Remaja rentan mengalami gangguan kejiwaan akibat kecanduan bermain "sukan daring" (game online) baik dari gawai pribadi ataupun mendatangi kios Internet, demikian disampaikan Kepala Pusat Layanan Psikologi "Pradnyagama" Denpasar, Retno IG Kusuma.
"Gangguan kejiwaan atau gangguan perkembangan dan gangguan emosi semakin tinggi terjadi pada anak-anak dan remaja akibat game online. (Kecanduan) bisa berdampak pada malas belajar, prestasi menurun. Ketika tidak dituruti permintaanya, mereka mengamuk dan menunjukkan perilaku-perilaku eksesif lainnya," psikolog yang juga Kepala Sub Psikologi di Rehabilitasi Medik RSUP Sanglah Denpasar itu kepada ANTARA di Denpasar, Sabtu.
Perilaku eksesif lain yang akan ditunjukkan remaja ketika mengalami gangguan jiwa, menurut Retno yang merupakan psikolog lulusan UGM Yogyakarta itu, dapat berupa belanja konten-konten yang ditawarkan di dalam "sukan daring" secara berlebihan, padahal harga konten "sukan daring" itu dapat mencapai jutaan rupiah.
Retno menjelaskan proses gangguan kejiwaan terjadi ketika seseorang memilih konten yang mengandung kekerasan atau konten lainnya yang dapat mempengaruhi kejiwaan. Dari konten tersebut, remaja dapat memunculkan perilaku agresif seperti perubahan emosi, psikis, dan pikiran.
"Nah, apalagi kalau remaja yang sedang stres gitu ya. (Ketika hal) yang cuma bisa dilihat adalah game dengan kekerasan, mereka bisa melimpahkan emosinya ke sana. (Mereka) mulai belajar kalau caranya melakukan kekerasan pada orang begini," katanya.
Anak-anak hingga remaja menjadi kelompok masyarakat yang rentan mengalami gangguan jiwa akibat kecanduan "sukan daring" karena ketertarikan mereka terhadap visual lebih tinggi dibanding kelompok usia lain.
"Anak-anak biasanya suka sama gambar-gambar dan suara ya. Kalau udah kecanduan, timbulah halusinasi kinestetik. Misalnya, ketika mereka main sebuah permainan dengan audio yang mudah diingat, suaranya akan terus melekat pada si anak walaupun sedang tidak dimainkan," ujar Retno.
Baca juga: KPAI: awasi anak main game daring
Halusinasi kinestetik, menurut Retno, merupakan kondisi ketika anggota badan seseorang bergerak seolah olah sedang memainkan sebuah permainan dalam sebuah ruang. Gangguan halusinasi itu seringkali dialami para pecandu gim digital baik pada anak-anak, remaja, hingga dewasa.
Retno mengatakan proses penyembuhan untuk para pecandu "sukan daring" itu tergantung pada usia dan rentang waktu mengalami gangguan itu. Selain itu, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi penyembuhan kecanduan "sukan daring" yaitu lingkungan sosial serta status ekonomi dan latar belakang pribadi pecandu.
"Kalau sumber (kecanduan) karena kesepian atau dikucilkan di sekolah, berarti dia perlu beberapa teman atau dia butuh dukungan aktivitas. Kami akan datangkan bersama orang tuanya. Kami juga akan memodifikasi perilaku dan lingkungannya untuk mengurangi aktivitas bermain game online," katanya.
Retno mengharapkan dukungan penuh dari orang tua agar memberikan pengawasan dan pemahaman tentang bahaya bermain "sukan daring" secara berlebihan dengan memberikan kegiatan fisik kepada anak seperti penyaluran hobi ataupun kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Baca juga: Video game bisa jadi "obat digital" anak autis
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Gangguan kejiwaan atau gangguan perkembangan dan gangguan emosi semakin tinggi terjadi pada anak-anak dan remaja akibat game online. (Kecanduan) bisa berdampak pada malas belajar, prestasi menurun. Ketika tidak dituruti permintaanya, mereka mengamuk dan menunjukkan perilaku-perilaku eksesif lainnya," psikolog yang juga Kepala Sub Psikologi di Rehabilitasi Medik RSUP Sanglah Denpasar itu kepada ANTARA di Denpasar, Sabtu.
Perilaku eksesif lain yang akan ditunjukkan remaja ketika mengalami gangguan jiwa, menurut Retno yang merupakan psikolog lulusan UGM Yogyakarta itu, dapat berupa belanja konten-konten yang ditawarkan di dalam "sukan daring" secara berlebihan, padahal harga konten "sukan daring" itu dapat mencapai jutaan rupiah.
Retno menjelaskan proses gangguan kejiwaan terjadi ketika seseorang memilih konten yang mengandung kekerasan atau konten lainnya yang dapat mempengaruhi kejiwaan. Dari konten tersebut, remaja dapat memunculkan perilaku agresif seperti perubahan emosi, psikis, dan pikiran.
"Nah, apalagi kalau remaja yang sedang stres gitu ya. (Ketika hal) yang cuma bisa dilihat adalah game dengan kekerasan, mereka bisa melimpahkan emosinya ke sana. (Mereka) mulai belajar kalau caranya melakukan kekerasan pada orang begini," katanya.
Anak-anak hingga remaja menjadi kelompok masyarakat yang rentan mengalami gangguan jiwa akibat kecanduan "sukan daring" karena ketertarikan mereka terhadap visual lebih tinggi dibanding kelompok usia lain.
"Anak-anak biasanya suka sama gambar-gambar dan suara ya. Kalau udah kecanduan, timbulah halusinasi kinestetik. Misalnya, ketika mereka main sebuah permainan dengan audio yang mudah diingat, suaranya akan terus melekat pada si anak walaupun sedang tidak dimainkan," ujar Retno.
Baca juga: KPAI: awasi anak main game daring
Halusinasi kinestetik, menurut Retno, merupakan kondisi ketika anggota badan seseorang bergerak seolah olah sedang memainkan sebuah permainan dalam sebuah ruang. Gangguan halusinasi itu seringkali dialami para pecandu gim digital baik pada anak-anak, remaja, hingga dewasa.
Retno mengatakan proses penyembuhan untuk para pecandu "sukan daring" itu tergantung pada usia dan rentang waktu mengalami gangguan itu. Selain itu, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi penyembuhan kecanduan "sukan daring" yaitu lingkungan sosial serta status ekonomi dan latar belakang pribadi pecandu.
"Kalau sumber (kecanduan) karena kesepian atau dikucilkan di sekolah, berarti dia perlu beberapa teman atau dia butuh dukungan aktivitas. Kami akan datangkan bersama orang tuanya. Kami juga akan memodifikasi perilaku dan lingkungannya untuk mengurangi aktivitas bermain game online," katanya.
Retno mengharapkan dukungan penuh dari orang tua agar memberikan pengawasan dan pemahaman tentang bahaya bermain "sukan daring" secara berlebihan dengan memberikan kegiatan fisik kepada anak seperti penyaluran hobi ataupun kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Baca juga: Video game bisa jadi "obat digital" anak autis
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019