Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Prof Dr Widodo Muktiyo mengingatkan hoaks atau berita bohong di masa pandemi mengakibatkan banyak hal buruk di masyarakat, khususnya dalam penanganan wabah COVID-19.
Widodo dalam keterangannya pada konferensi pers Satgas COVID-19 yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu, mengatakan hoaks yang tersebar dan dipercayai oleh masyarakat dapat menyebabkan perilaku publik yang tidak menguntungkan.
Baca juga: Menkominfo: pemblokiran hoaks bukan antidemokrasi
Kementerian Kominfo mencatat hoaks terkait virus corona banyak terjadi di awal-awal pandemi yaitu pada Maret 2020 yang berakibat buruk pada perilaku masyarakat.
"Bulan Maret paling banyak hoaks atau berita manipulasi bersebaran. Dampaknya ada 'panic buying', ada efek sosial yang menjadikan masyarakat tidak sekadar khawatir terhadap pandemi COVID-19, tapi perilaku yang tidak sejalan," kata Widodo.
Baca juga: Menkominfo: Informasi vaksin COVID-19 penting cegah hoaks
Hal itu, kata Widodo, disebabkan oleh adanya hoaks yang berpengaruh pada perilaku negatif masyarakat atau yang disebut infodemic.
Menurutnya, di era digital dan banyaknya informasi yang berseliweran di media sosial membuat masyarakat dengan mudah mengakses informasi.
Informasi yang terus berjalan tersebut bisa menjadi "makanan" yang menyehatkan, namun juga bisa menjadi racun berdampak buruk pada psikologis maupun perilaku masyarakat.
Baca juga: Hoaks, Tim medis Indonesia kuburkan jenazah COVID-19 layaknya binatang
Berdasarkan hasil survei, kata Widodo, secara kognitif masyarakat sudah memahami tentang pandemi COVID-19 dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah penularannya. Namun menurutnya, kedisiplinan penerapan protokol kesehatan di masyarakat terkait 3M belum dipatuhi secara benar.
Hal itu dilihatnya dari imbauan pemerintah terkait larangan mudik Lebaran 2020 yang bisa berpotensi menularkan virus dari Ibu Kota ke berbagai daerah di Indonesia.
Hasilnya, kata Widodo, masih banyak warga yang tetap mudik dan menyebabkan penyebaran kasus COVID-19 meluas di Tanah Air.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
Widodo dalam keterangannya pada konferensi pers Satgas COVID-19 yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu, mengatakan hoaks yang tersebar dan dipercayai oleh masyarakat dapat menyebabkan perilaku publik yang tidak menguntungkan.
Baca juga: Menkominfo: pemblokiran hoaks bukan antidemokrasi
Kementerian Kominfo mencatat hoaks terkait virus corona banyak terjadi di awal-awal pandemi yaitu pada Maret 2020 yang berakibat buruk pada perilaku masyarakat.
"Bulan Maret paling banyak hoaks atau berita manipulasi bersebaran. Dampaknya ada 'panic buying', ada efek sosial yang menjadikan masyarakat tidak sekadar khawatir terhadap pandemi COVID-19, tapi perilaku yang tidak sejalan," kata Widodo.
Baca juga: Menkominfo: Informasi vaksin COVID-19 penting cegah hoaks
Hal itu, kata Widodo, disebabkan oleh adanya hoaks yang berpengaruh pada perilaku negatif masyarakat atau yang disebut infodemic.
Menurutnya, di era digital dan banyaknya informasi yang berseliweran di media sosial membuat masyarakat dengan mudah mengakses informasi.
Informasi yang terus berjalan tersebut bisa menjadi "makanan" yang menyehatkan, namun juga bisa menjadi racun berdampak buruk pada psikologis maupun perilaku masyarakat.
Baca juga: Hoaks, Tim medis Indonesia kuburkan jenazah COVID-19 layaknya binatang
Berdasarkan hasil survei, kata Widodo, secara kognitif masyarakat sudah memahami tentang pandemi COVID-19 dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah penularannya. Namun menurutnya, kedisiplinan penerapan protokol kesehatan di masyarakat terkait 3M belum dipatuhi secara benar.
Hal itu dilihatnya dari imbauan pemerintah terkait larangan mudik Lebaran 2020 yang bisa berpotensi menularkan virus dari Ibu Kota ke berbagai daerah di Indonesia.
Hasilnya, kata Widodo, masih banyak warga yang tetap mudik dan menyebabkan penyebaran kasus COVID-19 meluas di Tanah Air.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020