Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Guntur Romli, menegaskan bahwa demi melawan berita bohong para penyandang dana, maka pelaku industri hoaks harus menerima hukuman berat untuk menimbulkan efek jera agar tidak mengulangi perbuatan yang merugikan tersebut.

"Bagi yang punya industri hoaks, industri kebencian, harus dihukum. Seperti kita menangani narkoba. Kalau korban kita harus edukasi, tapi pengedarnya dan pembuatnya harus dihukum," ungkap Guntur Romli dalam diskusi yang digelar Gerakan Literasi Terbit (GESIT) di Cikini, Jakarta Pusat, Senin.

Menurut Romli, masyarakat awam yang menyebarkan hoaks bisa dianggap sebagai korban karena kebanyakan tidak menyadari telah membagi berita bohong.

Hal senada juga diungkapkan oleh politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Zuhairi Misrawi, yang juga menjadi panelis dalam acara diskusi itu.

Menurut Zuhairi, ada orang yang sengaja menggunakan hoaks untuk menyebarkan informasi-informasi yang bernuansa fitnah, memecah belah dan menyesatkan.

Meski sudah ada undang-undang yang mengatur hukuman penyebar hoaks, seperti UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tetap saja tidak membuat pelaku industri tersebut berhenti melakukannya.

"Oleh karena itu undang-undangnya kalau perlu direvisi agar donatur yang mendanai hoaks itu, misalnya, dihukum seumur hidup biar ada efek jera," ucap Zuhairi, menegaskan.

Beredarnya hoaks ternyata memberikan dampak terhadap Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2018. Terutama jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang memengaruhi turunnya aspek kebebasan sipil.

Menurut data IDI 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), aspek kebebasan sipil 2018 turun 0,29 poin dari tahun sebelumnya dan saat ini berada pada angka 78,46 persen. Turun dari 78,75 poin pada 2017.

Baca juga: Polri: hoaks adalah dampak negatif kemajuan teknologi digital

Pemula internet
Guntur Romli menilai penyebaran hoaks di kalangan yang baru hijrah teknologi atau pemula menggunakan internet harus disikapi dengan lebih serius karena lebih rentan menjadi korban yang menyebarkan berita bohong.

"Yang paling susah itu masyarakat atau orang yang baru pindah, baru hijrah, dari gaptek (gagap teknologi) menjadi pemula yang memakai Facebook, YouTube dan Twitter. Karena mereka terkadang membaca berita dari YouTube dari akun tidak jelas," ujarnya.

Di acara yang membahas perlawanan terhadap hoaks itu, aktivis Nahdlatul Ulama (NU) yang aktif di jejaring sosial tersebut juga menekankan bahwa edukasi harus dilakukan agar masyarakat bisa membedakan berita palsu atau tidak.

Menurut dia, beberapa oknum sudah lebih kreatif membuat hoaks yang mudah dipercaya oleh orang yang baru memakai teknologi dan disebarkan dengan cepat di media sosial dan aplikasi pesan.

"Hoaks itu awalnya hanya edit memakai Photoshop, lalu membuat website abal-abal, dan yang terbaru menurut saya adalah menarasikan hoaks menggunakan video ditambah dengan foto-foto yang tidak ada hubungannya," ungkap Guntur Romli.

Dia mengambil contoh bagaimana kekerasaan yang dialami oleh Rohingya disunting menggunakan foto dari kejadian di Thailand dan Kashmir. Berita seperti itu, menurut Romli, dipercaya oleh warganet yang masih awam dan tidak bisa membedakan hoaks dan kemudian disebarkan ke grup-grup di aplikasi pesan. "Rata-rata sekarang sumber informasi dari masyarakat, netizen pemula dari situ," tegasnya.

Baca juga: Henri Subiakto: hoaks jangan dibiarkan tanpa gugatan

Beredarnya hoaks yang terjadi akhir-akhir ini terutama jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mempengaruhi turunnya aspek kebebasan sipil pada Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2018.

Menurut data IDI 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), aspek kebebasan sipil 2018 turun 0,29 poin dari tahun sebelumnya dan saat ini berada pada angka 78,46 persen. Turun dari 78,75 pada 2017. Aspek ini sempat memasuki katagori baik (di atas 80) pada periode 2009-2011 dan 2014-2015.

Pewarta: Prisca Triferna Violleta

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019