Guru besar Fakultas Psikologi Univeristas Gadjah Mada, Prof Koentjoro, menilai sikap politisi Partai Amanat Nasional, Amien Rais, menyerukan people power karena terobsesi keberhasilannya saat ikut menggerakkan reformasi 1998.
"Menurut saya beliau terobsesi dengan usaha beliau yang berhasil pada 1998, ada satu gerakan transfer of learning dan berhasil," kata Koentjoro, di Balairung Gedung Pusat, UGM, Yogyakarta, Jumat.
Menurut Koentjoro, Rais seharusnya bertanggung jawab dengan seruannya itu yang belakangan menjadi Gerakan Kedaulatan Rakyat. Bagi Koentjoro, seruan dia dikeluarkan dalam situasi yang sudah jauh berbeda dengan masa reformasi 98.
Karena seruan itu dikeluarkan dalam konteks situasi yang tidak sama dengan masa 1998 pada saat rezim Soeharto. Akibatnya, menurut Koentjoro, seruan itu tidak memiliki pengaruh apa-apa.
"Situasinya berbeda. Kalau dulu khan Pak Harto memang begitu. Masyarakat kemudian kompak karena seluruhnya mengalami (ketidakadilan), tetapi ini kan tidak," kata dia.
Menurut Koentjoro, dalam ilmu psikologi dikenal adanya teori frustasi agresi yakni semakin masyarakat merasa frustasi maka saat itu pula mereka semakin memiliki perilaku agresi.
Sayangnya, kata dia, agresivitas masyarakat dalam kerusuhan 22 Mei 2019 yang merupakan buah dari seruan Amien Rais tersebut bukan disebabkan masyarakat frustasi.
"Tapi karena masyarakar dibayar. Polisi telah menemukan bukti, perusuh dibayar. Sehingga mereka bekerja tidak sepenuh hati," kata dia.
Oleh sebab itu, menurut dia, sebagai pemimpin aksi atau demonstrasi pada 22 Mei yang menentang keputusan KPU seharusnya tampil di depan mengendalikan situasi agar tidak terjadi kerusuhan. "Masyarakat bingung ini kedaulatan rakyat atau kerusuhan," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Menurut saya beliau terobsesi dengan usaha beliau yang berhasil pada 1998, ada satu gerakan transfer of learning dan berhasil," kata Koentjoro, di Balairung Gedung Pusat, UGM, Yogyakarta, Jumat.
Menurut Koentjoro, Rais seharusnya bertanggung jawab dengan seruannya itu yang belakangan menjadi Gerakan Kedaulatan Rakyat. Bagi Koentjoro, seruan dia dikeluarkan dalam situasi yang sudah jauh berbeda dengan masa reformasi 98.
Karena seruan itu dikeluarkan dalam konteks situasi yang tidak sama dengan masa 1998 pada saat rezim Soeharto. Akibatnya, menurut Koentjoro, seruan itu tidak memiliki pengaruh apa-apa.
"Situasinya berbeda. Kalau dulu khan Pak Harto memang begitu. Masyarakat kemudian kompak karena seluruhnya mengalami (ketidakadilan), tetapi ini kan tidak," kata dia.
Menurut Koentjoro, dalam ilmu psikologi dikenal adanya teori frustasi agresi yakni semakin masyarakat merasa frustasi maka saat itu pula mereka semakin memiliki perilaku agresi.
Sayangnya, kata dia, agresivitas masyarakat dalam kerusuhan 22 Mei 2019 yang merupakan buah dari seruan Amien Rais tersebut bukan disebabkan masyarakat frustasi.
"Tapi karena masyarakar dibayar. Polisi telah menemukan bukti, perusuh dibayar. Sehingga mereka bekerja tidak sepenuh hati," kata dia.
Oleh sebab itu, menurut dia, sebagai pemimpin aksi atau demonstrasi pada 22 Mei yang menentang keputusan KPU seharusnya tampil di depan mengendalikan situasi agar tidak terjadi kerusuhan. "Masyarakat bingung ini kedaulatan rakyat atau kerusuhan," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019