Puluhan wisatawan asing nampak duduk rapi di kursi yang terbuat dari bambu. Dengan seksama, mereka menikmati atraksi yang disuguhkan oleh The Barong & Kris Dance di Jambe Budaya, Batubulan, Gianyar, Bali.

Sesekali mereka asyik mengabadikan beragam atraksi para pemain lewat kamera ponsel. Tak sedikit pun mereka asyik bersenda gurau dengan sesama rekannya. Justru, mereka terhanyut dalam permainan tari para dancer.

Ya, mereka memang sedang menonton atraksi di Jambe Budaya di Batubulan, Bali. Mereka asyik menikmati pertunjukan tari barong. Bukan hanya turis asing, wisatawan lokal juga tak tak kalah takjub menikmati pentas tari tradisional khas Bali itu.  

Tarian ini selalu sukses mengundang decak kagum para wisatawan. Bukan hanya dari mancanegara, tapi juga Nusantara.

Tarian barong menggambarkan pertarungan antara kebajikan melawan kebatilan. Barong adalah binatang purbakala melukiskan kebajikan dan Rangda adalah binatang purbakala yang maha dahsyat menggambarkan kebatilan.

Dalam atraksinya, selalu dibuka dengan gending pembukaan. Barong dan kera sedang berada di dalam hutan yang lebat, kemudian muncullah tiga orang bertopeng menggambarkan tiga orang yang sedang membuat tuak di tengah-tengah hutan, di mana anaknya telah dimakan harimau.

Ketiga orang itu sangat marah dan menyerang harimau (barong) itu dan perkelahian tidak dapat dielakkan. Hidung di antara salah satu dari ketiga orang itu hingga digigit oleh kera.

Begitulah sepenggal kisah dalam gending pembukaan tari barong yang dipentaskan oleh Jambe Budaya Batubulan, Gianyar, Bali.

Dalam pentas di Jambe Budaya itu, penonton akan diberi sinopsis, sehingga memahami alur cerita. Ada lima babak tarian. Di babak pertama, dua orang penari muncul dan mereka adalah pengikut dari rangda yang sedang mencari pengikut Dewi Kunti yang sedang dalam perjalanan untuk menemui patihnya.

Berlanjut ke babak kedua, pengikut Dewi Kunti tiba. Salah seorang dari pengikut Rangda berubah rupa menjadi setan (semacam Rangda) dan memasukkan toh jahat kepada pengikut Dewi Kunti yang menyebabkan mereka bisa marah. Keduanya menemui Patih dan bersama-sama menghadap Dewi Kunti.

Tarian menuju babak ketiga, dimana muncullah Dewi Kunti, anaknya Sadewa. Saat itu, Dewi Kunti telah berjanji kepada Rangda untuk menyerahkan Sadewa sebagai korban. Sebenarnya Dewi Kunti tidak sampai hati mengorbankan anaknya Sadewa kepada Rangda, tapi setan (semacam Rangda) memasuki roh jahat kepadanya yang menyebabkan Dewi Kunti menjadi marah dan tetap berniat mengorbankan anaknya kepada Patihnya.

Untuk membuang Sadewa ke dalam hutan dan Patih ini pun tidak luput dari kemasukan roh jahat setan itu, sehingga sang Patih dengan tiada perasaan kemanusiaan menggiring Sadewa ke dalam hutan dan mengikatnya di muka Istana Sang Rangda.

Babak selanjutnya yang keempat, turunlah Dewa Siwa memberikan keabadian hidup kepada Sadewa. Kejadian ini tidak diketahui oleh Rangda. Kemudian datanglah Rangda untuk membunuh dan mengoyak-oyak Sadewa, tapi karena kekebalan yang telah diberikan Dewa Siwa. Rangda akhirnya menyerah kepada Sadewa dan memohon diselamatkan agar ia bisa masuk surga. Permintaan ini dipenuhi Sadewa, sehingga Rangda bisa masuk surga.

Di babak seterusnya, diketahui bahwa Kalika, merupakan salah seorang pengikut Rangda menghadap Sadewa meminta untuk diselamatkan juga tapi ditolak. Penolakan itu menimbulkan perkelahian dan Kalika berubah menjadi babi hutan. Di dalam pertarungan antara Sadewa melawan babi hutan itu Sadewa mendapatkan kemenangan.

Kalika akhirnya berubah menjadi lagi menjadi burung dan tetap bisa dikalahkan. Burung itu berubah lagi menjadi Rangda, namun karena Rangda terlalu sakti, Sadewa tidak bisa membunuhnya.

Hingga akhirnya Sadewa berubah menjadi barong. Karena sama-sama sakti tidak ada yang kalah maupun menang dalam pertarungan itu dan terus abadi antara kebajikan melawan kebatilan. Setelahnya, muncullah pengikut barong dengan senjatanya masing-masing guna mengalahkan Rangda, tapi akhirnya tidak berhasil melumpuhkan Rangda.

Adegan demi adegan yang diperagakan oleh The Barong & Kris Dance Jambe Budaya di Gianyar, Bali ini selalu memukau. Pentas dilakukan setiap hari selama 60 menit mulai jam 09.30 WIB.

Baca juga: Batubulan, desa seni "Tari Barong" bertabur prestasi
Baca juga: Festival Barong Dibuka di Taman Ayun (Video)

Menurut penanggung jawab pentas Jambe Budaya, Agung, dalam pentas memang penonton didominasi dari mancanegara. "Banyak yang dari mancanegara. Di tempat ini pentasnya juga setiap hari," kata perempuan paruh baya itu.

Kendati tak begitu memahami bahasa, sebab saat dialog menggunakan bahasa Kawi, beberapa atraksi lucu mampu menghidupkan gelak tawa dari penonton. Hingga pentas berakhir, penonton juga sangat menikmatinya.

Menuju ke tempat ini tidaklah sulit. Lokasinya di tempat strategis, dekat dengan pasar. Berbagai tipe kendaraan bisa masuk leluasa ke tempat ini. Namun, karena di lokasi yang jalurnya agak kecil, untuk kendaraan bus harus berhati-hati.

Faktanya, ada pramuwisata yang enggan mengantar wisatawan ke lokasi yang sedikit rumit itu, padahal pramuwisata itu seharusnya mengenalkan kekhasan Pulau Dewata, bukan "mengatur" perjalanan wisata yang menguntungkan pribadi (Pasal 9 Perda Bali Nomor 5/2016 tentang Pramuwisata). Pramuwisata seperti itu akan merugikan pariwisata.

Untuk bisa menikmati atraksi khas Bali di Batubulan itu, setiap pengunjung dikenai tarif Rp100 ribu. Mereka juga bisa berfoto di lokasi acara setelah pentas terakhir, termasuk dengan penari. Jika ingin suvenir, harga yang diberikan juga terjangkau. Misalnya, gantungan kunci berisi foto diri hanya seharga Rp15 ribu per biji.

"Acaranya menarik, tapi saya tidak mengerti bahasanya. Jadi, jika ingin memahami lakonnya ya melihat sinopsis yang diberikan," kata Zumrotun, salah soerang penonton dari Jember. (*)



Video oleh: Abdullah Rifai/Antara Jatim

Pewarta: Asmaul Chusna

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019