, sayangnya, beredar di aplikasi pesan instan, media sosial, menjangkau masyarakat yang sedang berupaya menjaga kesehatan di tengah pandemi.

"(Hoaks) bahaya, orang-orang bisa minum obat yang tidak sesuai dengan penyakitnya," kata Dokter Spesialis Penyakit Dalam & Konsultan Penyakit Dalam Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet, dr. Andi Khomeini Takdir, Sp.PD, kepada ANTARA, menanggapi betapa hoaks tentang kesehatan ini berbahaya.

Dokter Koko, dengan nama itu dia disapa pengikut di media sosial, sejak pandemi melanda cukup aktif memberikan tips seputar kesehatan di media sosial, di sela-sela jadwal praktiknya. Tujuannya satu, meluruskan informasi tentang kesehatan.

Perkara hoaks ini bukan lah baru muncul ketika pandemi COVID-19, ia tumbuh subur karena banyak orang yang sedang panik, ingin sehat, ingin sembuh dan ingin menjaga keluarga mereka.

Baca juga: Biden: medsos "bunuh" orang dengan hoaks vaksin COVID-19

Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi, Yosi Mokalu, masih ingat betul, masyarakat sudah sering terpapar dan terpengaruh hoaks jauh sebelum ketika internet dan media sosial menjamur di Indonesia.

Yosi mencontohkan dulu, beberapa kali dia membaca berita warga main hakim sendiri lantaran seseorang diteriaki maling. Belakangan, setelah diusut penegak hukum, terbukti dia tidak melakukan apa pun.

"Orang, ketika terpancing amarahnya, rasa khawatirnya, bisa melakukan hal yang merugikan orang lain," kata Yosi.

Yosi sudah sejak lama bergelut di bidang musik, bersama Project Pop. Di luar musik, ada satu hal lagi yang menarik perhatiannya, nasionalisme. Kepeduliannya terhadap bangsa dan negara ini yang membuat dia tergerak membuat konten kreatif bertema kebangsanaa, sampai akhirnya terjun sebagai pegiat literasi digital selama beberapa tahun belakangan.

"Ini kan soal kepedulian, jadi, semua mengalir begitu saja, tidak direncanakan," kata Yosi, dihubungi terpisah.

Berbicara mengenai hoaks, setidaknya selama empat tahun belakangan publik mulai akrab dengan istilah "fact checker", pengecek fakta, dan "fact checking" pengecekan fakta.

Baca juga: Anita Wahid: Hoaks berbahaya karena mainkan emosi (+tips Facebook)

Adalah Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), organisasi masyarakat yang secara spesifik berupaya menangkal hoaks di media sosial, salah satu nama besar di pengecekan fakta di Indonesia

Aribowo Sasmito, salah seorang pendiri Mafindo, secara pribadi mau ikut serta aktif di perkumpulan untuk melawan informasi yang tidak benar.

"Prinsip saya, apa yang bisa saya sumbang untuk mengurangi hoaks," kata Aribowo dalam panggilan telepon dengan ANTARA.

Meluruskan hoaks

Dokter Koko, Yosi dan Aribowo baru sebagian dari orang-orang Indonesia yang menggunakan kemampuan dan akun media sosial mereka untuk berbagi fakta.

Jika Dokter Koko, menggunakan pengetahuannya sebagai praktisi kesehatan untuk berbagi informasi, Yosi Mokalu memilih jalan yang kreatif dalam mengemas informasi agar tidak terasa menggurui dan membosankan.

Baca juga: Dokter Reisa: Hoaks jadi tantangan utama vaksinasi

Sementara Aribowo, sibuk di balik layar, mengecek fakta dari informasi yang beredar di dunia maya.

Satu hal yang sama dari mereka, sepakat bahwa hoaks di dunia maya tidak bisa dibiarkan begitu saja.

"Informasi yang keliru akan bikin orang bertindak keliru. Memang saya rasa, perlu saya saya sampaikan (apa) yang saya tahu. Sambil terus belajar karena banyak hal yang belum saya tahu," kata Dokter Koko, yang juga praktik di Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet, Jakarta.

Merujuk contoh yang dia berikan sebelumnya, Yosi menilai hoaks bersifat merugikan maka itu harus dilawan.

"Karena sudah banyak bukti hoaks itu merugikan," kata Yosi.

Salah satu dampak hoaks yang paling terasa bagi Dokter Koko adalah masyarakat takut berobat ke rumah sakit karena isu "di-covid-kan", alias dinyatakan positif COVID-19 demi keuntungan rumah sakit semata.

Meluruskan hoaks, berdasarkan pengalaman Aribowo adalah "gampang-gampang susah", bergantung tingkat kerumitan isi konten tersebut.

Tapi, dibalik itu semua, menurut Aribowo letak masalah terkadang ada di masyarakat itu sendiri, apakah mereka mau ikut mengecek fakta. Dia menemukan masih ada orang yang, begitu menerima informasi, langsung membagikan, dengan alasan mempertanyakan kebenaran, bukan mengecek kebenaran informasi baru membagikannya.

Baca juga: Mahfud MD: Hoaks jadi ancaman serius

Dinamika meluruskan informasi tentu sangat terasa bagi pegiat antihoaks, Dokter Koko, selain mendapat ucapan terima kasih dari para pengikutnya yang merasa terbantu, pernah juga dirundung.

Meski begitu, dia tetap memberikan edukasi melalui akun media sosialnya, sampai membuat buku digital seputar cara melakukan isolasi mandiri.

"Memang ingin bantu saja. Biar rakyat nggak banyak yang sakit, negara nggak kena dampak yang parah karena pandemi COVID-19 dan penyakit lainnya, dampaknya multidimensi," kata Dokter Koko.

Yosi mengaku pernah dituding sebagai pendengung alias "buzzer", namun, dia tidak mau terlalu ambil pusing dan menanggapinya dengan amarah.

Yosi menyitir perkataan salah seorang mentor ketika dia mengikuti pelatihan digital di Inggris Raya beberapa tahun lalu bahwa "sebagai seorang kreator konten, kalian harus punya energi untuk menjangkau pembenci kalian".

Dengan catatan, kata Yosi, si pembenci ini teridentifikasi memang manusia sungguhan, bukan akun bot atau akun yang tidak jelas. Yang dia lakukan waktu itu, memberi penjelasan kepada pengguna akun tersebut.

Saat ditanya suka-duka menjadi fact checker, sambil tergelak Aribowo menjawab sudah pernah mendapat berbagai julukan.

"Sudah dituduh jadi antek Iluminati, anteknya Bill Gates, big pharma sampai big tech (teori konspirasi)," kata Aribowo sambil tertawa.

Para pegiat antihoaks ini menjadi cerminan dinamika media sosial Tanah Air, bahwa masih ada harapan untuk melawan hoaks yang merajalela.
 

Pewarta: Natisha Andarningtyas

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021