Oleh Ni Luh Rhismawati

Pemuda-pemudi saling menarik dan berpelukan dalam tradisi "Omed Omedan" khas Banjar Kaja, Desa Adat Sesetan, Kota Denpasar, kembali disambut antusias oleh masyarakat kota setempat dan wisatawan asing.

Hujan yang mengguyur Kota Denpasar sejak Sabtu pagi, tak menggoyahkan niat masyarakat untuk menyaksikan "Omed Omedan" pada Sabtu sore, sebuah tradisi dan bagian atraksi ritual yang rutin diadakan sehari setelah Hari Suci Nyepi.

Seorang pemudi yang masih lajang dari banjar setempat dipilih secara acak lalu dipanggul beramai-ramai tepat di depan balai banjar yang berlokasi di sisi tengah Jalan Raya Sesetan Denpasar.

Kemudian dari arah berlawanan juga dipanggul seorang pemuda lajang hingga keduanya bertemu dan terjadinya aksi tarik-menarik dan berangkulan. Bahkan sesekali sampai "mendarat" sebuah ciuman.

Para peserta "Omed Omedan" terutama yang wanita terlihat berusaha membungkuk dan menghindar agar tak sampai terjadi ciuman dalam aksi tarik-menarik itu.

Namun, bagi para pemuda bisa jadi ajang unik ini menjadi "berkah" untuk mencoba merasakan halusnya pipi kaum pemudi setempat walau hanya sekejap di depan umum.

Untuk memisahkan "pergulatan" pemuda-pemudi yang dipanggul ini, panitia kemudian menyiramkan air dengan menggunakan ember. Demikian, silih berganti satu persatu remaja Banjar Kaja Sesetan mengikuti ritual tradisi itu.

Kemeriahan semakin lengkap saat siraman air dari ember-ember dan selang air juga diguyurkan kepada penonton dan peserta secara tidak beraturan oleh pecalang (petugas pengamanan adat) dan panitia pelaksana.

Siapapun yang berada dalam arena itu bisa menjadi basah kuyup oleh siraman air ini dan hal itulah yang juga menjadi daya tarik tersendiri pada ritual yang dilaksanakan sehari setelah Nyepi tersebut.

Wakil Walikota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara beserta para anggota DPRD Kota Denpasar pun terlihat antusias menyaksikan atraksi Omed Omedan.

Omed Omedan umumnya diikuti oleh mereka Sekaa Teruna Teruni (muda-mudi)  yang telah akil baligh dan belum menikah. Bahkan ada juga yang kemudian pasangan muda-mudi berlanjut hingga ke jenjang perkawinan karena perkenalannya bermula dari mengikuti prosesi Omed Omedan.

Mereka mengikuti ritual dengan menggunakan pakaian adat ringan, yakni menggunakan baju kaos seragam yang disediakan panitia dan di bawahnya mengenakan kain yang diikat selendang.

"Patut kami luruskan, Omed Omedan ini bukanlah tradisi ciuman massal. Omed dalam bahasa Bali artinya tarik, sehingga Omed Omedan itu sesungguhnya bermakna saling menarik. Jika antartangan saling tarik bisa menyebabkan terkilir, sehingga dalam praktiknya terjadilah saling berangkulan.

Saat berangkulan atau berpelukan itulah terkadang bisa terjadi gesekan antarpipi peserta karena mereka sama-sama dipanggul dan didorong oleh peserta lainnya," ucap tokoh adat Banjar Kaja, I Gusti Ngurah Oka Putra.

Menurut pria yang akrab dipanggil Ngurah Bima ini, tradisi Omed Omedan sudah dilangsungkan sejak abad ke-17. Hingga saat ini, belum pernah sekalipun atraksi ini ditiadakan.

"Tujuan atraksi sesungguhnya sebagai wujud menjalin keakraban antarwarga banjar menyambut Tahun Baru Saka atau Hari Suci Nyepi. Sama sekali tidak dimaksudkan untuk berbuat hal yang vulgar di depan umum," katanya yang sewaktu remaja tak pernah absen mengikuti Omed Omedan.

Ia menambahkan, dahulu sebelum ada imbauan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang menyatakan umat tidak boleh pergi keluar rumah, tradisi ini dilaksanakan tepat pada waktu Nyepi.

"Maklumlah pemahaman warga saat itu mengenai Nyepi lebih menekankan pada 'Amati Geni' atau tidak boleh menyalakan api, sedangkan aktivitas lainnya masih tetap dilaksanakan seperti biasa," ucapnya.

Latar belakang ritual ini juga sebagai bagian melestarikan budaya yang telah turun-temurun dan wujud bakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh karena itu, sebelum barisan peserta Omed Omedan dari kalangan pemuda dan barisan pemudi yang posisinya berseberangan bersiap-siap, terlebih dahulu digelar persembahyangan di Pura Banjar Kaja dengan dipimpin jero mangku setempat.

"Tujuan persembahyangan ini agar kegiatan Omed Omedan dapat berjalan lancar dan tidak sampai terjadi cidera antarpeserta.Selain itu dihaturkan sesajen yang namanya 'pejati' sebagai bentuk permohonan izin kepada yang berstana di pura setempat agar kami diberikan kelancaran dalam prosesi," ucap Ngurah Oka Putra.

Sementara itu, Ketua Sekaa Teruna Teruni (pemuda-pemudi) Banjar Kaja, Sesetan, Gede Bayu Surya Parwita mengatakan, tujuan penyelenggaraan Omed Omedan untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan antara generasi muda banjar setempat.

"Di sini tidak sampai terjadi pro kontra untuk penyelenggaraan kegiatan tradisi ini walaupun kini zamannya memang telah jauh berbeda.Intinya, kami berusaha meneruskan tradisi yang telah diwarisi oleh para pendahulu kami. Apa yang terjadi saat Omed Omedan itu lebih pada bentuk spontanitas bukan kesengajaan untuk berbuat yang tidak sopan," kata Gede Bayu.

Desi Astini, pemudi yang menjadi salah satu peserta Omed Omedan mengakui atraksi dalam balutan tradisi ini membuatnya cukup berdebar-debar

"Tadi sempat 'dek-dekan' juga karena baru pertama kali ikut. Tetapi karena ini tradisi, kami sebagai generasi muda akan berusaha untuk terus melestarikannya," ucap Desi.

    
Kisah Babi "Berperang"

Omed Omedan sebagai tradisi saling menarik yang kemudian secara spontan bisa jadi "mendaratkan" sebuah ciuman, sempat membuat para sesepuh di Banjar Kaja, Desa Sesetan berniat meniadakan atraksi tahunan itu.

Terlebih orang awam yang hanya sepintas melihat Omed Omedan mengidentikkan tradisi ini sebagai sebuah acara ciuman massal. Kegiatan yang bisa jadi dipandang negatif oleh masyarakat luar karena dianggap mempertontonkan aksi vulgar di depan umum.

"Sekitar tahun 1979, karena kami sempat merasa resah dan khawatir dengan pandangan seperti itu akhirnya berencana untuk tidak melaksanakan tradisi Omed Omedan," ujar I Gusti Ngurah Oka Putra.

Kala itu, lanjut dia, pihak banjar bahkan sampai memasang papan pengumuman yang menyatakan bahwa Omed Omedan ditiadakan. Namun, rupa-rupanya masyarakat yang hendak menonton tetap saja bertahan di depan balai banjar.

Sampai akhirnya sore hari di waktu biasanya digelar Omed Omedan terdengar suara riuh penonton dari depan banjar seperti layaknya sedang menyaksikan tradisi itu.

"Tetapi, ketika saya beranjak keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi, ternyata masyarakat menonton sepasang babi yang sedang 'berperang' atau beradu hingga berdarah-darah membasahi jalanan," ucapnya.

 Anehnya sepasang babi itu akhirnya lenyap begitu saja di tengah kerumunan tanpa jejak. Begitu pun saat ditanyakan pada warga masyarakat sekitar apakah ada yang memiliki babi hilang ataupun terluka? Ternyata tak satupun warga kehilangan babi ternaknya.

"Kami pun akhirnya segera mengumpulkan pemuda-pemudi setempat untuk melaksanakan Omed Omedan seperti biasa dan kami mengurungkan niat untuk meniadakan ajang tahunan ini," katanya.

Semenjak peristiwa gaib itu, ucap dia, akhirnya diputuskan pelaksanaan Omed Omedan tetap dilaksanakan setiap tahun dan hingga saat ini berarti belum pernah sekalipun ditiadakan.

"Termasuk saat zaman penjajahan, menurut cerita para orang tua kami di desa, kegiatan ini tetap dilaksanakan meskipun dalam pengawasan ketat kaum penjajah kala itu," ucapnya.(LHS/T007)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012