Anggota Dewan Perwakilan Daerah Made Mangku Pastika mendorong pembudidaya lele di Provinsi Bali untuk lebih inovatif dan kreatif sehingga tidak selalu bermasalah dalam proses pembibitan hingga pemasaran.

"Dari dulu masalahnya selalu soal pakan, bibit, dan pemasaran. Masak itu terus dan tidak ada solusi sampai saat ini," kata Pastika saat penyerapan aspirasi secara virtual bertajuk "Perikanan Sistem Bioflok" di Denpasar, Kamis.

Mantan Gubernur Bali dua periode tersebut mendorong upaya inovatif dari pembudidaya maupun para ilmuwan, sehingga bisa dibuat pakan sendiri dan tidak selalu bergantung dari pakan yang dibeli. Termasuk juga persoalan bibit agar bisa sepenuhnya dari Bali.

"Memang harus ada upaya terintegrasi, supaya pembudidaya bisa lebih sejahtera dan harga pokok produksinya juga bisa ditekan," ucap anggota Komite 2 DPD itu.

Untuk meningkatkan nilai tambah di saat panen lele bisa dipikirkan pengolahan menjadi kerupuk ikan, ikan asin, dan produk lainnya yang diminati pasar.

"Selain itu, perlu dibentuk koperasi untuk menangani persoalan pemasaran maupun pengadaan bibit dari pembudidaya. Mungkin perlu juga dipikirkan regulasi yang mengatur agar ikan budidaya dari luar tidak dengan mudahnya masuk ketika di Bali dalam kondisi panen," ucapnya.

Sementara itu, Kepala Seksi Produksi dan Usaha Budidaya Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Denpasar Ni Made Rai Sumarni mengatakan, pembudidayaan dengan sistem bioflok sesungguhnya sangat tepat dikembangkan untuk di daerah perkotaan.

"Di Denpasar, sistem bioflok ini sudah dikembangkan sejak 2019 dan memang sangat cocok di tengah kondisi keterbatasan lahan dan keterbatasan air," ucapnya.

Pada 2019, bantuan sistem bioflok dikembangkan untuk dua kelompok pembudidaya dan untuk 2020 diberikan ke tiga kelompok pembudidaya

Rai Sumarni menambahkan, berdasarkan hasil evaluasi terhadap kelompok pembudidaya lele tersebut, sebenarnya produksi masih bisa ditingkatkan.

"Rata-rata hasil produksinya itu 2,1 hingga 2,3 ton, padahal masih bisa untuk dikembangkan hingga 2,5 ton. Oleh karena itu, SOP dan SDM pengelola harus lebih optimal dalam menerapkan teknik bioflok," katanya.

Di tengah kondisi pandemi saat ini, ia pun berharap pembudidaya lele bisa lebih inovatif dan membangun jejaring yang lebih luas.

"Di lapangan belum terbentuk wadah yang bisa menghimpun pembenih, sehingga seringkali benih tidak ada ketika dibutuhkan. Termasuk dari sisi pemasaran, karena di saat banyak ikan masuk ke Bali, di sini juga panen. Akibatnya pengepul menunda untuk menyerap produksi pembudidaya lokal," katanya.

Khairul Anwar, petugas pendamping kelompok ikan budidaya dari Kementerian Kelautan Perikanan mengatakan terkait kesulitan pemasaran karena seringkali pembudidaya itu "latah".

"Karena permintaan tinggi, semuanya ingin budidaya lele, sehingga panennya pun bersamaan di suatu daerah. Belum lagi ketika ada pasokan datang dari luar Bali," ucapnya.

Pihaknya juga sering memberikan arahan agar jangan hanya menjual ikan segar, tetapi juga hilirisasi harus diperhatikan. Seperti ada usaha rumah makan, membuat olahan abon lele, intinya harus ada inovasi.

Kabid Perikanan Dinas Pertanian, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangli I Wayan Bagus Wirawan mengatakan para pembudidaya di daerah Danau Batur dalam beberapa pekan terakhir mengalami fenomena "up welling" sehingga menyebabkan ribuan ikan mati mendadak.

Fenomena yang terjadi kali ini merupakan fenomena berulang yang telah terjadi sejak 2011 dan kondisinya semakin meluas. Pada tahun 2017 juga telah dilakukan kajian terhadap persoalan tersebut.

Pihaknya juga telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang menyebabkan seluruh wilayah pesisir Danau Batur terkena dampak. 
 
Kepala Seksi Produksi dan Usaha Budidaya Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Denpasar Ni Made Rai Sumarni dalam penyerapan aspirasi secara virtual yang diselenggarakan anggota DPD Made Mangku Pastika di Denpasar, Kamis (28/7/2021). ANTARA/Rhisma.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021