Lembaga kemanusiaan "Aksi Cepat Tanggal" (ACT) Bali mengimlementasikan program Peduli Lansia, dengan memberikan bantuan kebutuhan hidup kepada lanjut usia (lansia) bernama Samtanus yang bekerja sebagai tukang pijat dan biasa "mangkal" di Hotel Artha dan SD Santo Yoseph, Denpasar.
"Harapannya, keadaan dan keberadaan mereka menjadi perhatian kita semua, tidak hanya tetangga, tapi juga seluruh lembaga dan pemerintah mampu bahu membahu memberikan penghidupan yang layak," ujar Kepala Program ACT Bali, Sajjatul Hidki, di Denpasar, Kamis.
Ia menjelaskan Samtanus bersama istrinya Sukini merantau ke Bali sejak tahun 1990-an untuk penghidupan yang lebih layak. Sehari-hari, ia bekerja sebagai tukang pijat melalui jejaring Komunitas Relawan Tunanetra. Samtanus mengalami tunanetra sejak usia 5 tahun.
Saat berangkat, jika tidak ada tetangga yang mengantar atau bertemu dengan entah siapa orang baik yang menawarinya tumpangan secara cuma-cuma, Samtanus akan berjalan kaki sendiri, menyusuri jalan sejauh 1,5 kilometer.
"Bila hujan, Bapak tidak pergi bekerja, sebab di tempatnya mangkal tidak ada tempat untuk berteduh, dan Bapak tidak mempunyai jas hujan maupun payung," kata istri Samtanus, yakni Sukini.
Samtanus dan istrinya, Ibu Sukini (53) , tinggal berdua tanpa anak di kos-kosan kecil yang dipenuhi dengan berbagai perabotan mereka. Kondisi dapur dan kamar mandi umum yang jauh dari layak dan kotor. Dapur umumnya langsung bersanding dengan bak sampah terbuka, sedang kamar mandi dan sanitasinya kotor.
Untuk hidup disana, Samtanus dan istri harus membayar uang sewa Rp500.000 perbulan. Kondisi tempat tinggal yang demikian secara tidak langsung memberikan dampak yang kurang baik bagi kesehatan keduanya.
Apalagi, sejak tahun lalu, istrinya menderita diabetes mellitus dengan lukanya mulai menyebar ke kaki dan nyaris menghabiskan tangan-tangannya terhitung sejak enam bulan. Kurangnya penghasilan dari sumber mata pencaharian, membuatnya hanya dapat mengobati luka sebisanya dengan salep atau balsam, sekadar untuk menjaga lukanya agar tetap kering.
Pertemuan Samtanus dengan tim ACT Bali bermula saat bulan puasa tahun lalu. Iseng menyapa Samtanus yang panas-panas di bawah terik matahari menunggu panggilan pijat, dalam keadaan berpuasa.
Berawal dari iseng menyapa, kemudian bercerita asal dan kehidupannya. Dulu, penghasilan Samtanus cukup untuk menyicil kos, dan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Namun akhir-akhir ini, paling banyak menghasilkan Rp150.000 perbulan, apalagi ditambah dengan kondisi perekonomian Indonesia yang lesu.
Jika tidak ada panggilan pijat, maka tidak ada penghasilan yang dibawa pulang hari itu. Bahkan pernah, sebulan penuh mangkal tidak ada panggilan sama sekali. Beruntungnya, masih ada orang-orang baik di luar sana yang memberinya uang, untuk membekali diri, barang sehari dua hari.
Sukini juga bercerita, tidak ada bantuan apapun dari pemerintah kepada mereka. Meski demikian, Samtanus dan istrinya punya prinsip yang kuat, bagaimanapun keadaannya, mereka pantang untuk mengemis.
"Paling banyak sekarang, 150 paling. Yang dulu baru, cukup cicil kos dan belanja sehari-sehari. Sekarang, sepi sekali. Banyak kosong, kosong, banyakan kosong sekarang," tutur Sukini di kediamannya.
Baca juga: Kemarau panjang, ACT Bali distribusikan air bersih di Karangasem, Bangli, dan Buleleng
Data Pokok Pendidikan Nasional (Dapodik) Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dan Pusat Statistik Indonesia dan SUPAS mencatat sebanyak 441.000 jumlah sebaran lansia di Bali, dan 31.000 di antaranya dalam keadaan terlantar dan di bawah garis sejahtera.
Jumlah kebutuhan lansia di Bali adalah 10,2 persen makanan, 3,4 persen makan dan minum, 2,7 persen sanitasi untuk hajat dan 2,8 persen untuk berpakaian. "Masih banyak Pak Samtanus-Pak Samtanus lainnya yang membutuhkan uluran bantuan," kata Sajjatul Hidki.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020
"Harapannya, keadaan dan keberadaan mereka menjadi perhatian kita semua, tidak hanya tetangga, tapi juga seluruh lembaga dan pemerintah mampu bahu membahu memberikan penghidupan yang layak," ujar Kepala Program ACT Bali, Sajjatul Hidki, di Denpasar, Kamis.
Ia menjelaskan Samtanus bersama istrinya Sukini merantau ke Bali sejak tahun 1990-an untuk penghidupan yang lebih layak. Sehari-hari, ia bekerja sebagai tukang pijat melalui jejaring Komunitas Relawan Tunanetra. Samtanus mengalami tunanetra sejak usia 5 tahun.
Saat berangkat, jika tidak ada tetangga yang mengantar atau bertemu dengan entah siapa orang baik yang menawarinya tumpangan secara cuma-cuma, Samtanus akan berjalan kaki sendiri, menyusuri jalan sejauh 1,5 kilometer.
"Bila hujan, Bapak tidak pergi bekerja, sebab di tempatnya mangkal tidak ada tempat untuk berteduh, dan Bapak tidak mempunyai jas hujan maupun payung," kata istri Samtanus, yakni Sukini.
Samtanus dan istrinya, Ibu Sukini (53) , tinggal berdua tanpa anak di kos-kosan kecil yang dipenuhi dengan berbagai perabotan mereka. Kondisi dapur dan kamar mandi umum yang jauh dari layak dan kotor. Dapur umumnya langsung bersanding dengan bak sampah terbuka, sedang kamar mandi dan sanitasinya kotor.
Untuk hidup disana, Samtanus dan istri harus membayar uang sewa Rp500.000 perbulan. Kondisi tempat tinggal yang demikian secara tidak langsung memberikan dampak yang kurang baik bagi kesehatan keduanya.
Apalagi, sejak tahun lalu, istrinya menderita diabetes mellitus dengan lukanya mulai menyebar ke kaki dan nyaris menghabiskan tangan-tangannya terhitung sejak enam bulan. Kurangnya penghasilan dari sumber mata pencaharian, membuatnya hanya dapat mengobati luka sebisanya dengan salep atau balsam, sekadar untuk menjaga lukanya agar tetap kering.
Pertemuan Samtanus dengan tim ACT Bali bermula saat bulan puasa tahun lalu. Iseng menyapa Samtanus yang panas-panas di bawah terik matahari menunggu panggilan pijat, dalam keadaan berpuasa.
Berawal dari iseng menyapa, kemudian bercerita asal dan kehidupannya. Dulu, penghasilan Samtanus cukup untuk menyicil kos, dan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Namun akhir-akhir ini, paling banyak menghasilkan Rp150.000 perbulan, apalagi ditambah dengan kondisi perekonomian Indonesia yang lesu.
Jika tidak ada panggilan pijat, maka tidak ada penghasilan yang dibawa pulang hari itu. Bahkan pernah, sebulan penuh mangkal tidak ada panggilan sama sekali. Beruntungnya, masih ada orang-orang baik di luar sana yang memberinya uang, untuk membekali diri, barang sehari dua hari.
Sukini juga bercerita, tidak ada bantuan apapun dari pemerintah kepada mereka. Meski demikian, Samtanus dan istrinya punya prinsip yang kuat, bagaimanapun keadaannya, mereka pantang untuk mengemis.
"Paling banyak sekarang, 150 paling. Yang dulu baru, cukup cicil kos dan belanja sehari-sehari. Sekarang, sepi sekali. Banyak kosong, kosong, banyakan kosong sekarang," tutur Sukini di kediamannya.
Baca juga: Kemarau panjang, ACT Bali distribusikan air bersih di Karangasem, Bangli, dan Buleleng
Data Pokok Pendidikan Nasional (Dapodik) Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dan Pusat Statistik Indonesia dan SUPAS mencatat sebanyak 441.000 jumlah sebaran lansia di Bali, dan 31.000 di antaranya dalam keadaan terlantar dan di bawah garis sejahtera.
Jumlah kebutuhan lansia di Bali adalah 10,2 persen makanan, 3,4 persen makan dan minum, 2,7 persen sanitasi untuk hajat dan 2,8 persen untuk berpakaian. "Masih banyak Pak Samtanus-Pak Samtanus lainnya yang membutuhkan uluran bantuan," kata Sajjatul Hidki.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020