Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - "Tumpek wayang", hari baik dalam kelender Bali untuk melaksanakan kegiatan ritual, bermakna menghormati wayang kulit agar tetap mempunyai "Taksu" (kharisma), sesuai watak dalam pementasan.
Dalang wayang kulit di Bali pada hari baik itu wajib melaksanakan upacara dengan menghaturkan bebantenan (rangkaian janur), ibarat memperingati hari kelahiran yang dilakukan setiap 210 hari sekali.
I Gusti Ngurah Ketut Sudiarta (64), seniman dalang wayang kulit, kelahiran Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, 21 km barat laut Kota Denpasar, senantiasa mendapat pesanan pentas, dalam kaitan untuk kelengkapan pelaksanaan upacara keagamaan umat Hindu.
Kehidupan sosok pria sederhana itu tidak bisa dipisahkan dengan seni, khususnya, dalang, gender dan wayang kulit yang digelutinya sejak usia remaja.
Suami dari Ni Gusti Ayu Supari itu memiliki keahlian khusus memainkan wayang maupun instrumen gender yang mengiringi pementasan wayang kulit.
Keahlian yang dimilikinya itu belajar dari sejumlah guru, termasuk orang tuanya sendiri almarhum I Gusti Made Runden yang juga seorang seniman dalang.
Keterampilan sebagai dalang wayang kulit yang diwarisi dari orang tuanya itu mengantarkan dirinya mampu pentas menghibur masyarakat di berbagai desa di wilayah Kabupaten Tabanan, daerah gudang beras di Bali sejak tahun 1971, atau saat menginjak usia 23 tahun.
Seniman dalang wayang kulit yang digelutinya selama 41 tahun hingga sekarang itu pernah meraih prestasi gemilang, yakni sebagai juara III Festival Dalang se Bali 1985 dan juara II dalam kegiatan serupa tahun 1995.
Ayah dari I Gusti Ngurah Dwi Putra Yadnya dan I Gusti Ngurah Agung Nancana Putra itu juga pernah tampil dalam pementasan di Jakarta selatan untuk melengkapi pelaksanaan kegiatan ritual yang digelar umat Hindu setempat pada tahun 1987.
Selain itu juga pernah pentas ke Lampung Tengah untuk memenuhi undangan dari masyarakat setempat yang tengah menggelar kegiatan ritual berskala besar serta melakukan pementasan di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 1990.
Ngayah
Ngurah Sudiarta, sosok pria yang akrab disapa Jero Dalang itu kini masuk nominasi salah seorang seniman berprestasi, mempunyai dedikasi dan pengabdian yang tinggi terhadap pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali untuk meraih penghargaan pengabdi seni dalam kaitan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXIV tahun 2012.
Menurut I Wayan Dauh, kasi perfilman dan perizin pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sekaligus panitia PKB, satu tim yang dibentuk pemerintah Provinsi Bali melakukan seleksi terhadap seniman berprestasi dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali untuk mendapat penghargaan pengabdi seni.
Tim yang yang beranggotakan utusan dari instansi terkait dalam bidang seni dan budaya melakukan seleksi secara ketat terhadap usulan dari delapan kabupaten dan satu kota di daerah ini.
Tim menyeleksi mana-nama yang dikirim oleh masing-masing kabupaten/kota, didasarkan atas prestasi, dedikasi, dan pengalaman dalam memajukan seni budaya di Bali, khususnya di daerah masing-masing, tutur Wayan Dauh.
Pemprov Bali selama 33 tahun pelaksanaan PKB telah memberikan penghargaan kepada 381 seniman, termasuk sembilan orang yang akan diberikan dalam pelaksanaan PKB kali ini, tutur Wayan Dauh.
Sosok Ngurah Sudiarta dalam pengabdian terhadap pengembagan seni budaya Bali tidak diragukan, karena sejak usia 18 tahun setelah mematangkan kemampuannya tampil sebagai dalang wayang kulit melakukan pementasan hingga sekarang, sehingga memiliki pengalaman pentas yang sangat banyak.
Proses berkesenian yang digeluti pria yang tampak sehat bugar pada usia senja itu erat kaitan dengan bekerja secara iklas (ngayah) di sejumlah desa adat maupun pura saat berlangsungnya kegiatan ritual.
Sosok pria sederhana itu mengaku, menekuni profesi dalang wayang kulit sebagai kegiatan sosial untuk membantu sesama warga dalam menyukseskan pelaksanaan kegiataan ritual.
Pria yang sepenuhnya mengabdikan diri dalam bidang seni itu, dengan senang hati membina dan melatih anak-anak muda atau siapa saja yang berminat menjadi dalang untuk mengikuti jejaknya.
Ia dengan senang hati mendidik, melatih dan memberikan ilmu serta pengalaman yang dimiliki kepada anak binaannya, termasuk kedua putra dengan harapan mampu mewarisi dan melanjutkan upaya pengembangan dan pelestarian seni budaya Bali.
Salah seorang anak binaannya mulai melakukan pementasan di hadapan penonton dan ikut ambil bagian dalam lomba kreatif siswa tingkat Kabupaten Tabanan, berhasil keluar sebagai juara pertama pada tahun 2010.
Anak binaannya itu tidak terbatas dari wilayah Desa Kukuh, Marga, namun juga datang dari sejumlah desa yang ada di Kabupaten Tabanan. Belajar memainkan wayang menurut pria yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) itu diperlukan semangat dan kesabaran, penguasaan seni sastra dan piawai menarikan wayang.
Selain itu harus bisa membaca situasi dan kondisi di masyarakat saat melakukan pementasan. Kemampuan membaca situasi itu menjadi modal dalam memperkaya materi bahan yang dikemas dalam pementasan, sehingga mampu menarik perhatian penonton untuk menyaksikan hingga pementasan berakhir yang berlangsung sekitar tiga jam.(IGT/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
Denpasar (Antara Bali) - "Tumpek wayang", hari baik dalam kelender Bali untuk melaksanakan kegiatan ritual, bermakna menghormati wayang kulit agar tetap mempunyai "Taksu" (kharisma), sesuai watak dalam pementasan.
Dalang wayang kulit di Bali pada hari baik itu wajib melaksanakan upacara dengan menghaturkan bebantenan (rangkaian janur), ibarat memperingati hari kelahiran yang dilakukan setiap 210 hari sekali.
I Gusti Ngurah Ketut Sudiarta (64), seniman dalang wayang kulit, kelahiran Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, 21 km barat laut Kota Denpasar, senantiasa mendapat pesanan pentas, dalam kaitan untuk kelengkapan pelaksanaan upacara keagamaan umat Hindu.
Kehidupan sosok pria sederhana itu tidak bisa dipisahkan dengan seni, khususnya, dalang, gender dan wayang kulit yang digelutinya sejak usia remaja.
Suami dari Ni Gusti Ayu Supari itu memiliki keahlian khusus memainkan wayang maupun instrumen gender yang mengiringi pementasan wayang kulit.
Keahlian yang dimilikinya itu belajar dari sejumlah guru, termasuk orang tuanya sendiri almarhum I Gusti Made Runden yang juga seorang seniman dalang.
Keterampilan sebagai dalang wayang kulit yang diwarisi dari orang tuanya itu mengantarkan dirinya mampu pentas menghibur masyarakat di berbagai desa di wilayah Kabupaten Tabanan, daerah gudang beras di Bali sejak tahun 1971, atau saat menginjak usia 23 tahun.
Seniman dalang wayang kulit yang digelutinya selama 41 tahun hingga sekarang itu pernah meraih prestasi gemilang, yakni sebagai juara III Festival Dalang se Bali 1985 dan juara II dalam kegiatan serupa tahun 1995.
Ayah dari I Gusti Ngurah Dwi Putra Yadnya dan I Gusti Ngurah Agung Nancana Putra itu juga pernah tampil dalam pementasan di Jakarta selatan untuk melengkapi pelaksanaan kegiatan ritual yang digelar umat Hindu setempat pada tahun 1987.
Selain itu juga pernah pentas ke Lampung Tengah untuk memenuhi undangan dari masyarakat setempat yang tengah menggelar kegiatan ritual berskala besar serta melakukan pementasan di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 1990.
Ngayah
Ngurah Sudiarta, sosok pria yang akrab disapa Jero Dalang itu kini masuk nominasi salah seorang seniman berprestasi, mempunyai dedikasi dan pengabdian yang tinggi terhadap pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali untuk meraih penghargaan pengabdi seni dalam kaitan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXIV tahun 2012.
Menurut I Wayan Dauh, kasi perfilman dan perizin pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sekaligus panitia PKB, satu tim yang dibentuk pemerintah Provinsi Bali melakukan seleksi terhadap seniman berprestasi dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali untuk mendapat penghargaan pengabdi seni.
Tim yang yang beranggotakan utusan dari instansi terkait dalam bidang seni dan budaya melakukan seleksi secara ketat terhadap usulan dari delapan kabupaten dan satu kota di daerah ini.
Tim menyeleksi mana-nama yang dikirim oleh masing-masing kabupaten/kota, didasarkan atas prestasi, dedikasi, dan pengalaman dalam memajukan seni budaya di Bali, khususnya di daerah masing-masing, tutur Wayan Dauh.
Pemprov Bali selama 33 tahun pelaksanaan PKB telah memberikan penghargaan kepada 381 seniman, termasuk sembilan orang yang akan diberikan dalam pelaksanaan PKB kali ini, tutur Wayan Dauh.
Sosok Ngurah Sudiarta dalam pengabdian terhadap pengembagan seni budaya Bali tidak diragukan, karena sejak usia 18 tahun setelah mematangkan kemampuannya tampil sebagai dalang wayang kulit melakukan pementasan hingga sekarang, sehingga memiliki pengalaman pentas yang sangat banyak.
Proses berkesenian yang digeluti pria yang tampak sehat bugar pada usia senja itu erat kaitan dengan bekerja secara iklas (ngayah) di sejumlah desa adat maupun pura saat berlangsungnya kegiatan ritual.
Sosok pria sederhana itu mengaku, menekuni profesi dalang wayang kulit sebagai kegiatan sosial untuk membantu sesama warga dalam menyukseskan pelaksanaan kegiataan ritual.
Pria yang sepenuhnya mengabdikan diri dalam bidang seni itu, dengan senang hati membina dan melatih anak-anak muda atau siapa saja yang berminat menjadi dalang untuk mengikuti jejaknya.
Ia dengan senang hati mendidik, melatih dan memberikan ilmu serta pengalaman yang dimiliki kepada anak binaannya, termasuk kedua putra dengan harapan mampu mewarisi dan melanjutkan upaya pengembangan dan pelestarian seni budaya Bali.
Salah seorang anak binaannya mulai melakukan pementasan di hadapan penonton dan ikut ambil bagian dalam lomba kreatif siswa tingkat Kabupaten Tabanan, berhasil keluar sebagai juara pertama pada tahun 2010.
Anak binaannya itu tidak terbatas dari wilayah Desa Kukuh, Marga, namun juga datang dari sejumlah desa yang ada di Kabupaten Tabanan. Belajar memainkan wayang menurut pria yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) itu diperlukan semangat dan kesabaran, penguasaan seni sastra dan piawai menarikan wayang.
Selain itu harus bisa membaca situasi dan kondisi di masyarakat saat melakukan pementasan. Kemampuan membaca situasi itu menjadi modal dalam memperkaya materi bahan yang dikemas dalam pementasan, sehingga mampu menarik perhatian penonton untuk menyaksikan hingga pementasan berakhir yang berlangsung sekitar tiga jam.(IGT/T007)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012