Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan bahwa mereka yang selama ini salah mengartikan antara Islam dan Indonesia itu tidak paham sejarah sehingga perlu dituntun.
Dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, Minggu, HNW mengakui kerukunan dan persatuan yang dicita-citakan seluruh bangsa Indonesia masih kerap terganggu karena ada sebagian masyarakat yang masih terus menyimpan sikap Islamophobia dan Indonesiaphobia.
Hal tersebut disampaikan HNW secara daring pada acara Temu Tokoh Nasional/Kebangsaan, kerja sama MPR RI dengan Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) di Barakah Meeting Point (BMP) Jl. AH Nasution No.185, Yosodadi, Kecamatan Metro Timur, Kota Metro, Provinsi Lampung, Sabtu (14/11).
Baca juga: MPR: Melemahnya toleransi jadi tantangan kebangsaan
Padahal, kata dia, baik Islamophobia maupun Indonesiaphobia, masing-masing berpotensi mencabik kerukunan dan persatuan.
Menurut dia, kriminalisasi yang sering menimpa para ulama adalah salah satu bukti bahwa Islamophobia masih tumbuh subur di Indonesia karena mereka beranggapan bahwa Islam dan Indonesia tidak ada hubungannya.
Mereka juga berkeyakinan bahwa para tokoh umat Islam diuntungkan karena kapasitasnya sebagai kelompok mayoritas, padahal peran dan jasanya tidak sepadan dengan keistimewaan yang dinikmati.
"Ini adalah penilaian yang keliru, lantaran kurang mempelajari sejarah. Akibatnya, mereka tidak mengetahui betapa besar pengorbanan dan keterlibatan ulama serta umat Islam dalam perjuangan Indonesia. Ketidaktahuan terhadap sejarah, serta jasa para ulama pada NKRI harus segera diluruskan agar kebencian itu tidak semakin berbahaya, menjadi bara dalam sekam," kata HNW.
Baca juga: Puan: Pancasila adalah penuntun bangsa hadapi rintangan
Pelurusan, kata HNW, perlu dilakukan juga terhadap umat Islam yang masih memelihara sikap Indonesiaphobia yang muncul karena ketidakpahaman pada sejarah dan keterbatasannya dalam memahami ajaran agama yang benar.
Kesempitan pandangan itu, menurut dia, membuat mereka beranggapan bahwa kelompok lain yang tidak sependapat sebagai kafir, bid'ah, dan thagut, padahal NKRI adalah hasil jihad dan ijtihad para ulama.
Oleh karena itu, kata dia, sudah seharusnya jika umat Islam menjaga dan mempertahankan NKRI dengan baik, bukan malah mengabaikan apalagi merusaknya.
"Baik kelompok yang Islamophobia maupun Indonesiaphobia, keduanya harus diluruskan agar tidak mengulangi kesalahan. Sebagai mualaf Pancasila dan mualaf NKRI, keduanya patut dituntun, agar bisa lebih memahami Islam dan Indonesia dengan baik dan benar," kata HNW.
Baca juga: MPR: Pancasila sudah final
Selain itu, menjelang pilkada serentak Desember mendatang, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu tak lupa mengingatkan agar masyarakat turut menggunakan hak pilihnya secara bijaksana.
"Pilihlah calon yang jelas asal-usul dan pemikirannya. Jangan memilih calon pemimpin yang tidak jelas kemampuan dan rekam jejaknya, dan jangan menukar hak pilih dengan sesuatu yang murah, karena kerugian dan penyesalannya harus ditanggung selama lima tahun," katanya.
Turut hadir pada acara tersebut Ketua BKPRMI Kota Metro Hadi Kurniadi dan tokoh masyarakat Kota Metro Ustad Nasriyanto, serta dosen ekonomi syariah IAIN Metro Dharma Setiawan selaku pembicara pendamping.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
Dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, Minggu, HNW mengakui kerukunan dan persatuan yang dicita-citakan seluruh bangsa Indonesia masih kerap terganggu karena ada sebagian masyarakat yang masih terus menyimpan sikap Islamophobia dan Indonesiaphobia.
Hal tersebut disampaikan HNW secara daring pada acara Temu Tokoh Nasional/Kebangsaan, kerja sama MPR RI dengan Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) di Barakah Meeting Point (BMP) Jl. AH Nasution No.185, Yosodadi, Kecamatan Metro Timur, Kota Metro, Provinsi Lampung, Sabtu (14/11).
Baca juga: MPR: Melemahnya toleransi jadi tantangan kebangsaan
Padahal, kata dia, baik Islamophobia maupun Indonesiaphobia, masing-masing berpotensi mencabik kerukunan dan persatuan.
Menurut dia, kriminalisasi yang sering menimpa para ulama adalah salah satu bukti bahwa Islamophobia masih tumbuh subur di Indonesia karena mereka beranggapan bahwa Islam dan Indonesia tidak ada hubungannya.
Mereka juga berkeyakinan bahwa para tokoh umat Islam diuntungkan karena kapasitasnya sebagai kelompok mayoritas, padahal peran dan jasanya tidak sepadan dengan keistimewaan yang dinikmati.
"Ini adalah penilaian yang keliru, lantaran kurang mempelajari sejarah. Akibatnya, mereka tidak mengetahui betapa besar pengorbanan dan keterlibatan ulama serta umat Islam dalam perjuangan Indonesia. Ketidaktahuan terhadap sejarah, serta jasa para ulama pada NKRI harus segera diluruskan agar kebencian itu tidak semakin berbahaya, menjadi bara dalam sekam," kata HNW.
Baca juga: Puan: Pancasila adalah penuntun bangsa hadapi rintangan
Pelurusan, kata HNW, perlu dilakukan juga terhadap umat Islam yang masih memelihara sikap Indonesiaphobia yang muncul karena ketidakpahaman pada sejarah dan keterbatasannya dalam memahami ajaran agama yang benar.
Kesempitan pandangan itu, menurut dia, membuat mereka beranggapan bahwa kelompok lain yang tidak sependapat sebagai kafir, bid'ah, dan thagut, padahal NKRI adalah hasil jihad dan ijtihad para ulama.
Oleh karena itu, kata dia, sudah seharusnya jika umat Islam menjaga dan mempertahankan NKRI dengan baik, bukan malah mengabaikan apalagi merusaknya.
"Baik kelompok yang Islamophobia maupun Indonesiaphobia, keduanya harus diluruskan agar tidak mengulangi kesalahan. Sebagai mualaf Pancasila dan mualaf NKRI, keduanya patut dituntun, agar bisa lebih memahami Islam dan Indonesia dengan baik dan benar," kata HNW.
Baca juga: MPR: Pancasila sudah final
Selain itu, menjelang pilkada serentak Desember mendatang, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu tak lupa mengingatkan agar masyarakat turut menggunakan hak pilihnya secara bijaksana.
"Pilihlah calon yang jelas asal-usul dan pemikirannya. Jangan memilih calon pemimpin yang tidak jelas kemampuan dan rekam jejaknya, dan jangan menukar hak pilih dengan sesuatu yang murah, karena kerugian dan penyesalannya harus ditanggung selama lima tahun," katanya.
Turut hadir pada acara tersebut Ketua BKPRMI Kota Metro Hadi Kurniadi dan tokoh masyarakat Kota Metro Ustad Nasriyanto, serta dosen ekonomi syariah IAIN Metro Dharma Setiawan selaku pembicara pendamping.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020