Denpasar (Antara Bali) - Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri H Djohermansyah Djohan mengatakan, kepala daerah akan kembali dipilih anggota DPRD terkait dengan perubahan sistem pilkada.
"Hal tersebut merupakan salah satu substansi perubahan dalam RUU Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang akan diajukan ke DPR," katanya saat menjadi pembicara dalam seminar nasional Diseminasi Produk-Produk Perencanaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional di Denpasar, Rabu.
"Sistem pilkada perlu ditinjau ulang karena selama ini masih menyisakan sejumlah persoalan. Demokrasi elektoral yang kita gunakan ongkosnya terlalu tinggi dan cenderung menciptakan disharmoni antara kepala daerah dengan wakilnya," ucapnya.
Ia mencontohkan pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur yang menghabiskan biaya hingga Rp970 miliar. Menurut dia, sayang jika uang negara sebesar itu hanya digunakan untuk memilih seorang kepala daerah dengan wakilnya. Padahal kewenangan seorang gubernur dan wakil gubernur terbatas.
"Di daerah, seorang gubernur hanya mempunyai kewenangan sebesar 24 persen, sedangkan 76 persen sisanya menjalankan tugas wakil pemerintah pusat," ujarnya.
Menurut dia, gubernur dan bupati dalam RUU tersebut tidak dipilih oleh rakyat secara langsung dan kembali kepada DPRD karena mengacu pada amanat konstitusi.
"Khususnya dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 4 disebutkan bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Berbeda halnya dengan aturan pemilihan presiden yang secara tegas mensyaratkan harus dipilih langsung oleh rakyat," ujarnya.
Seminar tersebut juga menghadirkan pembicara Direktur Politik dan Komunikasi Kementerian PPN/Bappenas RD Siliwanti dan Asisten 1 Deputi V Kemenkopulhukam Didik T Prijandono. (**)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Hal tersebut merupakan salah satu substansi perubahan dalam RUU Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang akan diajukan ke DPR," katanya saat menjadi pembicara dalam seminar nasional Diseminasi Produk-Produk Perencanaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional di Denpasar, Rabu.
"Sistem pilkada perlu ditinjau ulang karena selama ini masih menyisakan sejumlah persoalan. Demokrasi elektoral yang kita gunakan ongkosnya terlalu tinggi dan cenderung menciptakan disharmoni antara kepala daerah dengan wakilnya," ucapnya.
Ia mencontohkan pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur yang menghabiskan biaya hingga Rp970 miliar. Menurut dia, sayang jika uang negara sebesar itu hanya digunakan untuk memilih seorang kepala daerah dengan wakilnya. Padahal kewenangan seorang gubernur dan wakil gubernur terbatas.
"Di daerah, seorang gubernur hanya mempunyai kewenangan sebesar 24 persen, sedangkan 76 persen sisanya menjalankan tugas wakil pemerintah pusat," ujarnya.
Menurut dia, gubernur dan bupati dalam RUU tersebut tidak dipilih oleh rakyat secara langsung dan kembali kepada DPRD karena mengacu pada amanat konstitusi.
"Khususnya dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 4 disebutkan bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Berbeda halnya dengan aturan pemilihan presiden yang secara tegas mensyaratkan harus dipilih langsung oleh rakyat," ujarnya.
Seminar tersebut juga menghadirkan pembicara Direktur Politik dan Komunikasi Kementerian PPN/Bappenas RD Siliwanti dan Asisten 1 Deputi V Kemenkopulhukam Didik T Prijandono. (**)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011