Denpasar (Antara Bali) - Tim kuasa hukum Anand Krishna mengaku heran terhadap pernyataan Koordinator Tim Pembela Korban Anand Krishna (TP-KAK) Agung Mattacuh di Komisi Yudisial, Jumat (2/12) yang menilai adanya kejanggalan terkait putusan bebas kliennya.

Dr Otto Hasibuan, SH, MM, salah seorang penasehat hukum Anand Krishna, dalam siaran pers yang dikirim kepada ANTARA di Denpasar, Sabtu, mengingatkan bahwa majelis hakim yang memutus bebas itu dipimpin oleh seorang wanita yang dikenal jujur, bersih dan berdedikasi, yakni Albertina Ho.

Anand Krishna yang menjadi terdakwa kasus pelecehan seksual dan telah menjalani proses hukum sekitar 15 bulan, divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (22/11).

Otto Hasibuan mengaku bingung terhadap pernyataan Koordinator TP-KAK, karena yang tidak bersedia memanggil saksi ahli dimaksud adalah JPU (jaksa penuntut umum).

Majelis hakim, katanya, justru mempersilakan kepada JPU maupun pihaknya untuk memanggil setiap saksi yang dirasa perlu untuk didengar kembali kesaksiannya.

"Saat itu justru JPU Martha P Berliana Tobing yang tidak ingin menghadirkan kembali saksi ahli psikolog Dewi Yogo dan pakar hipnotis Mardigu," katanya menegaskan.

Ia menambahkan bahwa bila kedua saksi tersebut dihadirkan ke ruang persidangan, justru akan memperjelas adanya dugaan konspirasi di balik kasus pelecehan seksual yang dituduhkan kepada Anand.

Hal itu karena apa yang dilakukan Dewi Yogo terhadap korban Tara Pradipta Laksmi, oleh Prof Dr LK Suryani (pendiri Committee Anti Sexual Abuse/CASA) dan Adi W Gunawan (pakar hipnoterapi) dinilai sebagai kecenderungan penanaman memori palsu akibat sesi terapi hipnotis sebanyak 45 kali dalam kurun waktu hanya tiga-empat bulan.

"Saksi ahli Dewi Yogo dan Mardigu dalam persidangan saat itu justru memberikan keterangan yang berbeda tentang latar belakang pendidikan dan profesi mereka. Dalam surat keterangan institusi pendidikan yang kami peroleh, mereka menyatakan pernah belajar hipnoterapi," ujar Otto Hasibuan.

Sementara itu menanggapi soal kejanggalan tentang bukti sperma yang diabaikan oleh majelis hakim, Humprey R Djemat, Koordinator Tim Kuasa Hukum Anand Krishna, juga mengaku bingung, karena bukti tersebut tidak pernah ada.

Ketika peninjauan di tempat perkara, katanya, Phung Soe Swe alias Chandra, saksi yang dihadirkan JPU, mengakui bahwa toilet dan tempat sampah penemuan tisu bersperma itu berada di ruang umum, bukan milik pribadi Anand.

"Bukti sperma mana yang dimaksud? Dalam daftar bukti sitaan pada berkas perkara, hal itu tidak pernah ada. Itu mungkin hanya cerita atau karangan, bukan bukti hukum. Bukti sperma itu bukan fakta hukum," kata Humprey menegaskan.

Terkait informasi bahwa majelis hakim pernah satu mobil dengan Anand saat datang ke tempat pemeriksaan perkara dan tuduhan penyewaan jasa kehumasan, Darwin Aritonang, SH, MH, tim kuasa hukum Anand lainnya, mengingatkan untuk bicara bukti.

"Kalau bicara tolong disertai bukti, jangan hanya menggunakan ilusi, cerita karangan atau mengedepankan emosi. Silahkan disertai bukti hukum," ucapnya.

Sementara Astro P Girsang, SH, pengacara yang hampir dua tahun mendampingi Anand, menilai tuduhan kepada kliennya sama sekali tidak didasarkan pada bukti yang relevan.

"Tuduhan-tuduhan mereka hanya berdasarkan gosip dan informasi yang tak dapat dibuktikan kebenarannya. Kami telah mendokumentasikan dan merekam semua pembicaraan di dalam ruangan persidangan, sehingga semua fakta-fakta yang terungkap dapat didengar kembali secara jelas dan terang," katanya.

Putusan bebas itu dinilai memperkuat dugaan adanya upaya sistematis untuk membungkam Anand, dan mengancam pluralisme di Indonesia seperti pernah diungkapkan oleh mantan Menristek AS Hikam, dan mantan Sesneg Djohan Effendi.

Ketika putusan bebas dibacakan oleh Hakim Albertina Ho (22/11), dihadiri beberapa tokoh pluralisme dan aktivis perempuan seperti Prof Musdah Mulia, Romo Frans Magnis Suseno, serta penulis Julia Suryakusuma, guna mendukung keadilan bagi Anand.(AJ/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011