Jakarta (ANTARA) - Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor meminta DPR RI untuk berpikir matang dan tidak terburu-buru terkait dengan rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas melalui pernyataan tertulisnya di Jakarta, Rabu, menilai draf RUU HIP yang dibuat oleh Badan Legislasi DPR RI masih memerlukan banyak pendalaman, dialog, dan masukan dari berbagai kalangan.
Kendati telah masuk dalam program legislasi prioritas dan resmi disetujui menjadi usulan inisiatif DPR pada tanggal 12 Mei 2020, sosok yang akrab disapa Gus Yaqut itu mengingatkan pembahasan RUU tersebut jangan sampai terburu-buru.
Baca juga: Presiden : Pancasila harus hadir nyata dalam kehidupan
Upaya tersebut, kata dia, tidak bisa dilakukan dengan serampangan karena muara RUU HIP menjadi pedoman kuat bagi penyelenggara negara dalam menyusun, menetapkan perencanaan, dan mengevaluasi pembangunan nasional.
RUU ini, lanjut dia, juga menyangkut segala sendi kehidupan rakyat Indonesia, yakni dari politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan, dan keamanan.
"Di tengah persoalan besar dan mendesak bangsa ini, yakni penanganan pandemi COVID-19, penundaan pembahasan RUU BIP adalah pilihan tepat. Sebelum membahas RUU ini DPR harus melakukan banyak diskusi dengan berbagai pihak terlebih dahulu," katanya menegaskan.
Menurut dia, dari penelusuran GP Ansor ada beberapa catatan penting bagi DPR sebelum pembahasan RUU HIP.
Pertama, RUU tersebut belum mencantumkan secara jelas Ketetapan (Tap) MPRS XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NKRI bagi PKI, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Kedua, konsideran RUU HIP tidak menyertakan Perppu No. 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menjadi landasan hukum pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan/atau ideologi transnasional.
"Ini juga harus diperbaiki. Jangan sampai lahirnya UU nanti menjadi amunisi baru bagi kelompok-kelompok radikal dan intoleran untuk bangkit lagi," kata Gus Yaqut menandaskan.
Baca juga: Pancasila dan Kontekstualisasi Nilai Gotong Royong (Pandemik COVID-19)
Ketiga, secara umum batang tubuh RUU HIP justru berupaya menyekulerkan Pancasila, padahal inti dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Atas dasar itu maka kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, bisa ditegakkan, bukan sebaliknya, bahkan dicantumkan agama, rohani, dan budaya dalam satu baris.
"Hal ini mencerminkan pandangan sekularisme yang berlawanan dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa," katanya menekankan.
Keempat, melihat masih banyaknya hal-hal yang menyisakan perdebatan tersebut, pembahasan RUU mendesak untuk diawali dengan diskusi-diskusi serius yang melibatkan berbagai elemen bangsa. Hal ini dalam rangka mendapatkan banyak masukan dari berbagai kalangan.
"Apalagi RUU ini berhubungan dengan Haluan Ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa yang diberlakukan semua rakyat, bukan hanya mengakomodasi kepentingan golongan tertentu," katanya menjelaskan.
Baca juga: Stafsus BPIP: Pancasila modal bangsa hadapi pandemi COVID-19
Gus Yaqut juga mengungkapkan berbagai persoalan awal sebagaimana catatan GP Ansor jugalah yang memunculkan kesan di tengah masyarakat bahwa RUU HIP adalah upaya terselubung eks PKI dan kelompoknya untuk balas dendam sejarah yang menimpa mereka.
"Sejarah tidak boleh terulang ketiga kalinya. Cukup. Lebih baik DPR ikut fokus pada penanganan dan penanggulangan pandemi virus corona terlebih dahulu," katanya.