Oleh Zita Meirina

Jakarta (Antara Bali) - Julukan Bali sebagai "best destination in the world", tidak cukup memanjakan wisatawan dengan banyak pilihan wisata, namun semakin lengkap dengan wisata Spa yang tidak hanya digemari wisatawan domestik namun mampu menjadi candu wisatawan mancanegara.

Peluang bisnis Spa untuk kawasan Asia, saat ini bila dilihat dari negara yang memiliki pertumbuhan baik, adalah Indonesia, China, dan India.

Pertumbuhan Spa di Indonesia pada tahun 2010 mencapai tujuh persen, India (11-12 persen), dan China (9 persen).

Indonesia mengalami pertumbuhan Spa yang menarik karena memiliki sejarah Spa yang panjang, dapat ditelurusi melalui relief Candi Borobudur terpahat aktivitas Spa, artinya nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal Spa sejak 1.000 tahun lalu.

Spa telah berkembang menjadi industri yang sangat menjanjikan seiring dengan berkembangnya bisnis pariwisata dan industri Spa telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat dunia.

Industri Spa tumbuh pesat dan menopang pariwisata, baik di hotel berbintang maupun kawasan objek wisata.

Bali menjadi salah satu destinasi wisata utama Spa dengan beragam jenis pusat spa dan perawatan kesehatan yang telah berkembang sejak lama dan tidak ditemukan di negara lainnya.

Pilihan fasilitas Spa mulai sederhana dengan struktur kayu hingga resort spa internasional, serta Spa yang mengangkat produk herbal seperti rempah-rempah serta teknik spa lokal warisan tradisi leluhur.

Kehadiran ratusan bahkan sudah mencapai ribuan spa di Bali dengan berbagai fasilitas dan layanan ternyata kerap tidak ditunjang oleh tenaga spa terapis yang berpengalaman mengusai teknik pijat dan layanan spa.

Seperti disampaikan Jeni Widiyah, pengelola Padmastana Spa Training Center, saat ini bisnis spa berkembang pesat di Bali mulai dari layanan sederhana hingga resort-resort mewah yang memposisikan diri sebagai resort spa.

"Spa saat ini bukan sekedar tren, tapi telah menjadi kebutuhan sehari-hari karena semakin tingginya tuntutan pekerjaan yang berpeluang meningkatkan stres seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kebutuhan relaksasinya. Gaya hidup dan faktor lain seperti meningkatnya kesibukan kerja membuat tingkat stres ikut pula meningkat," katanya.

Jumlah Spa di Bali setiap tahun semakin bertambah banyak meski belum ada angka pasti yang disampaikan pemerintah provinsi.

Hal ini juga didukung oleh potensi pariwisata di Bali, kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara yang tak pernah sepi, membuat spa di Bali berpeluang sebagai tujuan pelayanan spa tingkat dunia.

Namun demikian, menurut Jeni semakin meningkatnya jumlah spa, membuat kebutuhan akan sumber daya manusia yang profesional juga meningkat mulai dari level terapis, supervisor dan manager.

"Sumber daya manusia yang terampil dan profesional menjadi faktor paling penting dalam menghadapi persaingan di bisnis spa. Kebutuhan akan tenaga kerja bidang spa terapis akan meningkat sebab pengusaha tidak mau asal-asalan merekrut tenaga kerja yang tidak memiliki kompetensi dalam bidangnya," katanya.

Sudah menjadi persyaratan kalau mau bekerja sebagai spa terapis, maka harus mengantongi sertifikat terlebih dahulu dan tentunya harus diterbitkan oleh lembaga yang kompetensinya diakui oleh pemerintah provinisi.      

Jeni mengaku memang biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit. "Soal mahal atau tidaknya itu relatif. Apakah Rp2 juta, Rp4juta bahkan Rp8 juta dianggap mahal bila keterampilan yang didapatnya sudah lengkap, melalui modul-mudul yang diajarkan di lembaga kursus".

Selain keterampilan yang diperoleh, peserta juga mendapat pengetahuan meramu berbagai jenis lulur sehingga ketika peserta menyelesaikan kursusnya, maka ia bisa membuka usaha sendiri bila memang memiliki modal cukup.

"Kalau pun belum dapat membuka usaha sendiri, lulusan kursus spa terapis biasanya sudah dipesan bahkan menjadi rebutan para pengusaha spa yang tersebar di daerah wisata di Bali sehingga dapat dikatakan tenaga spa terapist mudah mendapatkan pekerjaan," katanya.

Namun demikian, Jeni tidak membantah peluang bisnis spa kerapkali dimanfaatkan untuk meraup keuntungan pribadi sehingga banyak usaha spa yang mengabaikan faktor keterampilan para terapisnya.

"Treatment spa antara lain untuk kecantikan kulit tubuh, kulit muka, rambut, punggung hingga kaki. Sedangkan untuk pijat ada beberapa jenis antara lain Balinese massage, hot stone massage, dan Thai herbal balls therapy".

Terapis harus menguasai teknik untuk masing-masing penanganan dan tidak asal-asalan sebab bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi konsumen dan lebih parah lagi bila konsumen sampai cedera sehingga dibutuhkan pengetahuan yang cukup untuk bisa menjadi spa terpis profesional.

Karena itu, pemerintah provinsi bersama asosiasi spa menerapkan ketentuan bahwa usaha spa harus memiliki terapist bersertifikasi dan diterbitkan oleh lembaga yang sudah mendapatkan izin menyelenggarakan uji sertifikasi, katanya.  

"Sertifikasi sangat penting untuk meningkatkan kualitas SDM bidang usaha Spa lokal, lewat kursus, dan workshop sehingga ketrampilan dan wawasan para spa terapis lebih memadai terkait perkembangan dan produk spa," tambah Jeni.

                                                                                           Dukungan
Masyarakat dan pemerintah setempat menyadari betul artinya pentingnya pelayanan bagi daerah bertulang punggung dari bisnis jasa.

Pelayanan maksimal menjadi keharusan yang harus diberikan sehingga penataan dan penertiban usaha wajib dilakukan, termasuk penataan bagi lembaga-lembaga penyelenggara pelatihan bagi terapist spa.

"Disdikpora Provinsi Bali mewajibkan setiap lembaga kursus memiliki nomor induk lembaga kursus (Nilek). Tujuannya selain untuk pendataan agar penyelenggaraan kursus tetap relevan dengan tujuan pendidikan nasional dan mampu memberikan kontribusi terhadap tuntutan masyarakat. Bagi pemerintah sendiri keberadaan kursus terdaftar untuk memudahkan pembinaan berkesinambungan," kata Kepala Bidang PNFI Disdikpora Provinsi Bali I Wayan Sudarsana.

Lembaga pelatihan keterampilan mesti berbadan hukum dan di Bali lembaga kursus yang berkembang disesuaikan dengan kebutuhan lokal, antara lain jenis keterampilan  komputer, tata rias pengantin, tata rias wajah, tata rias rambut, spa, perhotelan, pengolahan makanan, pembuatan pupuk organik dan sebagainya, ujarnya.

Khusus spa, ujarnya dalam beberapa tahun terakhir kebutuhan sumber daya manusia terus meningkat, tidak hanya untuk kebutuhan lokal tetapi juga luar negeri yang banyak tertarik mengembangkan spa gaya timur seperti Bali.

"Untuk itu, kami harus mempersiapkan tenaga-tenaga terampil, profesional dan bersertifikat. Apalagi untuk dikirim ke luar negeri mereka biasanya menetapkan persyaratan lebih ketat" katanya.

Disdikpora setiap tahun memberikan "blockgrant" untuk peningkatan kecakapan hidup utamanya bagi masyarakat tidak mampu bekerja sama dengan lembaga-lembaga kursus dalam bentuk pelatihan gratis sesuai dengan bidang ketrampilan yang diharapkan.    

"Warga masyarakat yang belum memiliki keterampilan bisa bergabung untuk mendapatkan bekal keterampilan atau 'life skill' secara gratis. Dengan bekal keterampilan yang dimiliki, kita berharap warga yang belum bekerja bisa mendapatkan pekerjaan atau bahkan bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.

"Sasaran akhirnya, angka pengangguran bisa diminimalisasi, kesejahteraan masyarakat bisa ditingkatkan," ujarnya.

Persyaratan untuk bisa mendapatkan program ini adalah anggota masyarakat yang belum bekerja alias yang masih menganggur dengan batas usia ditentukan. Masyarakat yang bergabung mengikuti pelatihan keterampilan setelah tamat terus dipantau perkembangannya.

"Program blockgrant ini terutama menyasar pemuda pemudi yang belum bekerja serta berada di wilayah pedesaan atau banjar (dusun) di sejumlah kabupaten dan kota di Bali agar terjadi pemerataan dan bila berhasil akan membawa dampak perbaikan hidup bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Perekrutan warga yang ingin memperoleh bekal keterampilan di salah satu lembaga pelatihan keterampilan melibatkan kepala desa," katanya.

Banyak alumni spa terapist dari program "blockgrant" sudah berhasil meningkatkan hidupnya dengan bekerja di spa dalam skala besar, seperti di hotel berbintang dan resort spa bahkan beberapa di antaranya sudah bekerja di luar negeri.

Gratis tidak berarti kemudian kualitas peserta kursus menjadi asal-asalan. Seperti disampaikan Jeni Widiyah, bahwa Disdikpora Provinsi Bali sudah beberapa tahun menjalin kerja sama dengan lembaganya.

"Mereka benar-benar gratis mengikuti kursus spa hingga memiliki ketrampilan praktik. Kami tidak membeda-bedakan peserta yang membayar dengan peserta gratis, bahkan seringkali anggaran yang diberikan oleh Disdikpora tidak memadai untuk membiayai peserta hasil rekrutan program life skill hingga selesai", katanya.

Tetapi bagi Jeni, kekurangan pembiayaan tersebut tidak menjadi masalah sebab umumnya peserta lulusan dari lembaganya sudah banyak yang dipesan oleh usaha spa level menengah ke atas sebelum mereka selesai mengikuti kursus.

"Mereka biasa akan kembali ke lembaga kami untuk meningkatkan keterampilan spa pada level berikut. Pada kedatangan berikutnya mereka tidak lagi minta gratisan tetapi sudah menggunakan gaji mereka untuk membayar biaya kursus. Bahkan merekomendasikan lembaga kami kepada kawan-kawannya sehingga nyaris peserta kursus tidak pernah kosong," kisah jeni.

Senada dengan Jeni, Pengelola Lembaga Kursus Bahasa Asing Anugerah Denpasar, I Made Ardana Putra mengakui banyak alumni dari penerima "blockgrant" Disdikpora yang kini sudah bekerja di hotel, restoran, resort dan lokasi wisata di Bali bahkan bekerja di Jepang.

"Lulusan kami banyak yang kemudian bekerja di hotel, tempat wisata, resort sebagai 'front office', pelayanan restoran, spa terapist. Kemampuan berbahasa asing utamanya Bahasa Inggris menjadi modal utama untuk mudah diterima bekerja. Apalagi menguasai dua ketrampilan sekaligus, misalnya spa terapist dan bahasa asing. Sumber daya manusia dengan banyak keterampilan umumnya sudah menjadi incaran pengusaha dan biasa dengan gaji yang lumayan.

Putu Lindri (34) spa terapist lulusan Padmastana Training Center mengisahkan bila dirinya sudah bekerja di beberapa usaha spa.

"Awalnya usah spa kecil, kemudian di Kuta saya bekerja di sebuah spa ternama di hotel bintang empat. Gaji yang saya peroleh sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) tetapi tips yang saya peroleh sedikit karena tarif spa di hotel itu sudah tinggi untuk satu layanan minimal 40 dolar AS" ucapnya.

Kemudian Lindri mencoba peruntungan di usaha spa lain yang memasang tarif tidak terlalu tinggi sehingga tamu yang datang umumnya memberikan tips setiap kali selesai.

"Kalau turis asing dari Amerika dan Australia royal, sedangkan Eropa tidak selalu. Untuk Asia turis royal dari Malaysia. Di samping gaji yang sudah lumayan, saya masih mendapat tips   bervariasi setiap harinya, tetapi kalau dikumpulkan dalam sebulan hasilnya lebih besar dari gaji," katanya.

Putu Lindri kini kembali bekerja sebagai terapis di Padmastana Spa.

"Di sini selalu terbuka menerima alumninya. Saya ingin konsentrasi mengurus keluarga, sebab anak-anak sudah mulai besar meminta saya jangan terlalu lelah bekerja. Kalau di Kuta atau daerah wisata lainnya terlalu berat meski penghasilan lumayan" katanya.

Belasan perempuan yang ingin mengadu nasib dari desa-desa di wilayah kering di Bali, setiap hari mendatangi lembaga kursus dan disdikpora provinsi untuk mencari peluang mendapatkan kursus gratis untuk meningkatkan kehidupan menjadi lebih baik.(I020/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012