Tulungagung, 16/6 (ANTARA) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menegaskan bahwa otonomi daerah yang diterapkan pemerintah pusat telah mendorong terjadinya desentralisasi korupsi, sehingga otonomi daerah menjadi identik dengan desentralisasi korupsi.
"Sangat disayangkan, korupsi sekarang tidak lagi terpusat, tetapi ada dimana-mana," katanya saat memberikan ceramah ilmiah dalam acara "Haflah Akhirussanah" di Pondok Pesantren Mlaten, Kecamatan Kauman, Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu.
Di hadapan ratusan santri-santriwati dan undangan tersebut, Mahfud menyampaikan, bila kedua persoalan penegakkan hukum serta pemberantasan korupsi masih stagnan, maka kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial tidak akan pernah benar-benar terwujud.
Meski dalam agenda reformasi 1998 berhasil menggulingkan rezim Orde Baru yang dinilai parah dalam soal korupsi, namun bukan berarti saat ini Indonesia berhasil menuntaskan atau bersih dari korupsi, namun justru saat ini bisa dikatakan lebih parah.
"Di masa Orde Baru korupsi dilakukan setelah kebijakan dan realisasi anggaran berjalan, namun saat ini sejak perundang-undangan atau kebijakan pemerintah dibahas sudah menimbulkan korupsi, dan saat pelaksanaan, tentu bisa dibayangkan, seperti apa dalam realisasinya, tinggal berapa anggaran yang sampai pada sasaran," terang Mahfud.
Namun, sampai saat ini pemberantasan korupsi masih terus diupayakan. Persoalan justru muncul dari para penegak hukum itu sendiri yang sampai saat ini masih didominasi orang-orang lama yang menjabat sejak masa Orde Baru.
Akibatnya, tiap kali ada upaya penindakan kasus korupsi, aparat penyidik justru balik diteror oleh mereka yang hendak ditindak.
Mahfudz menyimpulkan, otonomi daerah yang seharusnya menjadi jembatan menuju desentralisasi pembangunan ternyata justru membuka peluang besar bagi terjadinya korupsi di daerah-daerah.
Sinyalemen itu, kata Mahfud, merujuk pada jumlah kasus korupsi yang sampai saat ini tercatat melibatkan 240 lebih kepala daerah di seluruh Indonesia.
"Kalau pada era orde baru yang korupsi hanya orang-orang tertentu, tapi sekarang seolah semua bisa korupsi," ujarnya.(*/M038/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
"Sangat disayangkan, korupsi sekarang tidak lagi terpusat, tetapi ada dimana-mana," katanya saat memberikan ceramah ilmiah dalam acara "Haflah Akhirussanah" di Pondok Pesantren Mlaten, Kecamatan Kauman, Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu.
Di hadapan ratusan santri-santriwati dan undangan tersebut, Mahfud menyampaikan, bila kedua persoalan penegakkan hukum serta pemberantasan korupsi masih stagnan, maka kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial tidak akan pernah benar-benar terwujud.
Meski dalam agenda reformasi 1998 berhasil menggulingkan rezim Orde Baru yang dinilai parah dalam soal korupsi, namun bukan berarti saat ini Indonesia berhasil menuntaskan atau bersih dari korupsi, namun justru saat ini bisa dikatakan lebih parah.
"Di masa Orde Baru korupsi dilakukan setelah kebijakan dan realisasi anggaran berjalan, namun saat ini sejak perundang-undangan atau kebijakan pemerintah dibahas sudah menimbulkan korupsi, dan saat pelaksanaan, tentu bisa dibayangkan, seperti apa dalam realisasinya, tinggal berapa anggaran yang sampai pada sasaran," terang Mahfud.
Namun, sampai saat ini pemberantasan korupsi masih terus diupayakan. Persoalan justru muncul dari para penegak hukum itu sendiri yang sampai saat ini masih didominasi orang-orang lama yang menjabat sejak masa Orde Baru.
Akibatnya, tiap kali ada upaya penindakan kasus korupsi, aparat penyidik justru balik diteror oleh mereka yang hendak ditindak.
Mahfudz menyimpulkan, otonomi daerah yang seharusnya menjadi jembatan menuju desentralisasi pembangunan ternyata justru membuka peluang besar bagi terjadinya korupsi di daerah-daerah.
Sinyalemen itu, kata Mahfud, merujuk pada jumlah kasus korupsi yang sampai saat ini tercatat melibatkan 240 lebih kepala daerah di seluruh Indonesia.
"Kalau pada era orde baru yang korupsi hanya orang-orang tertentu, tapi sekarang seolah semua bisa korupsi," ujarnya.(*/M038/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012