Bogor (Antara Bali) - Pakar ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dr Ir Ricky Avenzora, MSc.F mengemukakan, sekurangnya ada tiga soal mendasar yang menyebabkan mandulnya sektor pariwisata di Indonesia.
"Tiga persoalan yang terkait satu sama lain itu adalah pertama kualitas pendidikan pariwisata, kedua kualitas sumber daya manusia (SDM) pariwisata, dan ketiga sistem birokrasi," katanya pada acara "South East Asia Forest Youth Meeting" di kampus IPB Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa petang.
Dalam acara yang diselenggarakan "International Forestry Student Association" yang dihadiri 24 delegasi, yakni 12 nasional dan 12 internasional di antaranya dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Myanmar itu, ia mengatakan, sejak 1956 ketika NHI (lembaga pendidikan perhotelan) berdiri di Bandung hingga saat ini pendidikan kepariwisataan di Indonesia masih terperangkap dalam tiga aspek yaitu perhotelan, manajemen perjalanan, dan ekonomi wisata.
Aspek pendidikan yang tidak komprehensif tersebut, kata dia, umumnya hanya diselenggarakan dalam taraf diploma satu (D1) hingga diploma 3 (D3) .
Dengan pola dan sejarah sistem pendidikan seperti itu, katanya, kapasitas keterampilan para pegiat pariwisata tidak perlu diragukan, namun kapasitas mereka dalam hal "cognitive ability" (kemampuan pemikiran) masih jauh dari kebutuhan yang ada untuk mengelaborasi konsep pembangunan pariwisata yang mumpuni.
Ia mengatakan bahwa latar belakang pendidikan yang tidak komprehensif dan memadai tentunya menghasilkan kemampuan SDM yang juga terbatas, baik pada tataran pegawai maupun pada tingkat pengambil keputusan.
"Terbatasnya ruang kognitif pengambil keputusan menyebabkan berbagai rencana dan kebijakan yang mereka putuskan menjadi mandul dan tidak kondusif untuk mencapai keberlanjutan ekologi, sosial-budaya dan finansial-ekonomi dari pembangunan ekowisata di Indonesia," kata doktor lulusan Universitas Goettingen, Jerman itu.
Kemudian, katanya, semua hal tersebut diperparah oleh sistem birokrasi yang tidak kondusif untuk pembangunan pariwisata yang umumnya tergolong berjangka panjang.
Diakuinya bahwa pariwisata memang bersifat multi-disiplin, di mana semua aspek keilmuan dan sektor pembangunan sangat dibutuhkan dan mempunyai ruang untuk berkolaborasi membangun pariwisata Indoneisa.
Namun demikian, kata dia, kepemimpinan dan para pengambil keputusan pembangunan pariwisata Indonesia haruslah tidak asal comot seperti selama ini.
"Pariwisata Indonesia bukan hanya membutuhkan SDM kepemimpinan yang mempunyai kemampuan kognitif yang mumpuni dalam sektor ini, melainkan juga harus visioner; yang dengan demikan suatu hari nanti pembangunan sektor pariwisata tidak lagi menjadi compang-camping seperti selama ini," katanya.
Potensi
Menurut Ricky Avenzora, potensi ekowisata Indonesia luar biasa, mulai dari ujung barat di Sabang (Aceh) sampai dengan ujung timur di Merauke (Papua).
Dalam konteks ekowisata alam, katanya, saat ini Indonesia mempunyai 50 taman nasional (12,3 juta ha), 248 cagar alam (4,6 juta ha), 75 suaka margasatwa (5,1 juta ha), 105 taman wisata alam (275.4348 ha) dan 22 taman hutan raya.
"Semua potensi destinasi ekowisata tersebut terletak pada golden distance (jarak tempuh optimal) dari lokasi konsentrasi populasi di setiap provinsi," kata Lektor Kepala Fahutan IPB itu.
Dalam konteks ekowisata budaya, kata dia, setidaknya ada 500 etnik di Indonesia yang mempunyai keunikan dan keluhuran budaya.
Namun demikian, katanya, hingga saat ini semua potensi yang besar itu belum mampu didaya gunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Ia menambahkan, jika pada 2010 Kementerian Pariwisata dan Budaya berbangga diri untuk mengklaim keberhasilan mereka meraih 7 juta wisatawan mancanegara, sesungguhnya angka tersebut tidak ada artinya dibandingkan dengan wisatawan asing yang diraih negara tetangga.
Contohnya, Singapura (9,2 juta), Malaysia (9,2 juta), Thailand (15,8 juta) dan yang diraih China (55,7 juta) pada tahun yang sama, sehingga sektor pariwisata Indonesia mendesak untuk diperbaiki. (**)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Tiga persoalan yang terkait satu sama lain itu adalah pertama kualitas pendidikan pariwisata, kedua kualitas sumber daya manusia (SDM) pariwisata, dan ketiga sistem birokrasi," katanya pada acara "South East Asia Forest Youth Meeting" di kampus IPB Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa petang.
Dalam acara yang diselenggarakan "International Forestry Student Association" yang dihadiri 24 delegasi, yakni 12 nasional dan 12 internasional di antaranya dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Myanmar itu, ia mengatakan, sejak 1956 ketika NHI (lembaga pendidikan perhotelan) berdiri di Bandung hingga saat ini pendidikan kepariwisataan di Indonesia masih terperangkap dalam tiga aspek yaitu perhotelan, manajemen perjalanan, dan ekonomi wisata.
Aspek pendidikan yang tidak komprehensif tersebut, kata dia, umumnya hanya diselenggarakan dalam taraf diploma satu (D1) hingga diploma 3 (D3) .
Dengan pola dan sejarah sistem pendidikan seperti itu, katanya, kapasitas keterampilan para pegiat pariwisata tidak perlu diragukan, namun kapasitas mereka dalam hal "cognitive ability" (kemampuan pemikiran) masih jauh dari kebutuhan yang ada untuk mengelaborasi konsep pembangunan pariwisata yang mumpuni.
Ia mengatakan bahwa latar belakang pendidikan yang tidak komprehensif dan memadai tentunya menghasilkan kemampuan SDM yang juga terbatas, baik pada tataran pegawai maupun pada tingkat pengambil keputusan.
"Terbatasnya ruang kognitif pengambil keputusan menyebabkan berbagai rencana dan kebijakan yang mereka putuskan menjadi mandul dan tidak kondusif untuk mencapai keberlanjutan ekologi, sosial-budaya dan finansial-ekonomi dari pembangunan ekowisata di Indonesia," kata doktor lulusan Universitas Goettingen, Jerman itu.
Kemudian, katanya, semua hal tersebut diperparah oleh sistem birokrasi yang tidak kondusif untuk pembangunan pariwisata yang umumnya tergolong berjangka panjang.
Diakuinya bahwa pariwisata memang bersifat multi-disiplin, di mana semua aspek keilmuan dan sektor pembangunan sangat dibutuhkan dan mempunyai ruang untuk berkolaborasi membangun pariwisata Indoneisa.
Namun demikian, kata dia, kepemimpinan dan para pengambil keputusan pembangunan pariwisata Indonesia haruslah tidak asal comot seperti selama ini.
"Pariwisata Indonesia bukan hanya membutuhkan SDM kepemimpinan yang mempunyai kemampuan kognitif yang mumpuni dalam sektor ini, melainkan juga harus visioner; yang dengan demikan suatu hari nanti pembangunan sektor pariwisata tidak lagi menjadi compang-camping seperti selama ini," katanya.
Potensi
Menurut Ricky Avenzora, potensi ekowisata Indonesia luar biasa, mulai dari ujung barat di Sabang (Aceh) sampai dengan ujung timur di Merauke (Papua).
Dalam konteks ekowisata alam, katanya, saat ini Indonesia mempunyai 50 taman nasional (12,3 juta ha), 248 cagar alam (4,6 juta ha), 75 suaka margasatwa (5,1 juta ha), 105 taman wisata alam (275.4348 ha) dan 22 taman hutan raya.
"Semua potensi destinasi ekowisata tersebut terletak pada golden distance (jarak tempuh optimal) dari lokasi konsentrasi populasi di setiap provinsi," kata Lektor Kepala Fahutan IPB itu.
Dalam konteks ekowisata budaya, kata dia, setidaknya ada 500 etnik di Indonesia yang mempunyai keunikan dan keluhuran budaya.
Namun demikian, katanya, hingga saat ini semua potensi yang besar itu belum mampu didaya gunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Ia menambahkan, jika pada 2010 Kementerian Pariwisata dan Budaya berbangga diri untuk mengklaim keberhasilan mereka meraih 7 juta wisatawan mancanegara, sesungguhnya angka tersebut tidak ada artinya dibandingkan dengan wisatawan asing yang diraih negara tetangga.
Contohnya, Singapura (9,2 juta), Malaysia (9,2 juta), Thailand (15,8 juta) dan yang diraih China (55,7 juta) pada tahun yang sama, sehingga sektor pariwisata Indonesia mendesak untuk diperbaiki. (**)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011