Vaksinolog sekaligus dokter spesialis penyakit dalam Dirga Sakti Rambe menyatakan bahwa vaksin tetap bisa melindungi tubuh dari serangan COVID-19 atau proteksi vaksin tidak turun, meski kadar antibodi menurun enam bulan setelah vaksinasi.
"Setelah enam bulan betul antibodinya mulai turun, tetapi tetap ada proteksi karena ada sel memori. Kalau kita sampai terpapar virus, antibodinya akan melonjak tinggi, jadi bukan berarti setelah enam bulan tidak ada proteksi sama sekali," katanya dalam Diskusi LKBN ANTARA bertopik 'Kupas tuntas Vaksin COVID-19' yang berlangsung secara virtual dari Jakarta, Kamis.
"Secara absolut kadar antibodi kita mungkin akan turun, tapi kalau sampai terpapar, sel memori akan aktif dan terjadi lonjakan produksi antibodi sehingga diharapkan kalau sampai kena COVID-19 maka kita tidak akan kena COVID-19 yang parah," kata Dirga, yang berpraktik di Rumah Sakit Omni Pulomas Jakarta.
Dirga menjelaskan bahwa kadar antibodi akan meningkat ketika pertama kali mendapat suntikan vaksin, namun selanjutnya akan menurun seiring berjalannya waktu.
Baca juga: Kemenkes: Vaksin yang ada sangat efektif melawan varian Delta
Kendati demikian, ia melanjutkan, orang yang telah menjalani vaksinasi sel memorinya akan kembali aktif dan kadar antobodinya akan meningkat lagi ketika tertular virus.
Dia juga menegaskan bahwa fokus memperluas cakupan vaksinasi COVID-19 lebih penting dibandingkan memberikan suntikan dosis ketiga vaksin, mengingat Indonesia belum mencapai target untuk memvaksinasi 208 juta penduduknya.
Sebelumnya, sebuah penelitian di China yang diterbitkan di medRxiv menunjukkan bahwa antibodi yang dihasilkan tubuh setelah mendapat suntikan vaksin COVID-19 buatan Sinovac mengalami penurunan dalam enam bulan.
Hasil penelitian itu juga menunjukkan subjek penelitian yang menerima suntikan ketiga vaksin mengalami peningkatan antibodi.
Tidak sebabkan kematian
Dokter Dirga Sakti Rambe juga menegaskan bahwa tidak ada vaksinasi yang menyebabkan kematian, karena fungsi vaksin justru untuk menumbuhkan kekebalan dari COVID-19 atau mencegah seseorang terpapar COVID-19.
"Tidak ada orang yang meninggal karena vaksinasi, karena orang yang meninggal setelah divaksin itu selalu dilaporkan dan ternyata penyebabnya bukan vaksinasi," kata dokter yang sering menangani pasien COVID-19 itu.
Baca juga: Dokter Reisa: Hoaks jadi tantangan utama vaksinasi
Menjawab pertanyaan dalam diskusi itu, ia menjelaskan penyebab kematian seseorang pasca-vaksinasi itu bukan disebabkan vaksin, melainkan dia sudah terpapar COVID-19 sebelum divaksinasi, lalu dia mengalami gejala COVID-19 pasca-vaksinasi, padahal sebelumnya OTG (orang tanpa gejala).
"Jadi, orang itu sudah terpapar COVID-19 duluan, tapi karena gejala COVID-19 itu tidak terlihat, maka dia merasa aman, lalu mengikuti vaksinasi dan setelah beberapa hari meninggal dunia. Ada juga yang meninggal pasca-vaksinasi karena disebabkan penyakit lain, bukan COVID-19," katanya.
Menurut dia, protokol kesehatan seperti masker, jaga jarak dalam kerumunan, dan mencuci tangan dengan sabun itu memang penting dalam mencegah paparan COVID-19, namun vaksinasi juga penting, karena vaksin merupakan zat yang menghasilkan kekebalan terhadap penyakit.
"Jadi, cara kerja vaksin itu membentuk kekebalan dalam diri seseorang bila ada penyakit. Vaksinasi itu juga sudah berlangsung puluhan dan bahkan ratusan tahun, seperti untuk hepatitis, campak, dan sebagainya. Hasilnya, hampir 100 persen atau mayoritas orang aman setelah vaksinasi," katanya.
Baca juga: Kemenkes: Stok terbatas pengaruhi pemerataan distribusi vaksin
Khusus vaksin COVID-19, ia mengatakan saat ini sudah tercatat ada 15 merek, namun cara kerja semua merek vaksin itu sama, kecuali proses pembuatannya, ada yang menggunakan cara lama seperti Sinovan dan Sinopharm, tapi ada yang menggunakan cara baru seperti AstraZeneca. Cara lama itu merujuk pada SARS, MERS, dan rumpun Corona yang pernah ada.
"Tapi, vaksin merek apapun itu sama-sama efektif. Kalau pun ada yang terpapar COVID-19 tidak akan berat, apalagi sampai meninggal dunia. Vaksin memang bukan solusi 100 persen, tapi kita tidak akan mengalami paparan yang berat bila sudah divaksin, asalkan belum kena COVID-19 sebelum vaksinasi," katanya.
Di Amerika itu, kasus baru sudah turun dan kasus kematian juga sudah turun, karena herd immunity sudah terbentuk, namun mereka tetap pakai protokol kesehatan. "Di Indonesia, vaksinasi masih sekitar 9-22 persen, karena stok terbatas dan langsung berhadapan dengan varian-varian baru, jadi kita memang terkendala dengan stok dan waktu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
"Setelah enam bulan betul antibodinya mulai turun, tetapi tetap ada proteksi karena ada sel memori. Kalau kita sampai terpapar virus, antibodinya akan melonjak tinggi, jadi bukan berarti setelah enam bulan tidak ada proteksi sama sekali," katanya dalam Diskusi LKBN ANTARA bertopik 'Kupas tuntas Vaksin COVID-19' yang berlangsung secara virtual dari Jakarta, Kamis.
"Secara absolut kadar antibodi kita mungkin akan turun, tapi kalau sampai terpapar, sel memori akan aktif dan terjadi lonjakan produksi antibodi sehingga diharapkan kalau sampai kena COVID-19 maka kita tidak akan kena COVID-19 yang parah," kata Dirga, yang berpraktik di Rumah Sakit Omni Pulomas Jakarta.
Dirga menjelaskan bahwa kadar antibodi akan meningkat ketika pertama kali mendapat suntikan vaksin, namun selanjutnya akan menurun seiring berjalannya waktu.
Baca juga: Kemenkes: Vaksin yang ada sangat efektif melawan varian Delta
Kendati demikian, ia melanjutkan, orang yang telah menjalani vaksinasi sel memorinya akan kembali aktif dan kadar antobodinya akan meningkat lagi ketika tertular virus.
Dia juga menegaskan bahwa fokus memperluas cakupan vaksinasi COVID-19 lebih penting dibandingkan memberikan suntikan dosis ketiga vaksin, mengingat Indonesia belum mencapai target untuk memvaksinasi 208 juta penduduknya.
Sebelumnya, sebuah penelitian di China yang diterbitkan di medRxiv menunjukkan bahwa antibodi yang dihasilkan tubuh setelah mendapat suntikan vaksin COVID-19 buatan Sinovac mengalami penurunan dalam enam bulan.
Hasil penelitian itu juga menunjukkan subjek penelitian yang menerima suntikan ketiga vaksin mengalami peningkatan antibodi.
Tidak sebabkan kematian
Dokter Dirga Sakti Rambe juga menegaskan bahwa tidak ada vaksinasi yang menyebabkan kematian, karena fungsi vaksin justru untuk menumbuhkan kekebalan dari COVID-19 atau mencegah seseorang terpapar COVID-19.
"Tidak ada orang yang meninggal karena vaksinasi, karena orang yang meninggal setelah divaksin itu selalu dilaporkan dan ternyata penyebabnya bukan vaksinasi," kata dokter yang sering menangani pasien COVID-19 itu.
Baca juga: Dokter Reisa: Hoaks jadi tantangan utama vaksinasi
Menjawab pertanyaan dalam diskusi itu, ia menjelaskan penyebab kematian seseorang pasca-vaksinasi itu bukan disebabkan vaksin, melainkan dia sudah terpapar COVID-19 sebelum divaksinasi, lalu dia mengalami gejala COVID-19 pasca-vaksinasi, padahal sebelumnya OTG (orang tanpa gejala).
"Jadi, orang itu sudah terpapar COVID-19 duluan, tapi karena gejala COVID-19 itu tidak terlihat, maka dia merasa aman, lalu mengikuti vaksinasi dan setelah beberapa hari meninggal dunia. Ada juga yang meninggal pasca-vaksinasi karena disebabkan penyakit lain, bukan COVID-19," katanya.
Menurut dia, protokol kesehatan seperti masker, jaga jarak dalam kerumunan, dan mencuci tangan dengan sabun itu memang penting dalam mencegah paparan COVID-19, namun vaksinasi juga penting, karena vaksin merupakan zat yang menghasilkan kekebalan terhadap penyakit.
"Jadi, cara kerja vaksin itu membentuk kekebalan dalam diri seseorang bila ada penyakit. Vaksinasi itu juga sudah berlangsung puluhan dan bahkan ratusan tahun, seperti untuk hepatitis, campak, dan sebagainya. Hasilnya, hampir 100 persen atau mayoritas orang aman setelah vaksinasi," katanya.
Baca juga: Kemenkes: Stok terbatas pengaruhi pemerataan distribusi vaksin
Khusus vaksin COVID-19, ia mengatakan saat ini sudah tercatat ada 15 merek, namun cara kerja semua merek vaksin itu sama, kecuali proses pembuatannya, ada yang menggunakan cara lama seperti Sinovan dan Sinopharm, tapi ada yang menggunakan cara baru seperti AstraZeneca. Cara lama itu merujuk pada SARS, MERS, dan rumpun Corona yang pernah ada.
"Tapi, vaksin merek apapun itu sama-sama efektif. Kalau pun ada yang terpapar COVID-19 tidak akan berat, apalagi sampai meninggal dunia. Vaksin memang bukan solusi 100 persen, tapi kita tidak akan mengalami paparan yang berat bila sudah divaksin, asalkan belum kena COVID-19 sebelum vaksinasi," katanya.
Di Amerika itu, kasus baru sudah turun dan kasus kematian juga sudah turun, karena herd immunity sudah terbentuk, namun mereka tetap pakai protokol kesehatan. "Di Indonesia, vaksinasi masih sekitar 9-22 persen, karena stok terbatas dan langsung berhadapan dengan varian-varian baru, jadi kita memang terkendala dengan stok dan waktu," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021