Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membeberkan kronologi upaya institusi tersebut dalam membebaskan dan memulangkan 15 nelayan Indonesia yang ditangkap oleh Aparat Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM).

Direktur Pemantauan dan Operasi Armada KKP Pung Nugroho Saksono di Jakarta, Selasa, mengemukakan bahwa aktivitas pembebasan ini dilaksanakan sebelum kapal tersebut diproses ke ranah hukum oleh aparat Malaysia, serta pembebasan tersebut ditempuh melalui aksi cepat dan negosiasi yang tidak mudah.




KM Abadi Indah sebelumnya ditangkap oleh aparat APMM karena dituduh menangkap ikan di wilayah yang diklaim sebagai bagian dari landas kontinen Malaysia pada 5 Januari 2020 dan langsung dibawa ke wilayah perairan di barat Pulau Jarak Malaysia untuk pemeriksaan lebih lanjut.

"Pada saat kapal tersebut dibawa ke Pulau Jarak-Malaysia, kami mendapat notifikasi dari pihak APMM dan secara cepat kami langsung lakukan klarifikasi melalui data hasil pemantauan KM Abadi Indah yang ada di Pusat Pengendalian Ditjen PSDKP," jelas Ipunk, sapaan Pung Nugroho, ketika menceritakan proses koordinasi yang dilakukan dengan aparat APMM.

Berbekal data pergerakan KM Abadi Indah melalui Vessel Monitoring System (VMS), Tim Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan berkoordinasi dengan pihak APMM yang juga menyajikan data tracking melalui Marine Traffic Unit (MTU) dari Kapal Maritim Tugau (Kapal Pengawas APMM).

Proses negosiasi ini berjalan tidak mudah karena APMM mengidentifikasi bahwa KM Abadi Indah melakukan pelanggaran penangkapan ikan di dalam landas kontinen.




“Kalau melihat hasil plotting posisi KM Abadi Indah pada saat terdeteksi dan ditangkap oleh KM Tugau memang sangat tipis. Namun kami berargumen bahwa perbedaan hasil tracking tersebut disebabkan kedua negara belum menyepakati penggunaan metode tracking yang sama sebagai diamanatkan oleh hasil review pertemuan kelima dari MoU Common Guideline," kata Ipunk.

Selain itu, ujar dia, pihak KKP juga berargumen bahwa kapal ini drifting atau terbawa arus secara tidak sengaja.

Dengan argumentasi tersebut, Tim Ditjen PSDKP kemudian menawarkan opsi request to leave kepada APMM agar KM Abadi Indah dilepaskan dari proses penahanan.

Opsi ini memang memungkinkan mengingat adanya skema Common Best Practices (CBP) yang menjadi turunan dari MoU Common Guideline. Namun opsi tersebut tidak langsung diterima oleh aparat APMM.

"Sempat ada kesulitan ketika kami mengajukan request to leave pada APMM karena tracking MTU mereka menguatkan upaya penangkapan yang mereka lakukan," papar Ipunk.

Sebagai bentuk kehadiran negara dalam melindungi warga negaranya, upaya negosiasi terus dilakukan oleh Tim Ditjen PSDKP agar KM Abadi Indah dapat dilepas. Setelah proses negosiasi yang cukup alot akhirnya pihak APMM bersedia melepas kapal serta seluruh awaknya dengan catatan dilakukan penjemputan oleh aparat Ditjen PSDKP KKP dan dilakukan penandatanganan form Request to Leave.




"Kami selalu laporkan perkembangan proses negosiasi ini kepada pimpinan, dan setelah ada hasil yang baik kami perintahkan Kapal Pengawas Perikanan Hiu Macan Tutul 02 untuk bergerak ke koordinat yang disepakati untuk melakukan penjemputan terhadap KM Abadi Indah beserta 15 awak kapalnya," lanjut Ipunk.

Keberhasilan pemulangan juga tidak lepas dari hubungan baik serta koordinasi antar-aparat kedua negara, serta pengalaman yang baik untuk ke depan dalam penanganan pelanggaran yang terjadi di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia yang sampai saat ini belum disepakati.

"Kita juga harus mengapresiasi sikap kooperatif APMM yang mau untuk berkoordinasi dan menghormati prinsip-prinsip penegakan hukum yang dilakukan di wilayah Unresolved Maritim Boundaries," terangnya.

Pembebasan KM. Abadi Indah beserta krunya menjadi yang tercepat karena tanpa proses peradilan. Padahal biasanya, pemulangan nelayan Indonesia yang ditangkap otoritas maritim negara lain, dilakukan setelah menjalani proses hukum.

Berdasarkan data Ditjen PSDKP, dalam dua tahun terakhir terdapat 155 nelayan beserta 20 kapal Indonesia yang ditangkap lantaran illegal fishing. Mereka ditangkap oleh otoritas maritim sejumlah negara, yakni Malaysia, Timor Leste, Myanmar, Thailand, Australia, dan India.

Dari jumlah tersebut, sudah 127 nelayan yang dipulangkan, dengan rincian 31 orang merupakan nelayan yang ditangkap tahun 2018 dan 96 sisanya merupakan nelayan yang ditangkap tahun 2019. Hingga saat ini, masih ada 27 nelayan yang sedang menjalani hukuman dan satu lainnya meninggal dunia.




 

Pewarta: M Razi Rahman

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2020