Psikolog lulusan Magister Psikologi Terapan Universitas Indonesia Diah A. Witasari mengatakan penting bagi orang tua yang mulai bekerja dari rumah semasa pandemi untuk melihat peluang menjalin kedekatan dengan anaknya yang menyandang autisme.
"Isu yang terjadi sebelum dan setelah pandemi kurang lebih sama, tapi kadarnya bisa terasa lebih besar atau berat. Rather than bicara soal dampak negatif, orang tua bisa melihat peluang positif dari ini (pandemi)," kata Diah melalui siaran Instagram Live bersama Tentang Anak dan Yayasan MPATI dikutip pada Kamis.
"Hal positif yang saya alami dan data dari Yayasan MPATI adalah bagaimana orang tua bisa lebih mengenal dan memahami anaknya, kita lebih masuk ke dunia anak-anak kita," ujarnya menambahkan.
Baca juga: Pusat Layanan Autis Bali inginkan ada kesetaraan bagi anak autis
Lebih lanjut, Diah mengatakan bahwa anak autisme yang sebelum pandemi mungkin lebih dekat dan patuh dengan guru dan terapisnya, kini bisa menjadi lebih nyaman dan dekat dengan kedua orang tuanya yang kebanyakan bekerja dari rumah semasa pandemi. Hal itu kemudian akan mempermudah manajemen orang tua akan aktivitas dan tumbuh kembang anak.
"Dengan hubungan yang kian membaik, dampak positifnya ke arah yang lebih manageable. Beberapa hal yang saya amati, misalnya latihan kemandirian. Memang tidak instan, butuh proses," kata Diah.
"Kita sebagai orang tua juga punya waktu untuk evaluasi ulang di rumah. Kita bisa melihat tumbuh kembang dan kebutuhan anak. Anak diberikan ruang sehingga kemandiriannya lebih terlihat pesat," ujarnya menambahkan.
Tantangan lain di kala pandemi yang terasa adalah soal sosio-emosional anak autisme. Masa pandemi membuat kegiatan di sekolah atau sesi terapi harus melakukan sejumlah pembatasan dan penyesuaian, pun dengan anak dan orang tua.
Cara yang direkomendasikan oleh Diah yang juga merupakan seorang ibu dari putra berkebutuhan khusus adalah bagaimana orang tua mau melibatkan anaknya ke dalam aktivitas yang sekiranya bisa memberikan stimulasi positif, seperti bermain, merapikan barang bersama, hingga membuat kue bersama.
Baca juga: Pentas seni Anak Autis Kota Denpasar meriahkan Hari Peduli Autis Sedunia
Selanjutnya, orang tua juga perlu memperhatikan sisi emosional anak. Jangan sampai ketika anak mengalami tantrum atau ledakan emosi, malah melukai diri sendiri dan orang lain.
"Perkembangan mereka naik-turun. Yang paling dikhawatirkan, ketika mereka tantrum dan melukai diri sendiri, orang tua, dan orang lain. Ini perlu diantisipasi sebagai orang tua. Bagaimana caranya kita bisa antisipasi ketika emosinya tidak stabil, tapi lingkungan bisa siap," kata Diah.
Lebih lanjut, salah satu hal yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah membuat sebuah "ruang" bagi anak untuk melepaskan emosi tersebut dengan aman.
"Orang tua bisa bikin pojok buat dia relaxing dirinya. Pastikan tidak membahayakan. Anak memang perlu untuk release itu (emosi). Kita bisa menciptakan 'ruang' tersebut, bentuknya mungkin tidak harus kamar, tapi bisa dengan karpet yang seakan menjadi 'ruang' sendiri untuk anak, dan pastikan tidak ada barang-barang yang membahayakan untuknya," pungkas dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
"Isu yang terjadi sebelum dan setelah pandemi kurang lebih sama, tapi kadarnya bisa terasa lebih besar atau berat. Rather than bicara soal dampak negatif, orang tua bisa melihat peluang positif dari ini (pandemi)," kata Diah melalui siaran Instagram Live bersama Tentang Anak dan Yayasan MPATI dikutip pada Kamis.
"Hal positif yang saya alami dan data dari Yayasan MPATI adalah bagaimana orang tua bisa lebih mengenal dan memahami anaknya, kita lebih masuk ke dunia anak-anak kita," ujarnya menambahkan.
Baca juga: Pusat Layanan Autis Bali inginkan ada kesetaraan bagi anak autis
Lebih lanjut, Diah mengatakan bahwa anak autisme yang sebelum pandemi mungkin lebih dekat dan patuh dengan guru dan terapisnya, kini bisa menjadi lebih nyaman dan dekat dengan kedua orang tuanya yang kebanyakan bekerja dari rumah semasa pandemi. Hal itu kemudian akan mempermudah manajemen orang tua akan aktivitas dan tumbuh kembang anak.
"Dengan hubungan yang kian membaik, dampak positifnya ke arah yang lebih manageable. Beberapa hal yang saya amati, misalnya latihan kemandirian. Memang tidak instan, butuh proses," kata Diah.
"Kita sebagai orang tua juga punya waktu untuk evaluasi ulang di rumah. Kita bisa melihat tumbuh kembang dan kebutuhan anak. Anak diberikan ruang sehingga kemandiriannya lebih terlihat pesat," ujarnya menambahkan.
Tantangan lain di kala pandemi yang terasa adalah soal sosio-emosional anak autisme. Masa pandemi membuat kegiatan di sekolah atau sesi terapi harus melakukan sejumlah pembatasan dan penyesuaian, pun dengan anak dan orang tua.
Cara yang direkomendasikan oleh Diah yang juga merupakan seorang ibu dari putra berkebutuhan khusus adalah bagaimana orang tua mau melibatkan anaknya ke dalam aktivitas yang sekiranya bisa memberikan stimulasi positif, seperti bermain, merapikan barang bersama, hingga membuat kue bersama.
Baca juga: Pentas seni Anak Autis Kota Denpasar meriahkan Hari Peduli Autis Sedunia
Selanjutnya, orang tua juga perlu memperhatikan sisi emosional anak. Jangan sampai ketika anak mengalami tantrum atau ledakan emosi, malah melukai diri sendiri dan orang lain.
"Perkembangan mereka naik-turun. Yang paling dikhawatirkan, ketika mereka tantrum dan melukai diri sendiri, orang tua, dan orang lain. Ini perlu diantisipasi sebagai orang tua. Bagaimana caranya kita bisa antisipasi ketika emosinya tidak stabil, tapi lingkungan bisa siap," kata Diah.
Lebih lanjut, salah satu hal yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah membuat sebuah "ruang" bagi anak untuk melepaskan emosi tersebut dengan aman.
"Orang tua bisa bikin pojok buat dia relaxing dirinya. Pastikan tidak membahayakan. Anak memang perlu untuk release itu (emosi). Kita bisa menciptakan 'ruang' tersebut, bentuknya mungkin tidak harus kamar, tapi bisa dengan karpet yang seakan menjadi 'ruang' sendiri untuk anak, dan pastikan tidak ada barang-barang yang membahayakan untuknya," pungkas dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021