Sastrawan Binhad Nurrohmat menilai karya-karya penyair dari era generasi milenial kebanyakan tanpa beban dan cenderung mengabaikan realita yang berkembang di sekitarnya.
Lelaki kelahiran Lampung, 1 Januari 1976, itu menyebut dirinya kini sebagai mantan penyair karena sudah tidak tahu lagi untuk apa menulis puisi di era yang serba digital.
"Saya kira orang-orang sekarang lebih suka membicarakan politik," katanya saat hadir dan didaulat untuk berbicara dalam kegiatan Majelis Sastra Urban di Surabaya, Jawa Timur, Kamis malam.
Majelis Sastra Urban adalah kegiatan yang rutin digelar setiap bulan oleh Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Malam itu, Majelis Sastra Urban membedah karya-karya puisi Rizki Amir, mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dan Intan H Jihane, mahasiswa Universitas Airlangga (Unair).
Binhad menilai karya-karya puisi dari kedua penyair generasi milenial tersebut sama-sama tidak ada upaya untuk menggugah para pembacanya. "Tidak ada ketegangannya dan juga tidak ada upaya estetis. Rasanya seperti menghabiskan waktu luang dengan duduk-duduk di kafe dan jadilah karya puisi," katanya.
Selama forum diskusi Majelis Sastra Urban berlangsung, Binhad mengamati para hadirin yang juga dari kalangan generasi milenial menyebut referensi nama-nama penyair terdahulu, seperti Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Sapardi Joko Darmono dan lain sebagainya.
Namun, menurut dia, para generasi milenial tersebut tidak pernah mengupas karya-karya sastrawan dari generasi pendahulunya secara mendalam dan hanya sebatas mengenal "kulitnya". Binhad pun menyebut penyair zaman sekarang tidak lahir dari "Ibu Puisi".
"Penyair milenial ini lalu merasa bangga ketika karya puisinya tidak dimengerti oleh orang lain dan kemudian menyebutnya sebagai puisi gelap," katanya.
Binhad membandingkan dengan eranya dulu, di mana para penyair menulis puisi sebagai bentuk protes terhadap ketidakpuasan atas realita yang terjadi pada masanya. Menulisnya pun dengan mengerahkan intelektual tanpa mengabaikan estetika.
"Penyair sekarang sudah punya identitas yang disebut milenial tapi saya yakin mereka juga memiliki intelektual," katanya.
Binhad menyarankan agar penyair generasi milenial menggali ilmu dari sejarah kesusastraan yang pernah lahir di Indonesia agar setidaknya muncul estetika pada karya-karyanya.
Memang, menurut penggagas Majelis Sastra Urban Ribut Wijoto, untuk itulah kegiatan ini rutin digelar setiap bulan sebagai panggung bagi para penyair generasi milenial .
"Melalui forum ini, penyair milenial dituntut memiliki cara pandang yang berbeda terhadap realitas. Selain juga ada tuntutan berdialog dengan tradisi kesusasteraan yang pernah ada di Indonesia," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
Lelaki kelahiran Lampung, 1 Januari 1976, itu menyebut dirinya kini sebagai mantan penyair karena sudah tidak tahu lagi untuk apa menulis puisi di era yang serba digital.
"Saya kira orang-orang sekarang lebih suka membicarakan politik," katanya saat hadir dan didaulat untuk berbicara dalam kegiatan Majelis Sastra Urban di Surabaya, Jawa Timur, Kamis malam.
Majelis Sastra Urban adalah kegiatan yang rutin digelar setiap bulan oleh Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Malam itu, Majelis Sastra Urban membedah karya-karya puisi Rizki Amir, mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dan Intan H Jihane, mahasiswa Universitas Airlangga (Unair).
Binhad menilai karya-karya puisi dari kedua penyair generasi milenial tersebut sama-sama tidak ada upaya untuk menggugah para pembacanya. "Tidak ada ketegangannya dan juga tidak ada upaya estetis. Rasanya seperti menghabiskan waktu luang dengan duduk-duduk di kafe dan jadilah karya puisi," katanya.
Selama forum diskusi Majelis Sastra Urban berlangsung, Binhad mengamati para hadirin yang juga dari kalangan generasi milenial menyebut referensi nama-nama penyair terdahulu, seperti Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Sapardi Joko Darmono dan lain sebagainya.
Namun, menurut dia, para generasi milenial tersebut tidak pernah mengupas karya-karya sastrawan dari generasi pendahulunya secara mendalam dan hanya sebatas mengenal "kulitnya". Binhad pun menyebut penyair zaman sekarang tidak lahir dari "Ibu Puisi".
"Penyair milenial ini lalu merasa bangga ketika karya puisinya tidak dimengerti oleh orang lain dan kemudian menyebutnya sebagai puisi gelap," katanya.
Binhad membandingkan dengan eranya dulu, di mana para penyair menulis puisi sebagai bentuk protes terhadap ketidakpuasan atas realita yang terjadi pada masanya. Menulisnya pun dengan mengerahkan intelektual tanpa mengabaikan estetika.
"Penyair sekarang sudah punya identitas yang disebut milenial tapi saya yakin mereka juga memiliki intelektual," katanya.
Binhad menyarankan agar penyair generasi milenial menggali ilmu dari sejarah kesusastraan yang pernah lahir di Indonesia agar setidaknya muncul estetika pada karya-karyanya.
Memang, menurut penggagas Majelis Sastra Urban Ribut Wijoto, untuk itulah kegiatan ini rutin digelar setiap bulan sebagai panggung bagi para penyair generasi milenial .
"Melalui forum ini, penyair milenial dituntut memiliki cara pandang yang berbeda terhadap realitas. Selain juga ada tuntutan berdialog dengan tradisi kesusasteraan yang pernah ada di Indonesia," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019