Jakarta (Antara Bali) - Pemberian grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Schapelle Corby, warga negara Australia yang menjalani hukuman di Lapas Kelas II A Denpasar di Kerobokan, berpotensi melanggar sumpah Presiden untuk menjalankan undang-undang.

"Pemberian grasi kepada Corby berpotensi melanggar sumpah Presiden untuk menjalankan Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya selurus-lurusnya," kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana di Jakarta, Senin.

Menurut dia, sejak 1997 Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988 dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.

"Dalam konvensi yang melabel kejahatan perdagangan obat, narkotika dan bahan psikotropika sebagai kejahatan serius menentukan dalam pasal 3 ayat 6 bahwa pemerintah harus memastikan pengenaan sanksi yang maksimum," kata Hikmahanto.

Ia mengemukakan, pada pasal 3 ayat 7 diwanti-wanti bahwa narapidana jenis kejahatan ini bila hendak dibebaskan lebih awal, semisal melalui grasi, atau pembebasan bersyarat, harus mempertimbangkan bahwa kejahatan perdagangan narkoba merupakan kejahatan serius.

"Menjadi pertanyaan, apakah Presiden ketika mengabulkan grasi kepada Corby telah memperhatikan undang-undang tersebut. Bila memang sudah, apakah ada kepentingan yang lebih besar dari Indonesia kepada Australia sehingga pemberian grasi dianggap sepadan dengan kepentingan nasional," kata Hikmahanto.(*/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012