Denpasar (Antara Bali) - Pengamat politik Drs Nyoman Wiratmaja MSi mengatakan, besaran ambang batas parlemen 3,5 persen dalam UU Pemilu yang baru disahkan DPR rawan menimbulkan konflik horizontal di daerah.
"Kalau ada partai-partai kecil tetapi mempunyai basis di suatu kabupaten/kota dan juga provinsi, mereka mungkin akan bisa mendapat suara 40-50 persen, tetapi jika secara nasional tidak mendapat suara 3,5 persen, artinya tidak boleh memiliki wakil rakyat di daerahnya sendiri," kata Wiratmaja, di Denpasar, Minggu.
Dengan pemberlakuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) secara nasional, ucap dia, yang menjadi anggota dewan di daerah bisa jadi adalah orang-orang minoritas, tetapi secara nasional memiliki angka 3,5 persen.
"Hal seperti ini apa tidak rawan konflik? Daerah menjadi diperintah oleh orang-orang yang tidak disukai atau tidak dipilih oleh rakyat. Ini persoalan serius. Namun, masalahnya apakah sudah dipikirkan tidak dampak ini oleh pembentuk peraturan perundang-undangan pemilu," tanyanya.
Ia mencontohkan untuk beberapa kabupaten di wilayah Nusa Tenggara Timur, tentunya partai yang agak berwarna religius (Kristen dan Katolik) akan dominan di sana. Secara pemilihan menang di daerah, tetapi tidak boleh menjadi wakil rakyat.(LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
"Kalau ada partai-partai kecil tetapi mempunyai basis di suatu kabupaten/kota dan juga provinsi, mereka mungkin akan bisa mendapat suara 40-50 persen, tetapi jika secara nasional tidak mendapat suara 3,5 persen, artinya tidak boleh memiliki wakil rakyat di daerahnya sendiri," kata Wiratmaja, di Denpasar, Minggu.
Dengan pemberlakuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) secara nasional, ucap dia, yang menjadi anggota dewan di daerah bisa jadi adalah orang-orang minoritas, tetapi secara nasional memiliki angka 3,5 persen.
"Hal seperti ini apa tidak rawan konflik? Daerah menjadi diperintah oleh orang-orang yang tidak disukai atau tidak dipilih oleh rakyat. Ini persoalan serius. Namun, masalahnya apakah sudah dipikirkan tidak dampak ini oleh pembentuk peraturan perundang-undangan pemilu," tanyanya.
Ia mencontohkan untuk beberapa kabupaten di wilayah Nusa Tenggara Timur, tentunya partai yang agak berwarna religius (Kristen dan Katolik) akan dominan di sana. Secara pemilihan menang di daerah, tetapi tidak boleh menjadi wakil rakyat.(LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012