Denpasar (Antaranews) - Logika yang berputar-putar agaknya akhir-akhir ini banyak "mengitari" dunia maya (media sosial) untuk menjebak kaum milenial guna memilih antara Pancasila dan Islam, kendati keduanya memiliki hierarki yang berbeda, karena Pancasila bukanlah agama.
    
Walhasil, dua pilihan kontras yang disodorkan itu pun membuat kaum milenial menyingkirkan Pancasila, karena kedudukan Islam dianggap lebih tinggi. Logis, sangat logis, padahal sesungguhnya Islam itu tidak layak disandingkan dengan Pancasila atau sebaliknya, karena hierarki keduanya memang berbeda sama sekali.
    
Logika jebakan itu antara lain: pilih mana antara Islam dan Pancasila?; jika Pancasila itu sejalan atau malah bagian dari ajaran Islam, kenapa tak langsung memilih Islam saja?; lebih tinggi mana Islam dengan Pancasila?; jika Pancasila sesuai dengan Islam, kenapa Negara Muslim yang lain tak memakai Pancasila?; kalau Pancasila sejalan dengan Islam, maka Khilafah juga sejalan dengan Islam; NKRI Bersyariah juga sama saja dengan Pancasila; dan seterusnya.
    
"Pertanyaan seperti itu adalah pintu masuk untuk mencuci otak generasi milenial terkait politik kebangsaan," kata dosen Pemikiran Politik Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, DR Ainur Rofiq Al Amin SH MAg, yang juga pengajar di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur (Kompas/26/1/2019).
    
Ya, Pancasila tidak layak dan tidak pantas disandingkan dengan Islam, karena Islam adalah agama, sedangkan Pancasila hanyalah sebatas sebuah sistem politik kebangsaan, yang mana agama memiliki banyak sistem (hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya) dan sistem politik hanya menjadi sebagian kecil saja, sehingga Pancasila dan Islam itu justru "jauh" perbedaannya.
    
Jadi, hierarki agama dan sistem itu sangat berbeda dan tidak patut dibandingkan, karena hierarki Pancasila dan agama itu memang berbeda sama sekali, seperti membandingkan antara langit dan bumi, membandingkan agama dan bukan agama, membandingkan sistem dengan metode, membandingkan tujuan dengan cara, atau membandingkan substansi dengan simbol. Jauh.
    
Padahal, kalau mau belajar kepada sejarah dan dokumen historis milik bangsa ini, sesungguhnya diskursus "NKRI Bersyariah" yang dilontarkan tokoh FPI Habib Rizieq atau gerakan "Khilafah Islamiyah" yang disodorkan HTI bukanlah isu "kemarin sore" di republik yang amat majemuk ini.
    
Artinya, diskursus pencarian sistem politik dalam Islam itu sudah selesai, bahkan prosesnya "berdarah-darah", sehingga pembahasan ulang justru mirip memutar "jarum jam" sejarah yang tak perlu, karena akan sama dengan membuka luka lama yang sesungguhnya sudah selesai. Alangkah bijaknya bila merujuk pada sejarah saja, agar tak sia-sia.
    
Sebut saja pemberontakan DI/TII hingga perdebatan "tujuh kata" Pancasila dalam sidang-sidang BPUPKI yang berlangsung pada kurun 1945-1959 agaknya membuktikan diskursus yang bukan "kemarin sore" itu atau bahkan diskursus itu disebut mantan Ketua Umum PBNU dan anggota Wantimpres KH Hasyim Muzadi (almarhum) seperti "pengulangan sejarah bangsa" saja.
    
Oleh karena itu, maraknya diskursus NKRI Bersyariah yang didahului konsep "Khilafah Islamiyah" oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada akhir era tahun 1990-an itu  justru mengukuhkan bangsa ini tak pernah "naik kelas" dengan berkutat dalam dialektika isu lama dengan label dan area baru.
    
Bahkan, konsep "negara-bangsa" dari republik ini yang sejatinya sudah berabad-abad lamanya itu sempat ditingkahi dengan munculnya ideologi ala PKI pada kurun 1965, karena itu saatnya bangsa ini untuk "belajar kepada sejarah" dengan merujuk dokumen-dokumen historis yang dimiliki bangsa ini. "Jasmerah (jangan melupakan sejarah)," kata politikus ulung bangsa ini, Soekarno.
    
Ya, Hasyim Muzadi dan Bung Karno agaknya benar, karena polemik ideologi "berdarah-darah" yang ditampilkan DI/TII atau PKI tak perlu diulangi lagi, sebab ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan nyawa melayang juga belum tentu menyelesaikan masalah, apalagi hak manusia hanya berdakwah dengan cara yang bijak, sedangkan "hidayah" bukanlah hak manusia.
    
Dulu, DI/TII (DI atau Darul Islam) yang digerakkan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 untuk tujuan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) itu melontarkan jargon Republik Indonesia Kafir (RIK), sehingga KH Idham Chalid yang saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II dan Kepala Badan Keamanan pun membentuk badan bernama Kiai-kiai Pembantu Keamanan (KPK).
    
Dalam memoar KH Idham Chalid (2008) menyebutkan bahwa KPK terdiri dari sejumlah kiai dari beberapa provinsi yang di daerahnya ada gerombolan DI/TII. KH Idham Chalid menunjuk KH Muslich sebagai Ketua KPK. Umumnya, setiap provinsi hanya menunjuk satu orang kiai dalam mengoordinasi gerakan KPK, kecuali provinsi dalam kondisi gawat seperti Jawa Barat yang diangkat dua orang kiai.
    
Anggota KPK di Jawa Barat adalah KH Dimyati (Ciparai) dan Moh. Marsid. Di Jawa Tengah ada KH Malik, kiai terkemuka asal Demak. Di Jawa Timur ada KH Raden As'ad Syamsul Arifin Situbondo. Di Kalimantan, KPK dimotori oleh KH Ahmad Sanusi, dan Lampung digerakkan oleh KH Zahri.
    
Untuk wilayah Sumatera, KPK Sumatera Selatan dipimpin oleh ulama terkemuka dan Rais Syuriyah NU Bengkulu KH Jusuf Umar, untuk Sumatera Tengah ada KH Kahar Ma’ruf, untuk Sumatera Utara dan Aceh ada Tengku Mohammad Ali Panglima Pulen (mantan Ketua PWNU Aceh/Anggota MPRS), dan untuk Sulawesi ada KH Abdullah Joesoef.
    
KH Idham Chalid yang juga tokoh NU itu menilai kehadiran DI/TII sangat merugikan Islam karena aksinya provokatif dan justru banyak mengorbankan pemeluk Islam sendiri secara kejam, seperti beberapa pimpinan cabang NU di Jawa Barat yang dibakar rumahnya oleh DI/TII, bahkan ada yang ditembak mati. Bagi sang kiai, pembunuhan sesama Muslim bukanlah jihad.
    
Tidak hanya korban jiwa atau berdarah-darah, buku "Darul Islam, Sebuah Pemberontakan"yang ditulis sejarahwan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, mencatat bahwa pemberontakan DI/TII di berbagai wilayah juga berdampak pada trauma masyarakat, karena tradisi juga dihilangkan, seperti penggunaan gelar-gelar bangsawan di Sulsel (Andi, Daeng, Puang, Bau, dan Opu) yang diganti kata "Bung". Mereka yang melawan juga diperangi.
    
Dalam buku itu, Van Dijk mencatat secara khusus tentang pemberontakan DI/TII di Aceh yang dimulai pada tanggal 20 September 1953 dengan pernyataan proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh.
    
Van Dijk juga menyebut pemberontakan itu bersumber dari kekecewaan Daud Beureueh dan masyarakat Aceh atas dileburnya Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara yang beribukota di Medan. Motif lain, masyarakat Aceh memang ingin menerapkan hukum syariah, lalu Daud Beureureh juga marah dengan beredarnya rumor terkait dokumen rahasia tentang keinginan Aceh untuk merdeka.

Perdebatan argumentatif
Tidak hanya berujung pemberontakan, diskursus tentang penerapan syariah atau ide Negara Islam juga masuk dalam perdebatan pada sidang-sidang resmi di Badan Persiapan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) I pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, sehingga pembahasan Syariat Islam dan Negara Islam itu pun menjadi lebih argumentatif.
   
Satu kubu ingin menjadikan Islam sebagai ideologi dasar negara, sedangkan kubu lain ingin memisahkan antara urusan beragama dengan urusan bernegara. Kedua kubu tak mudah untuk mengalah hingga memunculkan perdebatan "tujuh kata" Piagam Jakarta yang cukup seru.
    
Tujuh kata yang berbunyi: "(Ketuhanan...) dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" itu disepakati oleh sembilan "founding fathers" yang tergabung dalam Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 melalui rumusan dasar negara Indonesia yang akan merdeka. Rumusan yang menjadi preambule (pembukaan) UUD 1945 itu dikenal dengan istilah Piagam Jakarta.
    
Istilah Piagam Jakarta diberikan oleh salah satu anggota Panitia Sembilan yakni Muhammad Yamin sebagai tonggak sejarah terbangunnya kompromi tentang dasar negara antara kelompok nasionalis Islam dengan kelompok nasionalis sekuler.
    
Kedua pihak sepakat bahwa Islam tidak menjadi dasar negara, namun umat Islam wajib menjalankan syariat Islam sebagaimana akan diatur dalam konstitusi. Selain Yamin, anggota Panitia Sembilan yang dibentuk Ketua Sidang BPUPKI Radjiman Wediodiningrat (bunkakai/panitia kecil) adalah Soekarno (ketua), Mohammad Hatta (wakil ketua), A.A Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebarjo, dan Abdul Wahid Hasjim.
    
Dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 di muka sidang BPUPKI yang dikenang sebagai hari lahir Pancasila tersebut, Soekarno juga tampak berusaha menyatukan beragam pandangan yang muncul dalam sidang BPUPKI I.
    
Namun, Pidato Soekarno mengenai Piagam Jakarta yang disebut kompromis itu mendapat tanggapan serius dari Latuharhary pada 11 Juli 1945. Latuharhary berpendapat kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya akan menciptakan benturan dengan hukum adat yang berlaku di sejumlah daerah Indonesia, sehingga akan menimbulkan kekacauan di masyarakat.
    
Oleh, karena itu, Latuharhary menyarankan untuk mencari solusi lain yang tidak membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat. Namun, Soekarno menyanggah bahwa bila kalimat "Syariat Islam" itu  tidak dimasukkan justru akan terjadi perselisihan terus, karena itu kalimat itu sudah merupakan "jalan tengah".
    
Namun, H Agus Salim juga mengoreksi pandangan bahwa hukum Islam akan berbenturan dengan hukum adat, karena di sejumlah daerah seperti Padang, hukum adat dan hukum Islam justru bisa berdampingan. "Selama dilaksanakan secara jernih, hukum Islam akan memberi kebaikan bagi masyarakat, termasuk masyarakat adat," kata Agus Salim.
    
Pandangan itu mengundang alternatif lain agar kewajiban menjalankan hukum agama tidak hanya diwajibkan bagi umat Islam, tapi seluruh pemeluk agama di Indonesia, namun anggota BPUPKI yang lain mengkhawatirkan hal itu, karena kewajiban berunsur agama justru akan menimbulkan fanatisme, misalnya memaksa sembahyang/shalat, dan lain-lain.
    
Wachid Hasjim pun memilih "jalan tengah" dengan menyatakan isi dari Piagam Jakarta itu memang tidak bisa memuaskan semua pihak, baik pandangan bahwa piagam itu terlalu tajam, maupun pandangan lain bahwa piagam itu justru belum tajam, karena itu sebaiknya diakhiri saja dengan tidak memperpanjang diskursus dengan tetap kembali pada pandangan sebagaimana adanya saja.
    
Hal itu didukung Soekarno yang memimpin jalannya sidang kembali dengan berusaha meyakinkan pentingnya mempertahankan isi Piagam Jakarta. "Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes," ujar Soekarno. Pandangan itu cukup meredakan silang pendapat "tujuh kata".
    
Akhirnya, Piagam Jakarta disahkan sebagai Preambule UUD 1945 pada 16 Juli 1945 dengan tetap ada "tujuh kata" didalamnya. Namun, sore itu, 17 Agustus 1945, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) menghubungi Bung Hatta. Sang opsir yang tidak diketahui namanya itu menyampaikan tuntutan para pemuka agama Kristen dan Katolik di Indonesia Timur.
    
Mereka ingin kewajiban menjalankan syariat Islam dalam Piagam Jakarta dihapus, karena dianggap diskriminatif. Hatta menolak dengan menjelaskan kalimat yang mewajibkan penerapan syariat Islam itu tidak bertujuan mendiskriminasikan kelompok minoritas, sebab kalimat itu hanya berlaku bagi para pemeluk Islam. Apalagi, AA Maramis di Panitia Sembilan merepresentasikan non-Muslim.
    
Namun, opsir Kaigun memastikan para pemuka agama Kristen dan Protestan dari Indonesia Timur akan menolak bergabung dengan NKRI jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Hatta akhirnya mengalah dan berjanji akan membahas persoalan ini dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945.
    
"Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatera akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik devide et impera, politik memecah dan menguasai," tulis Hatta dalam buku karyanya bertajuk 'Gerbang Menuju Kemerdekaan' itu.
    
Dalam buku "Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun", Kasman Singodimedjo menggambarkan proses dihapusnya tujuh kata Piagam Jakarta itu.
    
Pagi itu, 18 Agustus 1945, Kasman yang merupakan tokoh Islam dari Muhammadiyah itu diminta Soekarno menjadi anggota tambahan PPKI bersama Wiranata Kusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, dan Ahmad Subarjo.
    
Soekarno sepakat dengan Hatta, lalu ia memberi tugas khusus kepada Kasman untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah) yang saat itu bersikeras mempertahankan "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta, sebab lobi sejumlah tokoh Islam seperti K.H Wachid Hasjim, Dr. Teuku H. Moehammad Hasan, hingga Bung Hatta pun tidak mampu melunakkan pendirian Ki Bagus.
    
Dengan menggunakan Bahasa Jawa halus, Kasman menyatakan Ki Bagus bahwa dalam UUD (Undang-Undang Dasar) yang akan disahkan itu terdapat satu pasal yang menyatakan bahwa enam bulan lagi MPR akan melakukan penyempurnaan isi Undang-Undang Dasar. Di sana, golongan Islam bisa kembali memperjuangkan isi Piagam Jakarta. Mendengar itu, Ki Bagus akhirnya bersedia menerima usul penghapusan "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta.
    
Meski alot, setelah rapat selama 15 menit, maka "tujuh kata" dalam Piagam Jakarta itu pun dihapus. Perubahan yang disetujui lima orang sebelum rapat resmi itu pun disetujui oleh sidang lengkap PPKI dengan suara bulat. Alasan dominan adalah Republik Indonesia harus berdiri dengan menyertakan kawasan Indonesia timur.
    
Pada tahun 1957, ketika Konstituante dibentuk untuk menyusun UUD yang baru, maka muncullah kembali perdebatan tentang dasar negara Indonesia di lembaga ini, yakni, Pancasila atau Islam? Perdebatan itu sangat sengit antara dua kubu pendukung, yang direkam dalam penerbitan khusus Archipel "Pantjasila, trente annees de debats politiques en Indonesie" (1980).
    
Perdebatan itu berlarut-larut, karena tidak ada satu pihak pun yang meraih 2/3 suara, maka Bung Karno kemudian mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang memutuskan untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Ya, persatuan tetap penting untuk mencegah penjajahan kembali terulang melalui upaya-upaya adu domba.

Darurat dan medsos
Dalam bukunya, Kasman pun menyebut keinginannya untuk mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit secara utuh, tetapi ia pun tidak dapat memungkiri untuk menghilangkan, (karena) adanya situasi darurat dan terjepit sekali untuk kepentingan persatuan dari Sabang sampai Merauke.
    
Situasi darurat dan terjepit yang mendorong penghapusan "tujuh kata" itu dinilai sejarahwan LIPI Asvi Warman Adam sebagai realitas yang tidak selalu merugikan mayoritas, karena keinginan mayoritas yang tidak terpenuhi secara simbolik itu justru melahirkan simpati minoritas terhadap mayoritas dengan citra yang bijak, sehingga mayoritas akhirnya diuntungkan secara substansial.
    
"Jadi, wacana NKRI Bersyariah yang ada saat ini tidak perlu, karena semuanya sudah diperoleh oleh umat Islam di Indonesia. Jabatan tertinggi di negeri ini, yaitu Presiden, sudah dipegang oleh orang Islam sejak Indonesia merdeka. Posisi pimpinan lembaga tinggi negara juga diduduki oleh kaum Muslim. Panglima tentara dan Kepala Kepolisian RI pun beragama Islam," katanya.
    
Indonesia memiliki Kementerian Agama yang langka di dunia. Umat Islam bebas menjalankan ibadah agama, termasuk di kantor dan di mal-mal. Sholat berjamaah bisa di masjid, bahkan pada waktu tertentu bisa di lapangan dan jalan raya. Padahal kalau ada puluhan orang sholat Ashar berjamaah di dekat Menara Eiffel, Paris, pasti mereka akan ditangkap polisi.
    
Di Indonesia, masjid bebas menggunakan pengeras suara, meskipun di saat orang yang tidak beragama Islam --yang tinggal di sekitar masjid itu-- sedang tidur saat dini hari. Kalau dalam upacara resmi, doa yang dipakai secara resmi adalah doa secara Islam dan hadirin yang tidak beragama Islam dipersilakan berdoa menurut keyakinannya masing-masing tanpa dipimpin.
    
Ketika umat Islam berpuasa di bulan Ramadhan, maka rumah makan bila buka siang hari biasanya memasang tirai di jendela/pintunya, tanda menghormati mereka yang sedang berpuasa. Hiburan seperti karaoke juga tutup siang hari, demikian pula panti pijat. Urusan menikah pun sesuai tuntunan agama Islam dan dicatat oleh negara.
    
"Sebagai warga negara yang berpenghasilan, Anda wajib membayar pajak. Namun selain itu juga ada lembaga yang mengelola zakat bagi umat Islam, yaitu BAZIS yang didirikan oleh negara. Rukun Islam yang kelima, yaitu naik haji, juga diurus oleh negara. Dengan menabung, umat Islam yang berpenghasilan tidak besar --dari berbagai daerah sampai ke pedalaman-- bisa pergi haji ke Tanah Suci," katanya.
    
Berkaitan dengan tuntunan Islam mengenai riba, solusinya juga sudah ada. Kalau enggan menyimpan uang di bank umum, silakan ke bank syariah. Bank Muamalat adalah sebuah contoh bank yang berlabel Islam.
    
Dari belasan hari libur nasional, yang paling banyak adalah berkaitan dengan hari raya atau peringatan keagamaan Islam. Sejak 2015, pemerintah telah menetapkan pula Hari Santri tanggal 22 Oktober. Ini untuk memperingati Resolusi Jihad NU, yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, yang menekankan kewajiban umat Islam untuk membela negara.
    
"Dalam perjalanan sejarah di Indonesia, sebelum Indonesia merdeka sampai sekarang, tuntutan umat Islam selalu dipenuhi, kecuali itu membahayakan keutuhan negara bangsa kita, seperti pemberontakan. Sebaliknya, umat Islam pun mau sedikit mundur dari posisinya bila itu demi persatuan bangsa. Contohnya, proses pembentukan dasar negara Indonesia, Pancasila," katanya.
    
Pada era reformasi terjadi perubahan besar. Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen beberapa kali. Ada upaya untuk menghidupkan kembali "Piagam Jakarta" yang ternyata tidak berhasil, namun kurikulum pada era reformasi seperti Kurikulum 2013 justru sudah bernuansa religius.
    
Dalam kurikulum itu, semua kompetensi inti dari kelas I SD sampai kelas XII SMA adalah sama, yaitu "Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya". Kompetensi inti adalah bentuk kualitas dari mereka yang telah menyelesaikan satuan/jenjang pendidikan tententu, yang mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan.
    
"Pada tingkat global muncul pula arus pan-Islamisme yang mendambakan berdirinya sebuah khilafah dunia, yang dipimpin seorang khalifah. Ini jelas bertentangan dengan nasionalisme atau kebangsaan, karena itu semacam pemberontakan, sehingga pemerintah tidak mengizinkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang dinilai mengembangkan konsep khilafah tersebut," katanya.
    
Setelah HTI tidak diizinkan berkiprah oleh pemerintah, muncul pula wacana "NKRI Bersyariah" yang diwacanakan Rizieq Shihab saat berpidato kepada peserta reuni 212 tanggal 2 Desember 2017 yang disiarkan secara telekonferens dari Arab Saudi.
    
Namun, sejarahwan LIPI itu menilai umat Islam di Indonesia adalah umat yang beruntung, karena negerinya tidak dicabik-cabik perang, akibat perdebatan antara dasar negara dengan agama yang berkembang tanpa ujung pangkal. "Kebahagian dunia dan akhirat itu sesuai pesan agama," katanya.
    
Senada dengan itu tokoh agama dari Pekalongan, Jawa Tengah, Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, menilai NKRI itu sudah syariah. "(NKRI) itu syariah, dari dulu sudah syariah, kalau NKRI tidak syariah, kita tidak akan mengusir Belanda. Mengusir Belanda, mengusir penjajah itu bagian dari iman. Nggak usah dikasih embel-embel syariah lagi," katanya.
    
Ya, selama berabad-abad itu pula, banyak negarawan di negeri ini yang dapat menjadi rujukan dan teladan dalam menyelesaikan diskursus antara Islam formalitas (simbolik) versus Islam substantif dalam pusaran sejarah, bahkan para walisongo yang dengan cara-cara "substantif" mampu membalik Nusantara yang semula tidak beragama menjadi 90 persen Muslim.
    
Fakta itu membuktikan cara-cara "simbolik" justru tidak cocok untuk Bangsa Muslim Terbesar di Dunia ini. Buktinya, cara-cara "simbolik" justru menurunkan Bangsa Muslim Terbesar di Dunia dari kisaran 90 persen pada tahun 1980-an itu menjadi 85,1 persen pada 2010 atau dalam kurun 30 tahun terakhir dan tidak menutup kemungkinan akan terus merosot bila caranya justru "memperalat" agama. Data itu diungkap Prof Din Syamsuddin saat masih di MUI pada tahun 2014.
    
Namun, diskursus lama itu kini semakin ramai menyeruak dalam ruang-ruang baru yang disebut media sosial. Yang parah, jebakan logika antara Islam dan Pancasila yang menyasar milineal lewat medsos itu dilakukan secara berantai pada jutaan akun palsu yang disengaja diciptakan untuk "penggandaan" informasi secara sistematis dan masif untuk kepentingan paham/ideologi tertentu, atau bahkan partai tertentu, padahal diskursus itu sudah selesai dalam konteks sejarah kebangsaan dan sudah terbukti bahwa cara-cara simbolik tidak menguntungkan dalam dakwah.
    
Nah, disinilah perlunya bersikap kritis kepada medsos melalui tiga cara sederhana, yakni bedakan "share/copas" itu merupakan informasi atau bukan informasi, bila informasi perlu cari informasi pembanding ("hoax" atau bukan), dan berpikirlah "dosa online" (dampak) bila ingin "share" informasi tanpa pembanding, mengingat media sosial itu bukan media massa yang memiliki sistem konfirmasi (ada narasumber kompeten) dan sistem editing/koreksi (ada redaktur).

Editor: Adi Lazuardi

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019